3.2

1511 Words
Aldiansyah Umar tidak pernah merasakan takut bahkan ketika tangan kanannya tidak bisa digunakan sama sekali beberapa tahun yang lalu. Tangan kanannya pernah patah saat bermain bersama Divy, tepatnya saat mengajarkan Divya bermain sepeda. Tapi hari ini ia pulang dengan perasaan takut. Aldi melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana keluarga bahagia sahabat kecilnya kacau dalam waktu beberapa jam saja. Satu dibawa oleh polisi sedang satunya lagi dibawa oleh seseorang  yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Begitu takutnya Aldi dengan kemungkinan ia tidak akan bisa bersama dengan Divya seperti biasa, dengan kemungkinan bahwa tidak akan ada lagi Divy di rumah sebelah, ia menemui Papanya ke rumah sakit dan menunggu sang Papa selesai dengan jadwal operasinya demi meminta pertolongan agar beliau membantunya mengambil Divy dari orang yang tadi membawanya pergi. Kemudian disinilah dirinya sekarang, memandang pada rumah sebelah yang tanpa pencahayaan sama sekali. Sekali lagi menoleh pada ponselnya, Aldi bernapas gusar. Divy sama sekali tidak mengangkat telfon apalagi menjawab pesan-pesannya. Suasana rumah mereka juga jadi begitu suram. Mama menolak menjawab semua pertanyaannya sementara Dita sejak tadi menempel padanya, memeluk lengannya erat. Semua orang bertingkah tidak biasanya hari ini karena ketiadaan Divy. “Tapi, Pa.. apa ga bisa mereka mencabut tuntutannya? Gimanapun Om Haris sama sekali ga nyelakain anak mereka. Justru mereka harus bilang makasih karena Om Haris melakukan semua yang dia bisa untuk mengobati Divy.” Sekali lagi Aldi menanyakan apa yang terus muncul di benaknya. Dan untuk sekarang hanya Papa yang bisa menjawab pertanyaannya. “Mengobati Divya? Tuhan hanya sangat sayang sama si Haris. Dia diberikan otak yang cerdas, tangan yang terampil dan dilengkapi dengan keberuntungan yang selalu menyertainya.” Firman kembali mengingat hal paling gila yang pernah ia lakukan bersama teman baiknya itu. Sejak menyelesaikan pendidikannya yang terbilang sangat cepat dan terjun ke lapangan, Haris adalah cahaya baru bagi dunia kedokteran. Semua orang memujinya pun Fiman tidak menampik fakta bahwa sahabatnya memang segila itu. Sampai suatu hari si gila memberikan sebuah file rekam medis seorang pasien padanya dan meminta Firman yang waktu itu hanyalah salah satu peserta program dokter internship untuk membantu melakukan tindakan pada sang pasien. Ada dua hal yang tidak bisa Firman terima saat itu, pertama pasien tersebut sama sekali bukan pasien Haris dan yang paling penting adalah pasien itu hanyalah seorang bayi yang baru lahir. Sekalipun Haris disebut-sebut memiliki tangan Tuhan, tetap saja tidak benar mengingat dia bukanlah dokter spesialis bedah anak ditambah tindakan ini harusnya dilakukan ketika bayi minimal berusia enam bulan. Dan yang kedua apa yang Haris ingin lakukan ini sangat membahayakan masa depan mereka berdua. Anak yang sekarang dikenal dengan nama Divya Jacinda Amzari tersebut mengalami Patent Ductus Arteriosus (PDA) yaitu kelainan jantung bawaan yang biasanya dialami oleh bayi yang lahir sebelum waktunya. PDA dua kali lipat lebih beresiko bagi bayi prempuan apalagi yang lahir prematur. Bayi, selama berada dalam kandungan ibunya sama sekali belum menggunakan paru-parunya untuk bernapas bukan? Dia mendapatkan semuanya dari sang ibu mulai dari nutrisi sampai oksigen. Ductus arteriosus adalah pembuluh darah yang menguhubungkan aorta –yang kaya akan oksigen, dan arteri pulmonal –yang kaya akan karbon dioksida. Normalnya pembuluh darah yang satu ini akan menutup setelah dua sampai tiga hari setelah kelahiran. “RIS!” Firman menyugar rambutnya, sungguh ia bisa gila duluan dari Haris kalau begini caranya. Gila dalam artian sebenarnya. “Plis..” mohon Haris yang tidak ingin putri Vani pergi begitu saja dari dunia ini. “Gisele, kita bisa minta tolong sama dia. Kamu bukan sedang merendahkan kemampuan Gisele bukan” “Kamu mau si Parkinson yang bedah anak ini? Jangan gila deh!” ucap Haris ketus pada temannya. Bagaimana mungkin ia mempercayakan bayi yang begitu rapuh pada Gisele, seorang dokter bedah anak yang ketakutan terbesarnya adalah membedah? “Kamu yang gila!” “Oke, mari bicara tanpa emosi. Aku sudah bicara sama Gisele dan dia setuju untuk memfasilitasi kita. Saat ini aku sudah punya otaknya Gisele karena dia juga berkenan untuk hadir di meja operasi, tapi aku butuh satu otak lagi. Yang aku takutkan adalah kalau-kalau terjadi sesuatu Gisele hanya akan gemetar ketakutan dan lari, jadi sekali lagi aku bilang kalo aku butuh kamu untuk tetap ada di sana selama Gisele si Parkinson lari atau bahkan pingsan di tempat.” “Gimana sama orang tua anak ini? Mereka setuju?Kalau operasinya gagal kamu akan dikutuk sebagai pembunuh apalagi ini adalah anak pertama mereka.” Dan Firman tidak pernah menganggap teman baiknya itu lebih gila lagi ketika mendengar jawaban Haris. Bahwa dia telah memalsukan kematian si bayi karena perstujuan orang tua saja tidak cukup. Apa yang akan mereka lakukan ini sungguh sangat melanggar protokol. Sebagai gantinya Haris bersumpah ia akan menyelamatkan sang bayi dan mengembalikannya pada kedua orangnya. Sepasang suami istri yang lebih muda dari mereka itu hanya perlu bersedih untuk beberapa bulan saja karena setelah kesehatan si bayi membaik, mereka akan kembali memeluk anaknya. “Pa?” “Hm?” “Aku tadi nanya, sebenarnya Papa ini temannya Om Haris atau teman orang tua kandungnya Didi?” tanya Aldi kesal kemudian beranjak menuju kamarnya. Sampai di kamar matanya tertuju pada satu set kunci rumah Didi yang Om Haris minta untuk ia pegang. Tiga hari belakangan Mama punya aktivitas di luar sehingga hanya Aldi yang bisa dititipi kunci itu. Om Haris khawatir kalau Divy membawa kunci rumah ke sekolah, ia akan menghilangkannya kemudian menangis. Si cengeng memang semudah itu menangisnya. Aldi menyambar kunci tersebut kemudian kembali memacu langkah, melewati Papa, Mama dan Dita yang masih dalam posisi seperti tadi ketika ia meninggalkan mereka dengan tidak sopan. Aldi masuk ke rumah Om Haris dan menyalakan semua lampu termasuk lampu di kamarnya Didi. Besok mereka pasti bisa bertemu, Didi tidak mungkin bolos sekolah atau bahkan pindah sekolah karena kembarannya sendiri juga sekolah di Bina Bangsa. Ngomong-ngomong soal sekolah, Aldi melihat mata pelajaran Didi untuk hari esok dan tanpa diminta sekalipun –karena toh Didi bahkan tidak membaca semua pesan-pesannya, Aldi menyiapkan semua buku yang akan temannya itu perlukan. Dengan setumpuk buku di tangan kirinya, Aldi kini berdiri di depan pintu bermaksud untuk mengunci kembali pintu tersebut tapi sesuatu menghentikannya. Ingatan soal bagaimana ia sering malas menemani Divy disini. “Muka kamu kenapa gitu amat liat akunya?” tanya Divy menatapnya heran. Mungkin itu yang dirasakannya karena setelah Aldi teriak-teriak minta dibukakan pintu, Divy malah menemukan muka kusutnya. “Sudah makan belum?” tanya Aldi ogah-ogahan. Aldi masuk lebih jauh kedalam rumah Dokter Haris yang selalu rapi dan tenang, tidak seperti rumahnya. Tidak perlu mendapat jawaban dari mulut temannya itu Aldi tau bahwa Divya sudah makan dari tulang-belulang ayam yang berserakan di atas meja. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, yang terasa janggal –karena helloooo, mana ada sahabat laki-laki yang menanyakan sudah makan atau belum pada sahabat perempuannya? Sudah bukan hal aneh lagi bagi Aldi dan Divy. Sumber keanehan antara mereka berdua adalah Mamanya Aldi sendiri. Mama Mayang yang terobsesi pada anaknya Om Haris. Aldi tau kalau Divy sedang memperhatikan setiap gerak geriknya meskipun ia tidak punya mata di punggung dan belakang kepalanya. Segala hal tentang Divya sudah ia hapal termasuk akan seperti apa respon sahabatnya itu terhadap apapun yang ia lakukan. “Mau main di rumahku eh?” tanya Divy setelah Aldi menemukan charger ponsel milik Divy dan langsung menggunakannya. “Pede gila!! Aku tuh kadang heran sama orang tuaku. Apa-apa sama kamu! ‘Aldi temani Didi’ atau ‘Aldi! Jemput Didi’ atau ‘Coba kamu cek, Didi ga sakit kan?’, dan yang paling parah adalah ‘Aldi!!! Kenapa kamu makan jatahnya Didi????’” omel Aldi tanpa melihat pada sang sahabat karena ia telah memulai sesuatu paling menyenangkan yang ada di ponselnya. Game, apa lagi memangnya? “Cowok kok suka ngomel.” Dan tentu saja Aldi bisa mendengar nada cibiran dari kalimatnya Divy, bahkan kalimatnya sendiri adalah kalimat cibiran. Aldi tidak merasa perlu menyanggah apalagi menoleh pada Divy yang dari sudut matanya terlihat sedang mengemasi sisa makanannya. “Dan sekarang aku disuruh nemenin kamu sampai Papa kamu pulang. Apa ga ada di antara orang tua itu yang takut aku apa-apain kamu? Semisal aku perkosa kamu gitu?” lanjut Aldi tidak percaya betapa tidak ada sedikitpun kekhawatiran maupun kecurigaan yang baik orang tuanya ataupun orang tua Divy taruh padanya. “Emang berani kamu?” Mata Aldi yang awalnya menghadap ke layar ponsel berubah haluan dengan sangat cepat menuju tempat di mana Divy juga sedang menatapnya. “Apa??? Coba ulang lagi?” “.. sori lah Di..” Didi mendekati Aldi kemudian bergabung untuk menemani Aldi main sambil sesekali mengecek ponselnya sendiri. Didi duduk tepat di seberangnya, bersandar pada sofa dan memperhatikannya dalam diam. “Chat sama siapa sih, Di?” “Hm?” “Cewek ya?” “Berisik, Di!!!” ucap Aldi gusar, belum lagi ia harus membalas chat yang masuk bertubi-tubi juga gamenya yang harus di pause, Divya malah ikut membuatnya sibuk. “AAAKKKKH SIAL!!!!” teriak Aldi beberapa menit kemudian karena ia kalah. Sial sekali ia harus meladeni Divya dan chat tidak penting barusan. “Gila ya kamu?” tanya Divya yang masih pada posisinya, bedanya sekarang Didi melihat jengkel padanya. “Kamu tidur atau apa kek? Mengacaukan aja!” Tiba-tiba saja Aldi jadi badmood, mengantongi ponselnya kemudian mengeceki seluruh pintu dan jendela di rumah dokter Haris kemudian  memutuskan untuk mengunci Didi di dalam rumahnya karena jika tetap bermain di sini ia tidak akan bisa berkonsentrasi. “Gimana Papa masuk nanti?” tanya Divya setengah memekik saat Aldi berjalan gontai menuju rumahnya. “Om haris punya kunci cadangan kan? Yang penting aku sudah memenuhi tuntutan orang tuaku untuk membuat kamu aman!!” “Kalau nanti gempa?” teriak Divya menyibak gorden. “Kalau gempa aku tetap akan nyelamatkan kamu, peraturannya ‘kan memang begitu? Coba sehari aja ga berisik Di!!! Aku mau main!!!!!!!” “Tapi hari ini aku mau kamu berisik kayak biasa,” ucap Aldi sebelum mengunci kembali rumah Om Haris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD