2.1

1718 Words
Vani yang duduk di jok belakang mencoba memejamkan mata mengabaikan suami dan anaknya yang menelfon semua anggota keluarga mereka tentang kabar kehamilan tak terduganya ini. Dimulai dari suaminya yang menghubungi Mama Tari, kemudian Amira ikut mengabari Mama tiri Vani, lalu keduanya menghubungi Ayah, Imam dan Alif. Saking sibuk dan seriusnya mereka dalam rangka menyebarkan berita kehamilannya, Amira bahkan sengaja menghentikan putaran lagu di radio dengan cara mematikannya. “Halo..  Iya ini aku dan kamu ga lagi mimpi di telfon aku siang bolong. Aku tau kamu ga tidur Kev.” Ucap Amira menghentikan cerocosan Kevin yang katanya percampuran antara kesal, rindu dan cemas menghadapi UN sampai berhalusinasi di telfon oleh dirinya. “Aku punya kabar bagus.” “.....” “Iya yang tadi beneran,” pekik Amira mendengar nada antusias dari seberang sana, Kevin memang selalu memberikan reaksi yang Amira inginkan. “....” “Seriussss.. Bundaku hamil lagi, duh aku ga tau harus bilang gimana tapi aku sama Ayah senang banget, senangnya tuh kaya dari bumi ke bulan terus balik lagi ke bumi setelah terlebih dahulu singgah ke pluto.” Apa-apaan itu? tanya Vani membatin. Anak gadis kesayangan Ucup barusan mengatakan kalau rasa senangnya dari bumi ke bulan dan balik lagi ke bumi, tapi kenapa singgahnya ke pluto? Bukannya yang dinamakan singgah itu berhenti di tengah perjalanan? Pluto ‘kan ga ada di antara bumi dan bulan? “Amira mulai sekarang kamu harus belajar yang bener..  Ngomong aja kamu salah!” Kening Amira dan Ayahnya mengkerut, keduanya juga menghentikan aktivitas masing-masing kemudian bersama-sama menghadap ke belakang, pada Vani yang tiba-tiba saja marah. Ada apa dengan wanita kesayangan mereka ini? “Kamu mau kita semua mati? Lihat depan sana!!!” kali ini Ucuplah yang dimarahi oleh Echa-nya. “Bunda kok marahin Ayah? Ayahku ‘kan ga apa-apain Bunda,” ucap Amira yang jarang melihat Bundanya kesal pada Ayah tanpa sebab seperti sekarang. Ayah kalau marah sama Bunda juga ga sampai yang membentak kayak yang Bunda lakuin barusan loh. “Ga apa-apain kenapa Bunda bisa hamil gini?” tanya Vani kemudian melirik pada spion depan, suaminya si satu-satunya dalang kenapa ia bisa hamil yang sekarang sedang menyetir juga tengah meliriknya. “Cha... Saring dulu apa yang mau kamu bilang ke anak kita,” ucap Ucup kalem. Vani melengos, mengabaikan Ucup dan menatap jendela samping,  mengabaikan dua orang lainnya yang juga berada di dalam mobil yang sama dengannya. Ini kalau Ucup tidak tiba-tiba menggendongnya di depan banyak orang lalu mengabaikannya begitu saja ketika mereka semua sudah berada di dalam mobil, Vani tidak akan sekesal ini sekarang.  Ucup kembali menyalakan radio karena tidak ingin anaknya kembali bertanya pada sang Bunda. Ia paham bahwa wanita hamil akan bertingkah ajaib namun putri mereka hanyalah seorang remaja, ia belum tahu apa-apa. “Nak..  Barusan kamu telfon siapa?” tanya Ucup untuk mengajak anaknya bicara. “Sama Kevin, Yah.” “Kevin yang mantan pacar kamu itu?” “Iya.. Ini ‘kan kabar gembira jadi aku mau kasih kabar ke semua orang penting kita.” Ucup kembali menghentikan radio yang beberapa saat lalu baru dinyalakannya. “Dia bukan orang penting Ayah, kamu mau cari gara-gara lagi sama Ayah?” “Tapi Kevin orang penting aku, Yah.. Dia ‘kan jodohnya aku,” ucap Amira dengan polosnya. Dia yang tidak tau apa-apa soal jodoh malah berbicara seolah sudah khatam masalah jodoh pada Ayahnya. Sementara Vani memutuskan untuk diam saja, terserah mereka berdua saja. Mau mereka hari ini bermalam di jalanan atau bagaimana, lihat nanti saja. Kalau diingat-ingat hari ini Ucup dan Amira sama sekali belum berdebat, makanya waktu dan tempat disilahkan oleh Vani. Vani mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membuka kolom Chat miliknya, Putra, Cinta, Deva dan Rian. Curhat bahwa ia tengah berbadan dua gara-gara Yusuf Fairuz Amzari yang dikatainya tidak tahu umur. Tentu saja setelahnya ia mengancam Cinta agar tidak mengadukan apa yang ia katakan hari ini pada suaminya. Dan tak disangka-sangka Cinta juga mengabarkan bahwa ia juga tengah hamil.   Me: Lo ‘kan masih muda, lah gue??   Ketik Vani, si satu-satunya yang mengetik dengan sinis, selebihnya malah menyambut gembira kabar darinya dan Cinta. Deva, Pura dan Rian bahkan sudah mencari waktu di mana mereka bertiga bisa main ke rumah Vani untuk berkenalan dengan adiknya Amira. “Nih Cha lihat anak kamu, keras kepala, genit dan ga nurut sama orang tua!” Kepala Vani tegak seketika, “Kenapa anak aku? Justru semua hal yang kamu keluh kan tentang anak kita berasal dari ayahnya. Ayahnya juga genit semasa SMA, kamu lupa siapa yang tiap hari ke gedung Selatan cari cewek semok???” Kuping Amira tegak mendengarnya informasi maha penting yang baru pertama kali Bunda bocorkan padanya. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia buru-buru berbalik menyudutkan Ayahnya, kenapa Ayah segenit itu waktu muda? Amira bukannya tidak tau kalau Bunda dulu anak gedung Utara. “Bunda dan Ayah sudah dipertemukan di gedung Utara lalu apa lagi yang ayah cari ke Selatan? Ya meskipun aku pernah dengar rumor kalo anak-anak Selatan memang lebih cantik, tampan dan mempesona apalagi beberapa hari yang lalu aku sudah mengeceknya langsung, tapi Bunda ini sudah paling cantik loh, Yah.. jadi aku tanya sekali lagi, apa lagi yang Ayah cari?” “Siapa bilang anak selatan yang cantik-cantik? Buktinya Ayah nikahin cewek paling cantik dan kenyataannya bunda kamu anak Utara.” “Ya makanya itu yang aku tanya Ayahku sayang.. ngapain Ayah ke Selatan?” tanya Amira lagi. “Aa.. aku tau.. mungkin Ayah ga puas dan mau cari cewek yang banyak lebihnya dari Bunda.”  “Iya.. Kamu ga usah ngeles lagi deh, Cup. Buktinya kamu sampai diikutin sama Anggun Anggun kamu itu,” Vani kembali cemburu mengingat bahwa dulu saat tidak bersamanya Ucup malah tinggal di gedung yang sama dengan Anggun dan mereka juga menjadi semakin dekat saat Vani dan Ucup malah menjadi semakin jauh. Ucapan Vani barusan membuat Ucup berhenti mendebat anak mereka. Amira yang merasa kali ini benar-benar terjadi ketegangan antara Bunda dan Ayahnya memutar otak bagaimana agar keduanya romantis seperti biasa. Tadi ia hanya berpikir untuk membuat keadaan menjadi lebih baik untuknya, agar Ayah tidak menyalah-nyalahkan Kevin lagi tapi ternyata keadaan malah jadi berbalik seketika. Satu-satunya yang ada di otak Amira saat ini adalah bagaimana ia harus memberikan kedua orang tuanya waktu, kemudian ia teringat dengan Egin.   Me: P   Me: P   Me: P   Me: Gin..   Me: Gue boleh main ke rumah lo, gak? Tapi jemput gue..  Bisa ya? Plis..   Egin: Haii.. boleh banget, lo sekarang di mana? Share lokasi aja, langsung gue jemput. Gue juga lagi sama yang lain ini..     “Yah..  Aku turun di sini dong, aku sama Egin ada tugas buat kaligrafi juga ada tugas pancasila gitu Yah, tentang kemerdekaan Indonesia,” ucap Amira setelah mengirimkan lokasi keberadaannya pada Egin. Amira tidak yakin kalau mata pelajaran pancasila juga membahas kemerdekaan Indonesia karena ia baru ingat barusan kalau kemerdekaan indonesia itu adanya di mata pelajaran sejarah. Terserahlah! Yang penting ia punya alasan. Ucup yang memang sangat protektif pada sang anak tentu saja tidak percaya begitu saja sampai teman yang anaknya maksud datang dan menyapa mereka dengan ramah, juga membenarkan ucapan Amira. Ya meskipun kelakuan mereka agak aneh, saling sikut dan tertawa canggung. “Bunda temenin Ayah nyetir, ya..  Nanti takutnya Ayah ngantuk, nanti Bunda juga yang kenapa-napa,” ucap Amira membukakan pintu mobil untuk Bundanya. Setelah memastikan wanita paling berharga yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil itu pindah ke samping sang Ayah, baru Amira dan temannya pamit. “Anak aku tuh, Cha.. Gentle banget sama Bundanya ya walaupun kalo sama aku mulutnya suka gatal pengen di pelintir,” kekeh Ucup saat mobil yang dikemudikannya sudah bergabung bersama kendaraan lain di jalan raya, berhubung tidak bisa minta bonus karena mereka sedang di jalan dan Ucup harus mengemudi, makanya Ucup hanya mengambil tangan kanan istrinya untuk genggam dan sesekali ia kecup. >>>>  Danis hanya akan tunduk pada dua wanita saja, yang satu adalah Mama kesayangannya dan yang kedua adalah Ibu yang telah melahirkannya. Jadi itulah kenapa hari ini ia bisa keluyuran dengan Nada, karena Ibu Restu meminta tolong padanya untuk menghibur si adik yang tidak bisa mengikuti kompetisi balet karena sang ayah tidak memperbolehkan. Sepasang kakak dan adik itu sedang berada di sebuah restoran, menunggu makanan yang mereka pesan datang. “Nad.. Mukanya biasa aja lah!” “Abang enak.. Apa pun mau Abang pasti Papa Denis engga pernah larang.” “Karena memang lebih banyak untung daripada ruginya, tapi kamu?” Nada menghela nafas kesal sekali lagi, memang benar kakinya sempat cedera akibat opera yang dua bulan lalu ia ikuti tapi ‘kan sudah sembuh. Lagian dia masih tiga belas tahun dan tulang-tulangnya sembuh dengan cepat. “Kadang Abang lebih cocok jadi anak Ayahku,” ucapnya memberengut, membuat pipinya menggembung. Makanan yang ditunggu-tunggu datang dan mampu membuat nada melupakan kekesalannya. Lasagna dan carbonara pesanan keduanya menguarkan aroma yang membuat keduanya semakin lapar. Sebelum dua kakak adik yang dulu pernah tinggal di rahim yang sama meskipun tidak pada waktu yang sama itu menyentuh makanannya, mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang berseragam merah-putih. Jadilah di sana ada tiga siswa wajib belajar dua belas tahun dengan seragamnya masing-masing. “Kamu kenapa selalu mencuri Abangku?!” begitu ucapnya sambil menunjuk kiri wajah Nada. “Daffa!!! Nada ini kakak kamu juga,” ucap Danis pada sang adik. Sebenarnya dua adiknya ini sebaiknya tidak pernah bertemu, kecuali dengan kedua pasang orang tua yang paling bisa mengontrol mereka. Mereka selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian Danis sampai sang Abang merasa kepalanya mungkin bisa saja pecah. Jika Nada yang tidak setiap hari bertemu dengannya mulai bercerita soal pengalamannya, apapun itu, maka Daffa pasti akan melakukan hal yang sama. Kemudian mereka akan meninggikan suara masing-masing, pikirnya dengan begitu maka Danis akan lebih bisa mendengar ucapannya. Setelah beberapa menit dan keduanya mulai merasakan tenggorokannya sakit lalu mereka akan berusaha membekap mulut yang lainnya sehingga akhirnya Danis harus melerai mereka dan memarahi salah satu dari adik-adiknya. Memarahi salah satupun akan berakibat dirinya dikatai pilih kasih. Beginilah hidup yang harus dijalani oleh Danis Ammar Hardian. Daffa tidak peduli dengan yang diomongkan Abangnya, sama seperti Nada yang mencoba tidak terpengaruh kemarahan Daffa karena telah menculik abangnya. Anak SD yang pasti beberapa tahun kemudian menjadi remaja incaran para ABG ini menarik lasagna milik Nada. “Ini Abangku yang beli ‘kan? Pasti kamu merengek sama Abangku ‘kan?” “Daffa!!!! Kembalikan makanan Kakak atau Abang pindah ke rumah Kakak Nadamu? Begitu yang kamu mau?” Daffa mencibir mendengar istilah 'Kakak Nadamu' yang digunakan oleh Abang kesayangannya. Sumpah demi apa cewek ini kakaknya? Demi dia kali, demi dia yang ga penting sama sekali. Nada, siswi SMP yang sudah sangat akrab dengan kecemburuan Abi pada Abangnya mencoba tidak berkomentar karena kompetisi balet masihlah menjadi sumber kegondokannya. Ia ingin ikut serta, demi apapun dia sangat ingin tapi sang Ayah menentang keras. Sementara Daffa Abizard Hardian sudah ia hadapi selama hidupnya. Jadi hal ini bukan perkara yang baru baginya. Daffa atau yang lebih sering dipanggil Abi oleh orangtuanya, mendorong kembali piring berisi Lasagna ke arah Nada. Ia tak akan membiarkan Abangnya tinggal di rumah Nada. Sedari tadi semenjak masih di rumah Daffa merasa heran kenapa Abangnya belum pulang dan setelah tanya ke Mama ternyata Abang sedang sama si Kakak tidak jelas ini. Kakak apaan cebol begini? Makanya Abi auto menyusul. “Abang ga inisiatif tanya aku mau makan? Karena aku mau makan,” sindir Daffa, abangnya adalah manusia yang sangat tidak sensitif bahkan pada adik kandung sendiri. “Eh yang sopan ya sama Abangku!” “Abangku?!” tanya Abi menggebrak meja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD