3.1

1793 Words
Ucup dan Vani tidak bisa untuk tidak membiarkan masalah ini dibawa ke ranah hukum. Benar bahwa mereka masih punya hubungan keluarga dengan Haris tapi keduanya tidak terima dengan apa yang Haris lakukan, menyembunyikan putri mereka bertahun-tahun lamanya. Bu Tari, Teja Mahardika beserta anak dan istrinya tidak bisa dan tidak berani menyanggah keputusannya karena baru pertama mereka mendengarkan Ucup berbicara dengan nada begitu rendah, datar tanpa ekspresi serta terdengar dingin dan kejam. Ucup yang selama ini sangat menghormati istri Ayah mertuanya bahkan tidak sanggup mendaratkan matanya pada Mama Dila. Mengenai kedatangan mereka dalam waktu hampir bersamaan hari ini, Ucup sangat bersyukur karena dia bisa mengutarakan keputusannya tanpa harus mengulang-ngulang. Sebenarnya ia tidak berencana untuk mengabarkan pada mereka semua, kecuali Bu Tari tentu saja, Ucup berencana langsung menempuh jalur hukum dan memberikan Haris hukuman yang setimpal. “Cha..” panggil Ucup pada istrinya yang sibuk menyiapkan makan malam. “Sayang,” panggil Vani pada suaminya yang masih saja bicara dengan nada dinginnya. “Aku mau bantu kamu. Aku bisa bantu apa di sini?” Ucup kecewa sekali pada keluarga istrinya itu. Bagaimana mungkin ia tidak berpikir bahwa mereka mengetahui semua ini sejak awal? Ini Haris yang sedang kita bicarakan. Oke, kata mereka mungkin terdengar keterlaluan, tapi ia menebak Mama Dila atau bahkan Imam dan Alif tidak terlalu kaget dengan kembalinya Divya pada keluarga kecil miliknya. Namun begitu Ucup tetap ingat bahwa istrinya sedang mengandung, ia tidak akan mengabaikan Vani meskipun hatinya sedang tidak enak pada sang mertua. Ucup merasa bahwa beberapa orang, selama ini, menganggapnya sebagai lelucon. Sejak awal seorang Yusuf Fairuz Amzari memang bukan siapa-siapa dan tidak mungkin menjadi siapa-siapa. Ucup menerima permintaan almarhum Bunda Wulan untuk menikah dengan Vani pada awalnya bukan karena ia tau bahwa masa depannya akan sangat bagus jika menjadi menantu keluarga Mahardika. Menikahi Vani sama sekali bukan soal apa yang akan ia dapatkan sebagai kompensasi di masa depan tapi karena Bunda mengatakan bahwa itulah satu-satunya hal yang sangat beliau inginkan sebelum ajal menjemput. Ucup tau bahwa tidak akan ada orang di luar sana yang bersimpati padanya karena mereka berpikir ia pantas mendapatkan hal ini. Justru sangat mungkin mereka menertawakan Ucup yang selama ini menghidupi keluarganya, anak dan istrinya dari uang milik mertuanya sendiri. Ya, itulah yang pasti orang-orang lihat. Meski begitu ia tidak merasa perlu menjelaskan bahwa semua ini bermula karena permintaan Ayah Teja dan Ucup sampai saat ini masih ingat bahwa apa yang dipegangnya saat ini akan ia kembalikan pada pewaris sebenarnya dari Teja Mahardika. Ucup mengabdikan diri pada keluarga ini bertahun-tahun dan sama sekali tidak tau bahwa selain harus mengorbankan waktu, pikiran dan perhatiannya untuk perusahaan, ia juga harus membayar harga yang sangat mahal, terpisah dari putri kecil mereka. Vani menghentikan sang suami dari kegiatan mengiris bawang, satu-satunya hal yang bisa Ucup lakukan untuknya di dapur sejak mereka menikah. Wanita yang tengah mengandung itu berjinjit agar bisa menangkup wajah suaminya, mempertemukan kedua pasang manik mata mereka. “Cup..” “Kalau aku bilang aku ga mau ngasih tunjuk Divy sama mereka, apa kamu marah?” Ucup tau bahwa kemungkinan besar ia telah dipecundangi tapi tetap saja ada rasa takut saat melihat langsung bahwa mereka memang sudah mengenal Divy. “Si kembar ga akan turun bahkan sampai jam makan malam selesai, percaya aku. Amira terlalu bersemangat hari ini, kamu tentu belum pernah melihatnya betah di dalam kamar selama ini ‘kan, sayang?” tanya Vani yang memberikan senyum menenangkan bagi suaminya. “Si kembar.. aku suka cara kamu menyebut mereka,” ucap Ucup yang sudah menarik pinggang istrinya mendekat untuk ia peluk. Dan begitulah sampai menu makan malam selesai di masak. Tiba saatnya makan malam, Ucup menghidangkan pada semua orang apa yang istrinya buat dan meminta mereka memulai makan malam. Saat Imam bertanya kenapa Amira dan Divya tidak ikut makan malam, Ucup bersyukur ia punya Vani di sisinya yang bisa membantunya bicara saat Ucup sendiri tidak punya keinginan untuk membicarakan hal itu. Sementara para orang dewasa selesai dengan makan malamnya, Divya juga sudah selesai mendengarkan kisah super lengkap kedua orang tua mereka. Kisah yang sangat-sangat manis menurutnya. Siapa sangka pernikahan yang diawali tanpa cinta hanya bisa di temukan di dalam novel saja? Tidak sampai setengah hari rasanya Divya sudah mengenal semua orang yang Amira ceritakan padanya. “Lima belas menit cukup?” tanya Amira, ia sedang mengintip Divya yang hendak masuk ke kamar super pink nya. Kini mereka berada di ambang pintu kamar masing-masing dengan Divya yang memeluk piyama milik Amira. Hal pertama yang menurut Amira akan membuat mereka terlihat seperti anak kembar, karena malam ini mereka akan mengenakan baju tidur dengan model sama hanya berbeda warna saja. Keduanya sama sekali belum turun sejak mulai bercerita sore tadi dan baru akan mandi padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh lima menit. “Aku ga mandi selama itu,” kekeh Divya. “Tos!” seru Amira senang mendapati kesamaan antara dirinya dan Divya. “Tos!” Divya terkekeh senang. Ia tidak pernah bertemu seseorang yang untuk dekat dan akrab dengannya butuh waktu secepat ini. Divya bahkan butuh waktu satu semester lebih untuk berteman dengan Tika. Begitu Divya keluar dari kamar mandinya, ia mendapati Amira sudah duduk dengan kedua kaki dilipat di atas ranjang. Sambil menyengir Amira meminta tolong pada kembarannya itu untuk mengeringkan rambut. “Biasanya rambutku dikeringin sama Bunda tapi kalo Bunda sibuk sama d’ JaQue, Ayah yang turun tangan. Tiap kali ngeringin rambutku, Ayah selalu mengancam mau potong rambutku,” cibir Amira pada Divya. “d’ JaQue?” tanya Divy yang langsung mengambil hair drier dari laci meja riasnya. Ia sama sekali belum melihat keseluruhan kamar ini pun dengan barang-barang yang ada di dalamnya. Tapi melihat bagaimana sempurnanya Ayah menata kamar ini, Divy kira ia tau dimana tempat untuk menemukan benda itu. “Ingat toko Roti yang Ayah hadiahkan untuk Bunda dulu?” tanya Amira begitu merasakan tangan saudara kembarnya di tiap helai rambut pink sepinggang miliknya. “Toko roti itu adalah cikal bakal bisnis waralaba yang Bunda sama Ayah kelola. D’ JaQue, kamu yakin ga pernah beli roti, donat ataupun kue di d’ JaQue? Kita udah ada bahkan sampai ke seluruh penjuru Indonesia, loh Div.. Cuma ya itu.. masuk ke sumatra agak susah karena kebanyakan mereka hidup dari dagang. Pemerintah yang di pelopori sama Puti Sumatera itu membatasi gerak kita. Sampai sekarang d’ JaQue cuma bisa di temukan di tiap-tiap bandaranya sama dua mall terbesar di masing-masing propinsi. Aku heran kenapa pulau sumatra harus dibagi-bagi jadi beberapa propinsi kalau penguasanya tetap para bangsawan dari garis keturunan raja terdahulu.” Divya mematikan hair drier di tangannya, ada hal yang membuat ia bingung. “Kita? Kita as in bisnisnya orang tua kita?” Dan ya, Divya setertutup itu dari dunia luar sampai ia tidak tau apa-apa soal waralaba yang Amira sebutkan. Ia hanya terlalu suka bermain bersama papa dan juga Aldi selama ini. Nonton TV pun ujung-ujungnya jadi menonton pertengkaran Aldi dan Dita. Tapi belakangan ini Tika rajin meracuninya dengan drama-drama korea. Jadi kalau yang Amira tanyakan padanya tentang korea, Divy yakin bisa menjawabnya karena dia punya perpustakaan korea berjalan yang namanya Tika. “d’ JaQue itu artinya Jacinda and Queensha. Jadi kita yang aku maksud adalah kamu dan aku. Keren ga sih kita?” tanya Amira menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Orang tua kita sesukses itu?” tanya Divya melongo. Amira menggeleng-geleng, “Belum sesukses Teja Mahardika, si.. tapi tenang aja. Kita pasti dapat warisan dari Kakek. Itu motivasi hidupku sampai saat ini. Bayangkan waktu Kakek membagi hartanya untuk Om Imam, Om Alif, Bunda dan kita. Kita bisa hidup senang sampai beberapa tahun sambil nyari suami kaya raya biar pas uang dari Kakek habis kita tetap bisa hidup senang.” “Astaga Amira..” “Kenapa? Eh kamu kok berenti sih? Rambut aku masih basah nih, besok pas kamu keramas aku janji keringin rambut kamu juga kok.” Divya kembali pada pekerjaannya mengeringkan rambut pink cantik milik saudaranya yang ternyata hidup demi warisan, lucu banget ga sih kembarannya Divya ini? “Kenapa? Suka warnanya?” tanya Amira pada Divya yang tanpa di minta mengepang rambut pinknya yang sudah kering sempurna. Amira tidak pernah bisa mengepang meskipun dari dulu  selalu belajar. Di rumah ini yang bisa mengepang cuma Bunda. Setidaknya harus ada satu orang lagi di rumah ini yang rambutnya panjang agar Amira bisa melihat bagaimana cara Bunda mengepang rambut tapi Ayah menolak mentah-mentah ide itu. “Suka.” “Besok aku antar ke salon langganank-” “Ga! Aku ga mau macam-macam sama rambutku. Lagian nanti mau jawab apa sama Pak Jefri?” >>>  Imam menggerak-gerakkan kakinya tidak sabar, satu tangannya yang tidak menyangga dagu juga mengetuk-ngetuk meja dengan gerakan cepat. Semua orang sudah berkumpul sejak tadi sore untuk bertemu dengan kembaran Amira tapi dia masih tidak bisa percaya bahwa mereka semua makan malam tanpa si kembar. “Kak..” panggil Imam sambil menegakkan punggungnya. “Hm?” “Menurut kakak, Amira nanti dapat pelintiran di telinganya aja atau di mulutnya yang hobi banget ngomong?” Imam tau ponakannya itu cerewet tapi ia tidak pernah menyangka Amira sanggup bicara berjam-jam seperti ini. Jangan-jangan Divya sudah teler di atas sana akibat omongan Amira yang tidak ada remnya itu. “Anak-anak ga akan kemana-mana, Mam. Kakak bisa pastikan kalau mereka bakal turun karena mustahil Amira dan Divya ga lapar,” Ucap Vani sambil melihat reaksi sang suami setelah mendengar gerutuan Imam. “Sekarang biar Kakak yang tanya, kamu kapan mau nikah? Apa harus tunggu sampai dua tahun lagi biar umurmu tiga puluh?” “Alif juga ditanya dong.” Sejak mendengar kata nikah, Imam memalingkan wajahnya dari sang kakak. Percayalah, menikah bukan tentang umur saja, juga bukan tentang siapa cepat. Ini tentang kemauan, keinginan. Dan kemauan itu harus dari dua orang, karena menikah tidak bisa sendiri. “Alif udah ngelamar pacarnya, mereka udah tunangan sekarang, Mam. Kamu kenapa malah jalan di tempat?” Jalan di tempat, gumam Imam mengulangi istilah yang kakaknya gunakan. “Ya pacarnya Alif enak, diajak diskusi tuh bisa. Cewek sinting itu taunya cuma kata terserah.” Imam sudah beberapa kali menanyakan kapan pacarnya ingin mereka untuk menikah dan jawabannya adalah terserah. Ya oke, terserah Imam kalo begitu bukan? Mana si sinting itu selalu membuatnya kesal dengan ucapannya yang ingin menunggu Alif putus dengan pacarnya setiap mereka bertengkar. Imam segera mengangkat pantatnya dari sofa, tidak ingin mendengar soal menikah lebih lama lagi. Toh pada akhirnya kalau memang ia akan menikah ya pasti sama si sinting. Tapi nantilah. Gerakannya yang ingin kabur menyusuli Amira dan Divya terhenti begitu mendengar pekikan senang dari gadis belia yang langsung berlari dan menghambur ke pelukan mamanya. “Oma..” panggil Divya pada orang yang sudah ia kenal sejak lama. Tantenya Papa yang walaupun tidak sering mereka temui, tapi beliau baik dan masakannya enak. Tiap kali beliau datang ke rumah pasti meja makan penuh dengan aneka masakan lezat. Vani menoleh pada Divya yang kini tengah memeluk Mama Dila seolah mereka sudah saling kenal jauh sebelum hari ini. Sedang di tempatnya sana, Ucup mengepalkan tangannya, ingin mengamuk rasanya saat apa yang ia duga ternyata memang benar. Oma katanya, gumam Ucup yang langsung beranjak dari posisinya. Meletakkan kedua tangannya di bahu Divya, Ucup menghela anaknya pada Mama. “Divy udah kenal sama Oma, ‘kan nak?” tanya Ucup dengan suara sangat lembut dan tentu saja tanpa menatap pada istri dari Ayah mertuanya itu. “Sekarang kenalan sama Mamanya Ayah, nenek kamu dan Amira. Nenek sebenarnya yang kalian punya, besok Ayah ajak ke makam dari bundanya Bunda, nenek Wulan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD