3.3

1714 Words
Sebuah cermin memperlihatkan bayangan dua orang gadis remaja dengan rambut dikuncir asal yang sedang menggosok gigi. Amira dan Divya berdiri bersisian dengan pikiran mengelana jauh. Di sisi Amira, ia masih mengingat bagaimana pertemuan keluarga besar yang terjadi akibat pengumumannya di grup keluarga bubar begitu saja setelah Om Alif menanyakan pada Mamanya alasan kenapa Divya yang baru pertama kali mereka jumpai memanggilnya Oma. Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang membingungkan karena toh Amirapun memanggil Mama dari Om Imam dan Om Alif demikian. Hanya saja situasinya jadi sangat membingungkan bagi Amira ketika mendapati Om Imam yang biasanya cerewet berubah menjadi sangat pendiam dan hanya menatap sang Mama sedang Om Alif, satu-satunya yang paling tenang yang Amira kenal malah mengamuk. Om Alif terus saja mengajukan pertanyaan yang di telinga Amira lebih terdengar seperti desakan pada Oma. Dan sampai sekarang Amira masih tidak tau kenapa semua orang kecuali nenek pulang begitu saja. Sementara Divya, akal sehat seolah baru saja kembali padanya setelah semua cerita seru soal Ayah dan Bunda selesai ia dengar dan euforia berkumpul dengan orang-orang yang penasaran dengannya berakhir. Untuk beberapa jam terakhir ia merasa seperti menjadi orang lain, menjalani hidup yang sama sekali bukan miliknya. Kini sudah lewat jam sepuluh, waktunya tidur. Seumur hidupnya Divy tidak pernah menginap di rumah orang lain kecuali rumahnya Aldi tapi sekarang ia berada di tempat yang sangat baru, jauh dari kamar super berantakannya, jauh dari... Papa. Astaga, Divy melupakan papanya yang mungkin selama ini menunggunya. “Menurut kamu kenapa Nenek nyuruh kita naik lagi?” tanya Amira pada Divy setelah selesai berkumur. Setelah Divya menyalami semua orang dan Om Alif bertingkah tiba-tiba saja Nenek meminta mereka ke atas. Butuh waktu cukup lama bagi Divy untuk menyahut Amira, ia butuh meyakinkan dirinya sendiri kalau suaranya tidak terdengar tercekat. “Karena kita ga boleh dengar omongan mereka? Orang dewasa selalu membatasi transfer ilmu ataupun informasi untuk anak-anak, kamu tau?” Amira mengangguk setuju, dimana-mana orang tua sama saja. Meremehkan anak-anak seusianya yang bahkan sudah bisa menyelesaikan masalah sendiri. “Aku sudah selesai.” Divya meninggalkan Amira begitu saja dan masuk ke kamar barunya. Satu-satunya hal yang Divy cari saat ini dan langsung ia temukan adalah tas sekolah miliknya. Tanpa berlama-lama ia segera memeriksa ponselnya dengan d**a berdebar keras. Dia tengah takut dan merasa bersalah. Tapi alangkah kecewanya Divya saat tidak menemukan riwayat panggilan ataupun pesan dari Papa. Alih-alih mendapatkan kekhawatiran Papa, Divy justru mendapat belasan missed calls dan puluhan chat dari Aldi. Divy ingat ia meninggalkan Aldi begitu saja tanpa kata siang ini. Dia pasti sangat mengkhawatirkan Divy dan terbukti dari pesan-pesan yang saat ini terpampang di layar ponselnya. Amira memasuki kamar Divya dengan ide baru, itulah alasan kenapa ia membawa dua buah pack masker. Hanya saja senyum lebarnya hilang begitu melihat saudara kembarnya menangis. “Divy?” tanya Amira berhati-hati. Divya mendongak, “Amira.. ak- aku.. aku mau pulang!” Apa? Amira melotot dan segera mendekati Divy kemudian memeluk dan mengusap-usap punggung adik kembarnya itu, berusaha menenangkannya. “Sstt.. besok aku temani kamu ke rumah Om Haris ya? Kamu pasti mau ambil buku sama seragam yang lain.” Divya melepaskan pelukan Amira darinya. Tidak, bukan itu yang ia inginkan. Divya ingin pulang dalam artian kembali pada Papanya, menjalani hidupnya sendiri. Ragu, Amira menerima uluran ponsel dari Divya kemudian terpaku untuk beberapa menit sambil menggulir layar ponsel pintar tersebut. Beberapa kali Amira meneguk ludahnya tidak nyaman. Sejak siang tadi ia berusaha memanggil si sialan Haris dengan panggilan sopan demi menghargai Divya juga mengantisipasi agar Divy tidak kabur. Mendengar seseorang yang seumur hidupnya ia panggil Papa direndahkan oleh kembarannya sendiri tentu Divya tidak akan berpikir panjang untuk kabur dari rumah, itu yang Amira pikirkan. “Aku mau pulang.” “Divy, dengar aku,” ucap Amira kalem. Hell no, Amira yang urakan dan petakilan juga paling kekanakan sedunia sedang berusaha bicara baik-baik dan berpikir menggunakan sudut pandang Divya Jacinda Amzari yang merengek ingin pulang saat ia sudah berada di rumahnya sendiri. “Oke kamu mau pulang,” ucap Amira yang dibalas anggukan oleh sang adik. “Kamu tau? Aku pikir kita memang harus tes DNA tapi tentunya tanpa sepengetahuan Ayah dan Bunda, nanti aku akan minta tolong Kakek.” ucap Amira tidak ingin Ayah dan Bunda kecewa saat mengetahui bahwa Divy meragukan bahwa ia adalah anak mereka. “Bukan itu masalahnya Amira.” “Itu masalahnya! Kamu baru pertama kali bertemu Ayah dan Bunda dan belum sampai satu hari berkumpul bersama kami, kamu sudah minta pulang. Itu artinya apa? Kamu ragu sama semua ini.” “Aku? Ragu sama semua ini? Jelas-jelas barusan kamu baca chat dari Aldi.” Divya tau Aldi adalah orang yang tidak akan berbohong padanya untuk hal seperti ini. Di puluhan chat dari sahabatnya itu ia juga sudah tau alasan kenapa Papa membawanya pergi, jadi Divya pikir ia tidak perlu menunggu untuk bertanya pada Papa alasan kenapa dulu beliau membawanya menjauh dari Ayah dan Bunda. Tapi tetap saja ia ingin pulang dan lebih-lebih ingin bertemu Papa. “Papaku bukan penculik, Amira, beliau penyelamatku.” “Papa kamu itu memang penculik busuk, sialan, b******k dan pantasnya mati. Gara-gara dia Ayah dan Bunda menangisi kamu yang sebenarnya ga pernah meninggal.” Sialnya Amira tidak berani mengatakan kalimat itu pada sang kembaran, bisa kabur tengah malam Divya kalau Amira menunjukkan seberapa bencinya ia pada orang yang mengaku Papa bagi Divy itu. “Aku ga bilang Om Haris penculik. Dan tolong jangan Papa-Papa lagi sama Om haris karena dia cuma ponakannya Oma.” Amira memang bisa menahan diri untuk tidak mengumpat atau mencela Om Haris di depan Divya tapi ia tidak berjanji akan bicara selembut tadi pada kembarannya yang ternyata sama saja keras kepalanya dengan dirinya. “Jangan bilang soal semua ini sama Ayah apalagi Bunda. Aku mohon banget sama kamu. Kamu ingat kalau Bunda sedang hamil ‘kan? Kita semua ga mau Bunda stress.” “Ya tapi sampai kapan aku harus tinggal di sini?” “Astaga Divya.. sampai semua orang mati dan kamu beranak pinak.” Amira hampir memekik mendengar pertanyaan konyol dari Divya. “Menurut kamu bakal gimana perasaan sepasang suami istri yang baru ketemu sama anaknya lagi eh anak itu malah mau balik sama orang yang udah misahin mereka enam belas tahun lamanya?” “Tapi aku ga nyaman di sini!” “Jangan kebanyakan tapi deh Di!” “Aku ga bohong soal yang aku rasain, Amira..” “Ya.. kaya yang aku bisa tau kamu bohong atau engga.” Menyadari bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mau mengalah, akhirnya Divya dan Amira memutuskan diam. Keduanya sama-sama membuang muka dengan kedua tangan terlipat di d**a. >>>  Imam membiarkan saudara kembarnya mengemudikan mobil miliknya kemanapun yang Alif mau. Sudah hampir dua jam sejak mereka berpisah dengan Papa dan Mama di rumahnya Bang Ucup dan kini keduanya sama sekali tidak bicara apa-apa, meski begitu Imam dan Alif tau bahwa tidak satupun dari mereka yang akan pulang ke rumah malam ini. “Ya, Pa?” tanya Imam setelah saling memberikan lirikan satu sama lain. Papa pasti meminta mereka untuk pulang. “Di mana?” “Di jalan.” “Papa tunggu satu jam lagi dan kalian sudah harus sampai di rumah.” “Kenapa? Mama nangis dan ngadu sama Papa? Mama merasa bersalah atau semacamnya? Ckckck.. mana mungkin Mama merasa bersalah setelah membiarkan ponakan kesayangannya membawa pergi anaknya Kakak? Kalau hati Mama selembut itu, Mama ga mungkin menghabiskan lebih banyak waktu sama kru TV dari pada kami. Apa Papa ga mikir Mama segitu ga tau balas budinya? Well, Kakak memang anak tiri Mama tapi lebih dari itu Kakaklah yang merawat kami waktu Mama harus tampil dengan senyum lebarnya di depan kamera untuk ribuan acara masak-masaknya itu. Dan Papa harus ingat, selagi mama menghidangkan aneka makanan lezat di sana, kami cuma makan pop mie.” Imam teringat dengan masa kecilnya yang lebih sering bersama Kakak bahkan juga Bu Tari. “Hati Mama lembut, Mam. Mama langsung lari ke Bang Haris kalau ponakannya itu sakit.” “Benar juga.” >>>  “Apanya yang benar?” tanya Ucup pada mamanya. “Setidaknya, coba pikirkan demi kebaikan Divya. Abaikan semua yang kalian lalui enam belas tahun ini.” “Abaikan semua rasa sedih dan rindu aku dan Echa untuk putri kami selama ini?” tanya Ucup tidak terima. Bu Tari paham bahwa anaknya hanya sedang marah dan kecewa dengan kenyataan bahwa selama ini, ia tidak mengetahui keberadaan putrinya sendiri. “Iya, abaikan itu karena Haris melakukan semua yang dia bisa untuk menyembuhkan dan merawat Divya. Apa ga ada rasa syukur sedikitpun, Cup? Kalau bukan karena dia, kita ga akan ketemu Divya dalam kondisi sehat dan tumbuh dengan sangat baik hari ini.” Ucup diam. Tidak bisa mengelak. Kalau memang si sialan Haris memang sehebat itu, mungkin Ucup akan bersyukur karena dia telah melakukan semua hal untuk menyembuhkan Divya. Itupun kalau cerita yang Mama Dila katakan pada mereka tidak ditambah-tambahkan. “Kamu diam, Mama pikir kamu setuju dengan yang Mama katakan.” “Kalau aku ga ketemu Divya hari ini, kapan dia akan mengembalikan putriku padaku, Ma? Detik-detik sebelum aku mati, begitu? Dia tetap salah.” “Dia salah tapi dia juga benar.” “Oke, okee.. Mama dapat apa yang Mama mau.” Bu Tari bersyukur memiliki putra seperti Yusuf Fairuz Amzari, sekalipun putranya ini tidak pernah membantah apalagi mengabaikan permintaannya. Meskipun lebih dikenal sebagai anak nakal, sering tidak serius dan sering menyahut omongan orang, tapi Ucup melakukan hal itu hanya untuk bermain-main dan bersenda gurau. Siapa saja yang mengalami hal ini pasti marah, sama seperti Ucup. Bu Tari pribadi juga sangat ingin memberikan pelajaran pada Haris, ia berjanji akan menampar anak itu saat bertemu lagi. Tapi tidak dengan memberikan catatan hitam, karena kalau sampai masalah ini benar-benar sampai ke ranah hukum, Bu Tari khawatir ijin praktik anak itu dicabut. Hal tentu saja akan merugikan banyak pasien di luar sana. Kecuali hukuman yang Ucup ingin berikan tidak akan merugikan banyak orang, Bu Tari pasti akan mendukung putra kesayangannya itu. Ucup mengirimkan pesan singkat pada pengacara yang tidak lain adalah temannya sendiri, memintanya untuk membebaskan Haris yang disebut-sebut memiliki tangan Tuhan agar ia menggunakan tangannya itu untuk sesuatu yang benar. Tapi, tetap saja Ucup tidak mau membiarkan anaknya berhubungan dengan Haris lagi. “Yah.. kita tidur di kamar Ayah ‘kan?” tanya Amira yang tidak sengaja mendengar semua omongan Ayah dan Nenek barusan. Beruntung ia tidak mengajak Divya untuk mengambil minum. Jadi Divy tidak semakin merengek untuk pulang. “Di kamar kamu!” “Aku tidur di kamar ayah pokoknya,” “Silahkan karena kami semua tidurnya di kamar kamu.” “Oke, aku bisa tidur di kamar Ayah sendirian.” Amira mencibir karena tidak mendapatkan perlawanan dari Ayahnya lagi. “Yah?” “Apalagi Queensha?” “Besok libur skuy? Kita liburan sekeluarga gitu?” “Huh!!” Ucup mendengus keras. “Lihat cucu mama?” tanya nya pada sang mama. entah kenapa ia bisa mendapatkan putri yang selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk bolos sekolah. Padahal dulu, Ucup tidak semalas ini untuk sekedar datang ke sekolah.  Sementara Ucup kembali berhadapan dengan Amira dengan topik yang sama, di kamarnya sana Divya sudah berbaring di atas ranjang dan sedang dipeluk oleh Bunda. Pelukan yang membuatnya mengurungkan niat untuk pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD