2.2

1785 Words
Amira yang cantik ini masih memiliki penglihatan yang jernih berkat Ayahnya yang selalu menegur dirinya kalau sudah lebih dari satu jam memainkan ponsel, ya, Amira pikir itulah alasan kenapa matanya masih sangat baik. Tidak seperti mata Fika yang sudah rusak, sama seperti orangnya. Meski belum masuk ke dalam restoran tempat ia dan beberapa teman sekelasnya akan makan, Amira tau ia sama sekali tidak salah lihat. Makanya Amira memacu langkahnya mendekati cowok sok fokus yang namanya sudah ia hapal mati, Danis Ammar Hardian. See? Amira tentu tidak akan bersikap tidak tau diuntung. Danis sudah membantunya lolos dari dua cowok yang hari itu menembaknya. Makanya ia ingin mengenal lebih teman sebangkunya yang dingin dan ketus itu. Setidaknya sekarang ia tau nama, alamat, tanggal lahir dan hobi si cowok ganteng. Sedang apa yang membuat Amira memacu langkahnya adalah dua orang yang sedang bersama Danis. Sejak dulu ia sering berandai-andai untuk memiliki adik, selain Divya tentunya, sehingga bisa melakukan banyak hal dengan mereka seperti makan siang bersama seperti yang sekarang Danis lakukan dengan adik-adiknya. “Widih... Ada adek-adek rupawan dijajanin sama cowok sok fokus sedunia nih.. Pasti Hardian semua ya, nama belakang kalian? Kereeeeennn,” ucapnya riang. Di benak Amira saat ini sudah terbayang bahwa nanti adiknya yang baru juga akan menyandang nama Amzari. Ah semoga bunda hamil kembar lagi, Amin. Nada dan Daffa terdiam, mereka melupakan perdebatan soal siapa yang lebih berhak memanggil Bang Danis dengan sebutan Abang sejenak guna mencari tahu siapa yang mengatai mereka adek-adek rupawan. Sementara Danis menunjukkan wajah cukup kaget melihat si cewek pisang dan beberapa teman satu kelasnya. Kemudian tanpa diminta dan ditawarkan Amira mengajak teman-temannya bergabung di meja Danis dengan alasan ia akan menyampaikan berita bahagia. Danis mendecih pelan, situasi macam apa ini?! Cewek pisang ini arrrggghh!! Egin yang menyadari bahwa kehadiran mereka sama sekali tidak diharapkan pun hanya bisa menunjukkan wajah bersalahnya pada Danis. Ia hanya bisa bicara pelan diantara teriakan Amira dan yang lain, menjelaskan pada Danis bahwa mereka tidak sengaja menemukan Danis dan adiknya disini. Bahwa mereka betulan hanya ingin makan saja disini. Kenapa Egin merasa perlu untuk menjelaskan hal ini karena kadang Danis mau memberinya contekan di detik-detik kepala Egin sudah mulai berasap sewaktu ujian. Selama dua tahun sekelas dengan Danis, hanya Egin saja yang mendapat anugrah bisa diconteki oleh seorang Danis Ammar Hardian. Mungkin ini sebagai balas jasa karena cowok pintar nan tampan itu kalau tanya-tanya tentang tugas apa saja yang sekiranya terlewat karena harus ikut lomba selalu tanyanya sama Egin. “Apaan sih, Gin! Formal amat, cowok sok fokus bukan kepala sekolah kita kali,” ucap Amira setelah menyikut Egin, niatnya sih berbisik namun bisikannya itu bahkan bisa didengar tanpa cacat oleh Danis. Meja yang disatukan dengan dua meja lainnya berkat permintaan super manis dari Amira pada pelayan restoran itu menjadi heboh terlebih semenjak si cewek pisang mengatakan bahwa ia akan segera memiliki adik bayi. “Coba pegang pipi gue,” ucap Amira pada teman-temannya, dan mereka seolah tersihir dengan kebahagiaan Amira langsung melaksanakan permintaan si cewek berambut dusty pink. “Lo demam?” tanya Raja yang ikutan menyentuh pipi anak gadis orang, kapan lagi ia bisa dapat kesempatan seperti ini? Mumpung orangnya sendiri yang minta. Tapi entah kenapa bulu kuduknya berdiri, seolah menyentuh pipi lembut Amira adalah hal yang sangat salah baginya. Saat menoleh pada arah dimana ia merasa seseorang menatapnya tajam, Raja kemudian meneguk ludahnya. Ada apa dengan Danis? Begitu pikirnya. “Engga lah.. itu artinya gue seneng banget. Gue kalo seneng emang suka gitu tubuhnya, panas he he he..” Danis tidak pernah menemukan anak perempuan yang begitu polos, sejak beberapa hari duduk bersebelahan dengan Amir. Cewek ini memang mudah sekali senang hanya karena hal-hal kecil seperti roti isi pisang dan bahkan sekarang karena kehadiran janin di rahim mamanya. Anak SMA mana yang akan berteriak pada temannya untuk mengatakan bahwa ia akan segera memiliki adik bayi? Itulah kenapa Danis menyebut Amira polos. Ekspresi gadis itu terlalu sayang untuk dilewatkan, makanya Danis tetap menatapnya sambil terus mencoba menampilkan wajah acuh tau acuhnya. Sayangnya kesenangan Danis terganggu karena Raja ikut-ikutan memegang pipi teman sebangkunya itu. Berani sekali Raja menggunakan tangannya untuk menyentuh pipinya teman sebangku Danis, dia yang duduk tiap hari berdekatan dengan cewek pisang ini saja tidak pernah tuh pegang-pegang Amir. Beruntung Raja langsung paham dengan ketidaksukaan Danis dengan perbuatannya barusan, kalau tidak.. mungkin Danis sudah bicara yang mengakibatkan ia menyesal setelahnya. Bayangkan saja kalau tiba-tiba Danis menggebrak meja atau bahkan sampai menarik kerah Raja belum lagi kata-kata yang tidak berani Danis bayangkan. Nanti kalau Amir bertanya alasan kenapa ia sampai berbuat demikian ia mau jawab apa? Dalam benaknya Danis bertanya-tanya, apa tidak bisa mereka, Danis dan Amira maksudnya, bertemu di sekolah saja? Karena jujur saja si cewek pisang sudah mulai membuat Danis, orang paling cuek sedunia merasa terusik yang sampai terbayang-bayang bahkan sedetik sebelum tidur. “Mir, lo kok bisa lolos sih dari razia guru-guru?” tanya Raja mengalihkan kekesalan Danis yang masih terasa sampai saat ini. Ia baru tau kalau Danis adalah manusia yang tidak perlu bicara agar kita tau kalau dia sedang kesal. “Ooh.. gue bilang sama gurunya kalo gue ubanan buanyak banget. Gue juga boong kalo pernah dibully gara-gara uban.” “Pak Jefri ga nyuruh lo warnain rambut jadi hitam aja?” tanya Ica penasaran. “Ngecet rambut pake warna hitam ‘kan dosa, terus Bapaknya mingkem deh wkwkwk..” “Astaga Mir.. lo sampai bohongin guru paling ditakutin se Bina Bangsa? Ckckck iya sih, Pak Fadli aja langsung takluk sama lo. soal nenek lo yang guru di sekolah kita itu juga bohong?” “Engga lah.. nenek gue namanya Bu Dian Lestari. Guru berprestasi Bina Bangsa tuh dulu.”  “Ehem... cewek cantik ini adek lo ya, Dan?” tanya Egin membuat teman-teman yang sibuk membahas segala hal tentang Amira mulai dari adik bayi bahkan sampai ke rambutnya yang di warnai dengan warna dusty pink menoleh pada Danis. Teman yang mereka ganggu kenyamanannya. “Gue adeknya,” ucap bocah merah-putih galak membuat Egin ciut kemudian Danis menatap tajam adik kandungnya. “Egin kesambet apa sih? Jelas-jelas yang mirip sama Danis itu adalah adek cowok ini. Ckckck gue dong.. meski jadi anak tunggal selama hampir enam belas tahun tau tuh ciri-ciri sodara kandung,” timpal Amira begitu terobsesi dengan sibling's stuff. Nada mencibir melihat Abi yang langsung tersenyum senang atas ucapan Kakak cerewet yang mengatai Abangnya sok fokus. Bahkan sekarang Abi sok ramah pada Kakak itu, ga penting banget, Abang bahkan ga merespon si kakak cerewet. >>>>  Aldi menatap ngeri pada isi piring Divya, sudah pernahkah Aldi katakan bahwa makan bersama teman dekatnya itu hanya membuat nafsu makan kamu sekalian hilang? Karena anak gadis kesayangan Dokter Haris juga kedua orang tuanya Aldi ini suka sekali dengan organ dalam. Hati, ampela, jeroan bahkan tak hanya itu, cewek yang sering merebut perhatian Mamanya ini bahkan juga menyukai ceker ayam. Merakyat sekali bukan selera Didi? “Kadang aku malu, Ris.” “Santai sajalah Dokter Firman,” ucap Aldi pada Papanya. “Kamu lihat ‘kan ris? Sudahlah anak ini tidak sopan pada Bapaknya.. minta jajan juga yang lebih mahal dari jajan anakmu.” Dokter Haris tertawa, ia senang melihat hubungan Firman dan Aldi, yang benar-benar unik. Haris yang memang sudah berteman lama dengan Firman sangat mengetahui dari mana turunnya kebiasaan bicara formal Aldi pada sang Papa. Dari siapa lagi kalau bukan dari Mayang? Firman akan langsung menjadi orang asing tidap kali Mayang merasa kesal pada suaminya itu. Kemudian perhatian Haris kembali pada anak gadis yang sudah ia tinggal selama dua hari. Semakin hari, anaknya kian cantik, mengingatkannya pada wajah seseorang. Akankah Haris sanggup membiarkan Divya berada jauh darinya? Karena hanya anak ini yang membuatnya bertahan saat ia kehilangan perempuan yang sangat dicintainya, hanya anak ini yang menemani hidupnya selama hampir enam belas tahun terakhir. “Papa sakit ya?” tanya Divya yang menyadari bahwa Papa tidak menyentuh makan siangnya sama sekali. “Kalau Papa kamu sakit sudah pasti dikasih suntik sama Papaku, duuuhhh... mending kamu ngunyah aja deh, Di, yang bener! Kamu jadi sering ngawur tiap kali makan santapan jahiliah begitu,” ucap Aldi sambil menunjuk-nunjuk piring Didi, tak sampai sedetik berselang ia mengaduh karena kepalanya dipukul oleh Dokter Firman. “Pa! Nanti kalo aku geger otak gimana??” “Ya engga gimana-gimana, tinggal Papa suntik mati, beres.” “Issshh kejam kali Papaku,” ucap Aldi, sekali lagi menirukan logat sumatranya Rehan. Sempat Rehan tau ini ia pasti akan memberlakukan tarif untuk Aldi. Di sisi lain meja tersebut Didi komat-kamit sambil menatap kesal pada Aldi. “Kamu jagain anak Om ‘kan di sekolah?” tanya Dokter Haris setelah menelan makanannya. Tidak ingin putrinya berpikir macam-macam soal kesehatan dirinya. “Selalu, Om.. rekening aku juga masih yang dulu kok heheheh..” Perkataan Aldiansyah Umar barusan yang seolah-olah Haris selalu membayarnya untuk menjaga Divya di sekolah membuat Firman semakin kesal, ia yang berteman lama dengan Haris saja tidak setiap hari bercanda dengan temannya ini. Lain dengan Firman, Haris justru makin keras tawanya. Papanya Didi itu merasa bahwa Aldi adalah tipe anak yang lucu, yang jika kamu memilikinya, maka penatmu selepas bekerja akan hilang hanya dengan mendengar anakmu bicara. “Apaan.. Aldi malah berusaha jodohin aku sama temannya, Pa.” “Eh kapan? Mana ada?” “Masih berani nanya kapan?!” “Ya kapan?” tanya Aldi lagi, ia betul-betul tidak terima, kapan dia mencomblangkan Divya dengan temannya? Bisa mencomblangkan diri sendiri saja sudah bersyukur Aldi pada Tuhan Yang Maha Esa. “Tau ah!” ucap Divya ketus, masa dia harus nyebut nama Vano dulu baru Aldi ingat. “Ohh... maksud kamu Vano??? Ya aku mikir-mikir dulu lah mau jodohin Vano sama kamu.” Aldi langsung teringat dengan si Tungau. “Maksud kamu?” “Ya kasian Vano dong.. masa depannya tanpa kamu bahkan sudah sangat cerah.” “Astagaaa... ini mulut anakku kenapa kurang ajar sekali?” tanya Dokter Firman yang segera menyuapkan paha ayam pada mulut sang anak, berharap cara itu mampu membuat Aldi tutup mulut. Justru harusnya Aldi yang diperintahkan mengunyah saja. Sekarang lihat raut wajah Didi yang tampak kecewa dengan omongan anaknya. “Ris.. kamu masih ingat nomor telfon yang di tempel di tiang listrik dekat kamar mayat ‘kan?” tanya Firman pada temannya dengan raut serius. “Pasti nomor telfon sedot WC, Papa kira mulut aku perlu disedot?” omel Aldi jenaka namun ada kesan tidak terima di saat yang bersamaan. “Bukan... nomor telfon tukang santet, Papa pengen nyantet kamu supaya tergila-gila sama Didi.” “Ooops, enak aja.. cukup Papa sama Mama aja yang tergila-gila sama anaknya Om Haris ini. Kenapa pula harus aku?” cerocosnya tidak terima. “Memang jaman sekarang tukang santet udah terbuka gitu ya prakteknya? Sampai tempel nomor telfon di tiang listrik segala? Kontak WA ada ga Pa, mereka?” “Tukang santet juga belajar strategi marketing ya, Di.. hihihi..” Divya menemukan omongan Aldi menarik. “Iya, mereka S1 atau D3 sih itu, Di?” tanya Aldi penasaran. “Mana ada yang S1? Mereka ‘kan bergurunya sama setan, Di.. emang Setan bisa ngeluarin sertifikat?” Sepasang remaja itu sibuk membahas setan, sementara kedua Papa mereka saling melempar tatapan satu sama lain. Mereka berempat duduk di meja yang sama tapi seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan Aldi dan Divya dengan mereka. “Jadi, Di?” tanya Aldi. “Apanya?” “Kamu mau sama teman aku Vano? Dia setia kok anaknya.” “Tuh ‘kan Pa... Aldi nih ngasih aku sama temannya dia,” rengek Divya pada sang Papa. Akhirnya keberadaan Haris kembali dianggap oleh anak yang ia berikan semua waktu,  dan kasih sayangnya untuk merawatnya sejak kecil. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD