2

2318 Words
Dua hari berlalu dengan Divya yang menginap di rumah Aldi. Gadis yang sering ditinggal Papanya itu bahagia sekali karena Dita lebih menyukai dirinya dari pada abangnya sendiri hingga Divy tidak perlu merasa tidak enak hati. Kadang, untuk hari-hari tertentu Papa memang jadi sangat sibuk sampai tidak bisa pulang. Beruntung keluarga Mama Mayang selalu menyambutnya dengan hangat. Tidak sekalipun Divy merasa mereka tidak menginginkan keberadaannya di sana. Hari ini Aldi berjanji padanya untuk mengantarkan Divya ke rumah sakit sekalian membawakan baju ganti untuk sang Papa. Itulah kenapa sekarang Divy tampak sedang menunggui sahabat baiknya latihan futsal meskipun ia sendiri kesal dengan tatapan penuh keingintahuan dari teman-teman Didi tentang dirinya, juga tatapan curiga dari setiap anak Bina Bangsa yang melewati lapangan futsal karena hanya dirinya seorang yang duduk di samping tumpukan tas milik mereka yang sibuk mengoper bola padahal sudah lewat jam pulang sekolah. Cuaca sungguh tidak cocok untuk menunggui para laki-laki yang rebutan satu bola,  Divy sadar itu karena sudah beberapa kali dalam setengah jam ini ia menyeka keringat yang meluncur di dahinya. Namun begitu ia enggan memanggil Aldi dan mendesaknya untuk segera pulang karena tidak mau membuat dirinya jadi bahan perhatian lagi. “Di...” teriak Aldi dari tengah lapangan. Divya hanya menggerakkan kepalanya untuk menjawab sahutan Aldi,  terik membuatnya malas hanya untuk bicara. Divy akan pastikan untuk mengatakan ini pada Aldi nanti, bahwa ia benci terpapar sinar matahari di siang bolong. “Ambilin uang di tasku terus kasih ke orang ini,” teriak Aldi sambil mendorong seseorang agar mendekati Divya, hitung-hitung memberikan kesempatan pada Vano agar bisa berdekatan dengan cewek yang selalu di pujinya tiap ada kesempatan. Setidaknya Vano punya kenangan untuk berdiri berdekatan dengan Didi. “Dimana???” tanya Divy akhirnya mengeluarkan suara. “Di tas, ah... Cari dulu baru tanya, kebiasaan banget.” Divya berdecak kesal kemudian mengambil tas Aldi dari tumpukan tas-tas yang pastinya milik Aldi dan teman-temannya. Divy tidak pernah suka kalau Aldi berteman dengan mereka karena orang-orang itu memberi pengaruh buruk untuk teman tersayangnya yang harusnya selalu bersikap lembut dan baik padanya seperti saat mereka hanya berdua saja. Membuka risleting tas tersebut Divy menemukan seragam yang sudah kusut karena dimasukkan paksa ke dalam tas. “Buset... Itu marah???” tanya Rehan melihat Divya membuang semua isi tas Uumar ke lantai. Setelah mendapatkan uang yang temannya minta, gadis itu memasukkan isi tas Umar kembali ke tempatnya. Sedangkan sang pemilik tas hanya menampilkan wajah datar akan kelakuan teman kecilnya itu. “Ini semua gara-gara nyokap gue yang nyuruh kita pulang bareng. Sifat asli anaknya Om Haris jadi keluar ‘kan?” “Lo serius ga suka dia?” tanya Rehan pada Umar. “Apa ada yang salah sama gue sampe lo liatin gue segitunya kaya gue ini kucing yang nolak dikasih ikan?” “Karena ga seharusnya kucing nolak pas dikasih ikan seger. Temen lo ‘kan cantik.” “Lo ga paham,” Cibir Aldi pada temannya yang masih punya waktu untuk pacaran. Kalau saja orang tuanya tidak mewajibkan sekolah mungkin Aldi bisa berpikir untuk pacaran tapi sayang Papa dan Mamanya bukan orang yang akan membiarkan anak-anaknya memiliki keinginan seperti itu. Belum lagi ia punya adik yang senang sekali mengganggunya. Disaat ia telah menghabiskan hampir setengah hari di sekolah, belum lagi dengan kuota datanya yang dibatasi oleh Papa dan Mama, Aldi bahkan tidak bisa menonton Doraemon dan Nobita, juga nonton bola dengan tenang dan leluasa. Belum lagi nilai-nilainya yang selalu dibanding-bandingkan dengan nilainya Dita. Apa semua orang pikir ia bisa menyukai seseorang dengan keadaan seperti yang telah ia paparkan barusan? “Kenapa gue merasa kalian berdua ngeremehin kemampuan otak gue banget? Elo,” tunjuk Rehan pada Danis. “Lo ga mau jelasin apa-apa soal siapa pacar gulali kesayangan gue, dan lo.” tunjuk Rehan pada Umar, “Lo jelas langganan remedi tapi lo ngatain gue ga paham? Ngaca dong, Mar!” “Gue emang ga tau, dia baru masuk sekolah kita satu minggu dan lo pikir dia bakal cerita siapa pacarnya ke gue? Atau gue yang nanya? Apa tampang gue kayak tukang gosip?” “Sialan! Lo bahkan ga mau ngasih tau gue siapa nama teman sebangku lo yang cantik itu. Amir??? Lo pikir dia kembarannya Umar? Nama gulali kesayangan gue itu Amira Queensha Amzari! Ga cocok dia dipanggil Amir!” “Si tungau kayaknya lagi datang bulan, biarin aja dia,” ucap Umar menepuk pundak Danis. Berkat Rehan, Danis kembali teringat dengan si cewek pisang. Sejak dua hari ini dia tidak lagi bolos, dalam waktu semalam sejak di tembak dua cowok sekaligus ia langsung bertranformasi menjadi cewek baik-baik. Tidak ada tugas yang ia lewatkan selama dua hari belakangan kecuali bagian yang membutuhkan logika untuk mengerjakannya seperti matematika dan fisika. “Bisa lo ga nyebut-nyebut gulali kesayangan lo itu lagi di dekat gue?” ucap Danis menatap sahabatnya tajam. Lihat? Kini pikirannya jadi kacau lagi. Lagian kenapa cewek itu berubah hanya karena ditembak? Apa dia mau ditembak oleh anak cowok satu sekolahan? Makanya dia berubah? Vano sampai di dekat cewek yang ia cap sebagai pasangan sejati atau jodoh dunia akhirat teman baiknya a. k. a. Danis keturunan Hardian yang bijaksana, baik, tegas, cerdas, adil dan bertanggung jawab dengan grogi.  Ia merasa langkahnya begitu berat dan lambat hanya untuk berjalan dari tengah lapangan menuju tempat Divya. Sial sekali karena ia merasakan lututnya tak sanggup lagi berdiri menopang bobot tubuhnya. Vano bersumpah ia pernah jatuh cinta tapi kenapa ia bersikap berlebihan ketika berhadapan dengan calon menantu keluarga Hardian ini? Divya yang sedang jongkok mengumpulkan buku Aldi untuk dimasukkan kembali ke dalam tas menengadah karena bayangan seseorang mengenainya. “Oh..  Ini uangnya.” “Lo mau dibeliin minum apa?”           “Aku bawa minum sendiri kok.” “Kalo makanan? Cemilan gitu..” “Woi ga usah bikin ribet!!!  Didi sukanya makanan yang dimasak dari dapurnya sendiri,  doi sok higienis,” teriak Umar dari arah belakang membuat Vano mengutuk sahabatnya itu. “Kurang ajar ya Didi kalo di depan teman-temannya... terserah aja! Kamu beli apa aja pasti aku makan!” ucap Divya cemberut. Ia akan mengadukan ini pada Mama Mayang. Mama Mayang harus tau kalau Didi salah bergaul. “Lah kok jadi kesel ke gue?” tanya Vano berbisik. Danis duduk di bagian lain pinggir lapangan yang jauh dari Divya juga Umar dan Rehan, ia tengah sibuk mengamati chat grup kelas. Sepertinya mengamati grup kelas lebih baik dari pada mendengarkan gurauan teman-temannya tentang ceweknya si Umar, yap bagi Danis cewek itu ya ceweknya Umar. Baru membuka grup ia sudah langsung mendapati kontak cewek pisang yang ia save dengan nama ‘Amir.’    Amir: Gue kira doi bisu loh awalnya, di tanya ini itu ga jawab.   Roni: Mir, jangan ngomongin Danis deh.   Amir: Ga apa..  Orangnya lagi kelaut,  mancing udang.   Egin: Meskipun ga ikut chat,  Danis selalu baca chat kelas kita, Mir..  Omongin yang lain aja.   Nisa: Nanti Danis bikin perhitungan sama lo Mir..  Abis lo.   Amir: Eh mana ada kutu buku yang ngelabrak.  Dilabrak baru ada.   Roni: Senewen nih anak,  jadi lo mau ngelabrak Danis? Walau dia ga bikin salah apa-apa sama lo?   Mita: Paling nanti lo kesemsem sama si Danis yang lo katain cowok sok fokus. Hayo ngaku lo! Kalian kemaren ngapain bertiga sama si Farel?   Amir: Eh dia lahir aja artinya dia udah bikin salah sama gue!   Husni: Gila lo, Mir! @Amir   Egin : Mita kenapa jadi ikutan??? Kalian ga ngerasa serem apa bakal berhadapan sama Danis??? Gue out, gue ga mau ikut gunjingin cogan.   Amir: Siapa yang cogan? Si cowok budeg? Lo butuh ganti kaca mata nih Gin!   Roni: Iya Mit @Mita, gue juga penasaran nih. Kemaren kalian ngapain? Jangan bilang dia belain lo yang digangguin Farel! Jangan bilang kalian pacaran tapi sok-sok jutek satu sama lain biar ga ketahuan.   Danis menyerngitkan dahinya melihat obrolan anak-anak malah menjadi membahas dirinya. Ini pasti gara-gara si cewek pisang. Mana tuduhan mereka juga mulai macam-macam soal hubungan mereka berdua. Danis pikir teman-teman sekelas pasti ada yang menangkap basah dirinya memperhatikan Amir dan satu orang itu mulai menyebarkan gosip ke semua anak-anak kelas. “Nih..  Lo mau yang mana?” tanya Vano pada Danis. “Bukannya sama?” Danis menatap prihatin pada temannya yang hobi bicara. Jelas-jelas Vano membeli minum yang sama jenisnya. “Beda..  Kalo yang ini kantong kreseknya samaan sama calon bini lo, kalo satu lagi udah kena keringet gue,” ucap Vano dengan cengiran lebarnya. Danis berdecih pelan kemudian merampas botol yang katanya sudah kena keringat Vano. Mengibas-ngibaskan tangan kirinya, ia meminta Vano menjauh darinya karena jika temannya itu ikut duduk di sebelahnya maka kuping Danis akan kembali terkontaminasi oleh cerita Vano tentang cewek itu yang katanya sangat cocok dengannya lah atau tercipta hanya untuknya lah. Danis serius tidak ingin tahu siapa dan bagaimana dia. Ketika Danis mengecek ponselnya kembali, si cewek pisang and anak kelas lainnya sudah tidak membahas dirinya. >>>>  Para perawat yang memang sudah mengenal sepasang anak yang dari dulu menyita perhatian mereka ini, yang sudah mereka anggap anak sendiri, menyapa Didi (Divya) dan Didi (Aldi) dengan sapaan hangat. Ada senyum geli yang bisa terlihat dari wajah tiap mereka saat melihat bagaimana Divya menautkan jemari tangannya dengan milik Aldi kemudian memimpin jalan. Tampak seperti Divya yang menarik Aldi agar mengikutinya sekaligus menujukkan arah pada si cowok yang sibuk dengan game onlinenya. “Makin kesini mereka makin serasi ya?” ucap perawat satu. “Dua-duanya juga mirip, pasti jodoh.” Perawat dua menimpali. “Sudah berani pegangan tangan, semoga dokter Haris ga terlalu cepat nimang cucu,” kikik perawat tiga dan masih banyak lagi harapan yang dipanjatkan oleh para perawat itu untuk keduanya. Sementara perawat yang sedang hamil muda, yang belum lama bekerja di rumah sakit ini malah meminta agar anaknya nanti dianugrahi wajah tampan dan cantik seperti Aldi dan Divya. “Papa!” teriak Divya dan melepaskan sahabatnya begitu saja membuat Aldi harus merasakan sakit ketika pantatnya bertemu dengan dinginnya lantai.  Sedangkan Divy sudah berlari pada papanya, berpelukan seperti kartun teletubbies yang dulu sering mereka tonton bersama. “Kurang ajar punya temen,” ucap Aldi bangkit dan meraih ponselnya yang lagi-lagi harus menimpa benda keras. Kalau bukan Dita, adiknya, pastilah Divya yang membuat benda benda kesayangan Aldi penyok. “Kamu sama Aldi sudah makan, nak?” sayup-sayup Aldi mendengar pertanyaan Om Haris. “Belum Om.. Aku belum makan, Didi juga.” Dengan cepat ia menjawab pertanyaan ayah temannya itu. Karena membiarkan Divya menjawab hanya akan membuatnya tidak mendapatkan rezki dari Om Haris yang dermawan. “Dasar tukang kibul! Mama sudah bilang sama papa kalo kamu sudah makan dua piring,” ucap Dokter Firman yang datang dari arah belakang Aldi. Ia cukup menikmati mendengar ringisan kesakitan putra nakalnya itu. “Eh ada Pak Dokter.. Bapak mau ikut di traktir sama Om saya?” tanya Aldi formal,  kelakuan ajaib Aldi salah satunya adalah bersikap formal pada sang Papa saat berada di rumah sakit, seperti pasien-pasien papanya itu.  Seolah-olah keberadaannya di dunia ini sama sekali tidak melibatkan campur tangan Dokter Firman. “Jangan Ris..  Anakku ini rakus. Istriku sudah memastikan kalau dia datang kemari dengan perut penuh.” “Wah.. Dokter Firman bisa saja,” Aldi tetap saja berseloroh dengan gaya formalnya dan hal itu membuat Om Haris tertawa.  Akhirnya Aldi memang ditraktir makan karena keberadaannya hari ini di depan Haris juga caranya bicara pada sang papa benar-benar mampu membantu papanya Divya melepas penat. Mereka berempat kemudian berjalan ke arah kantin sambil berbincang, Divya dirangkul oleh Papanya sedangkan Aldi dan Papanya masih berada pada sesi formal mereka. Tak jarang Papanya malah meraih daun telinga Aldi untuk dipelintir. Tak jauh dari dua pasang ayah dan anak tersebut tampak satu keluarga yang yang juga baru selesai memeriksakan kesehatan salah satu anggota keluarganya. Dua orang yang tampak seperti ayah dan anak memegang masing-masing satu tangan sang ibu. “Untung kita periksakan Bunda ke rumah sakit ‘kan Yah,” ucap sang anak meminta persetujuan sang Ayah. “Benar sayang, beruntung kita bisa mengetahui berita bahagia ini lebih awal,” sahut sang Ayah sementara yang dipanggil Bunda justru memperlihatkan wajah ditekuk. Perasaannya saat ini tidak jelas, dia senang namun cemas diwaktu yang sama. “Bunda engga sakit, jangan bikin malu deh,” ucap Vani pada anak dan suaminya yang bersikap berlebihan dengan membimbing kedua tangannya. Yang seolah Vani ini orang pesakitan saja. “Biarin, karena saat ini aku mau manjain istri dan calon anakku,” ucap Ucup tidak peduli kemudian menempatkan kembali telapak tangan istrinya dalam genggamannya. “Cup!!” “Apa sayang?” “Aku ga mau semua ini.. Aku masih mau sama kalian berdua, sama-sama tiap hari. Ngurus kamu sama Amira sampai akhir hayatku sudah lebih dari cukup bagi aku, aku ga mau kalo harus ninggalin kalian kaya Bundaku dulu..” “...Sayang, umur kamu memang tidak lagi ideal untuk kita memiliki anak, tapi aku sama Amira berjanji ga akan ada yang terjadi sama kalian, ya ‘kan sayang? Kamu mau bantu Ayah jagain Bunda ‘kan?” tanya Ucup meminta jawaban dari putrinya yang dalam tujun bulan ke depan akan menjadi kakak sungguhan.  “Dan kamu belum terlalu tua, istriku yang cantik.. tuaan Bu Tari kok,”  ucap Ucup lagi pada istrinya baru berada di pertengahan tiga puluh tujuh.  Di sebelah kanan Amira ikut mengangguk antusias. “Aku mau adik, Bund.. dan aku janji akan ambil alih semua kerjaan Bunda mulai sekarang,” ucap Amira bersungguh-sungguh. Yang tidak Amira Queensha Amzari ketahui adalah Ayahnya yang mencibir mendengar dirinya yang akan mengambil alih semua kerjaan Bundanya. Bisa apa sih kamu anakku? Belajar aja kamu “Aish.. sudah sudah..  Semua ucapan kalian bikin Bunda makin pusing,” ucap Vani dan memutuskan untuk berjalan mendahului dua orang yang sangat cerewet dari pada Dokter yang baru saja mereka temui. Ucup menghela napas melihat bagaimana istrinya yang hamil muda berjalan cepat-cepat. Dulu dirinya tidak bisa ada di dekat Vani saat istrinya itu hamil muda dan sekarang akan ia pastikan Vani bahkan tidak perlu berjalan dengan kakinya sendiri karena akan selalu ada Ucup, Vani juga tidak perlu menggunakan tangannya untuk menyuap karena Ucup punya tangan yang siap sedia menyuapinya bahkan kalau si cantik itu mau Ucup kunyahkan sudah pasti Ucup tidak akan menolak. Tapi Ucup tau pasti kalau Vani tidak akan mungkin mau Ucup untuk mengunyahkan makanan yang akan ia telan wkwkwkwk. Amira tersenyum senang melihat bagaimana Ayahnya menggendong Bunda di depan umum, bahkan pasangan suami istri yang jauh lebih muda dari kedua orang tuanya saja tidak melakukan hal seperti itu. Bunda dan Ayah memang pasangan paling romantis sedunia.   Kepin: Kamu batalin janji kita lagi.   Me: Aku ke rumah sakit Kev, aku mau punya adik lagi.   Kepin: Sserius bi?   Amira tersenyum melihat balasan Kevin,  ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong celana kemudian menyusul Ayah dan Bunda. Sebut saja ia cewek kurang ajar karena selalu membuat Kevin menunggu, tapi ia tidak bisa melepaskan cowok tampan itu yang tampak sangat cocok dengannya. You know lah... Queensha harus bersama dengan King-nya meskipun mungkin nanti akan ada banyak hal yang harus ia lalui, semisal Ayah yang menentang rencana pernikahan mereka. Amira terkikik geli membayangkan jika ia menikah dengan Kevin, Ayah pasti masuk rumah sakit nanti. Meskipun begitu Amira yakin bahwa Kevin adalah orang yang ditakdirkan untuknya seperti Ayah yang ditakdirkan dengan Bunda, firasatnya tidak pernah salah. Ya meskipun karena bersama Kevin ia harus terdampar di sekolah turun-temurun keluarganya. Ckckck kuno sekali. “Sial.. ini bukan salah Kevin tapi salah si Pika nih!” ucap Amira menghentikan langkahnya, teringat dengan ulah anaknya Om Rian yang mengadukannya pada Ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD