3

1813 Words
Divya ingin melihat wanita yang fotonya Papa simpan untuk waktu yang lebih lama tapi wanita itu memalingkan wajahnya pada Ayahnya Amira. Kalau tadi Divy bisa mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan, sekarang mereka terdengar seperti berbisik satu sama lain. Tangannya yang sejak tadi dipegang oleh Amira terbebas, ketika menoleh pada saudaranya itu, Divya menemukan Amira mengangguk padanya. Entah apa arti anggukan itu tapi yang pasti Divya jadi punya keberanian untuk mengayunkan langkah pada sepasang suami istri itu. “Putri kita, Divya Jacinda Amzari.” Ulang Ucup dan suaminya itu pikir Vani bisa mengerti? “Cup apa ga cukup dengan kamu yang bikin aku badmood hari ini? Kamu mau ak-” “Ssst..” Vani menutup mulutnya rapat, sempat keluar sepatah kata saja ia yakin suaranya sudah bergetar tidak karuan. Ucup menempatkan jemari sang istri di antara jemarinya, menatap Vani yang kembali susah hatinya hanya dengan disebutnya nama Divya. “Divya kita tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan kita, Cha.. Haris-” “Hm?” tanya Vani yang masih takut untuk mengeluarkan suaranya, sebagai gantinya ia hanya mengeluarkan gumaman bingung. Tapi tetap saja, lelehan air mata membasahi pipinya yang semakin berisi sejak hamil lagi. “Haris yang membawa pergi putri kecil kita.. kamu percaya aku ya? Percaya sama aku seperti selama ini kamu mempercayakan diri kamu dan Amira sama aku yang tidak tau apa-apa soal menikah, menjadi suami dan juga menjadi ayah untuk putri kita. Coba lihat anak ini baik-baik. Kamu Bundanya, kamu pasti bisa mengenali kalau dia dan semua yang ada padanya adalah milik kita. Dia adalah bagian dari kita, putri kita.” Vani ingin sekali mengatakan pada suaminya untuk berhenti berangan-angan, putri mereka sudah dimakamkan bertahun-tahun yang lalu bahkan Ucup sampai terlambat menemuinya demi menemani Divya yang tubuhnya sudah kaku dan dingin di dalam tanah sana. Suaranya tercekat dan yang keluar dari mulutnya sama sekali bukan sebuah kalimat melainkan isakan. “Sayaang,” ucap Ucup menghapus air mata istrinya, beberapa jam yang lalu Ucup berada di persimpangan dua fakta seperti yang sedang Vani alami tapi keraguannya hilang begitu ia bertemu dengan Haris. Kini Ucup merasa beruntung karena dirinyalah yang pertama kali bertemu dengan Divya. Dia juga bersyukur sudah diberi kesempatan untuk menangis lebih dulu sehingganya sekarang Ucup bisa berdiri di sisi Vani, menenangkan istrinya tercinta. Divya teringat dengan percakapan terakhirnya dengan Amira di dalam mobil. Amira bilang, kalau Divya segitu tidak percayanya pada Papanya sendiri kenapa mereka tidak melakukan tes DNA saja? Amira salah, Divy sangat percaya pada Papa karena sekalipun beliau tidak pernah berbohong padanya. Papanya adalah orang paling rasional dan logis yang ada di muka bumi ini dan ya, mari temui wanita ini karena inilah yang Papa inginkan. Divya menyempatkan menoleh pada Amira, entah kenapa ia paling percaya pada Amira dibandingkan Ayahnya Amira. “Mama?” tanya Divya tanpa suara pada Amira. Amira menggeleng, ia bisa membaca gerak bibir Divya dengan sangat baik. “Bun – da,” ucap Amira juga tanpa suara. Kemudian semua terjadi begitu saja, saat Divy terlalu gugup untuk mengucapkan satu kata yang mungkin akan membuat keadaan menjadi sangat canggung dan membingungkan –canggung karena belum tentu Bundanya Amira bisa menerimanya secepat Ayah dan bingung karena Divy menjadi begitu percaya pada semua orang, pada Amira dan Ayahnya, juga pada Papa, –ia sudah berada dalam pelukan erat nan hangat dari wanita yang saat ini tengah meraung. Jujur, Divya bingung. Ia tidak tau harus bagaimana tapi kehangatan dan wangi yang baru pertama kali bisa ia hidu saat ini membuat matanya ikut memanas. Divya membalas pelukan Bundanya Amira dan membawa dirinya semakin jauh dalam pelukan yang sejak detik pertama sudah sangat ia sukai ini. “Anakku.” “Anakku sayang.” “Bayiku sayang.” Dan masih banyak lagi ungkapan yang Bundanya Amira ucapkan untuknya yang menunjukkan betapa sayangnya beliau padanya. Dengan gerakan pelan Divya mengusap punggung Bundanya, ya Divya ingin Bundanya Amira juga menjadi Bundanya, menenangkannya. “Ugh.. big sister is not supposed to cry,” gumam Amira pada dirinya sendiri yang ikutan melow melihat kebahagiaan Ayah dan Bunda. Meraih ponselnya, Amira mengabadikan momen berpelukannya Divya dengan kedua orang tua mereka kemudian membagikannya pada grup w******p yang entah kenapa diberi judul ‘Keluarga Sakti Mandraguna’ dan mengumumkan pada mereka semua bahwa Divya mereka tidak pernah benar-benar diambil oleh Tuhan, dia hanya diambil oleh si b******k Haris. >>>   Divya gugup setengah mati ditatapi oleh Ayah dan Bunda begitu intens. Kini ia duduk di antara Ayah dan Bunda dengan masing-masing tangannya dipegangi oleh keduanya. Satu tangan Ayah yang tidak memegangnya beliau gunakan untuk mengelus puncak kepala Divya sedang Bunda selalu mencuri ciuman di pipinya. Divya merasa ia diperlakukan seperti balita oleh dua orang dewasa ini. “Ehem.” “Kamu haus, nak?” tanya Ucup cepat. “Ga kok... Yyyaah.” Padahal tadi Divya hanya mencoba membasahi kerongkongannya yang terasa kering saja. “Amira sampai kapan kamu mau guling-guling di tanah begitu?” tanya Ucup pada putri tertuanya yang sibuk memotret mereka bertiga. Dari tadi Amira sibuk meminta ia, Divya dan Vani untuk menoleh pada kamera ponselnya dan memasang senyum tiga jari tak lupa pose dua jari tapi tidak ada yang menghiraukan. Dan tebak, putri yang memang lebih mirip dirinya itu sama sekali tidak patah semangat. Mendapati dirinya diabaikan, Amira berceletuk soal ia berubah pikiran dan memilih untuk mengambil foto candid saja.  Amira berdeham, alaram siaga sudah berbunyi dan memenuhi tiap ruang di kepalanya. Menegakkan punggungnya kemudian ia sibuk menggulir layar ponsel, mengamati hasil jepretannya. “Mau aku tunjukin kamar kita?” tanya Amira pada Divya yang sejak tadi hanya bicara saat ditanya saja. s “Kamar kita?” tanya Divya membeo. Ia belum memutuskan untuk menginap di sini malam ini. “Tadi ayah sudah minta Yudis menyiapkan kamar untuk Divya. Kalian punya kamar sendiri-sendiri tapi boleh tidur berdua di kamar siapa saja.” “Kamar Ayah boleh?” tanya Amira menyeringai licik. “Ehem, tentu setidaknya kita harus mencoba tidur sekeluarga.” Amira meloncat senang serta menyerukan kata ‘yes’, senang sekali dengan ide tidur bersama sekeluarga. “Tapi ga di kamar Ayah juga. Kamar kamu aja!” “Eh?? Ga bisa dong, Ayah tuh baunya terlalu maskulin, ga cocok sama wangi kamar aku.” “Ayah ga bau ya!” “Maksud aku..” “Divy harus terbiasa ya sama interaksi Ayah sama Amira, kalo nanti kamu sakit kepala dengar omelan mereka, kita nginap di rumah Nenek atau Kakek aja.” Divya menoleh pada Bunda dan mengangguk patuh. “Ayo Div, aku mau lihat kamar kamu. Penasaran aku sama style nya Ayah. Tenang aja, kalo kamarnya jelek nanti kamu tidurnya di kamar aku aja.” “Cha itu anakku atau anak kamu?” tanya Ucup memandang punggung Amira yang mulai menjauh. “Anak kamu!” “Yyah.. Bbuund, aku ikut Amira ya,” ucap Divya pada kedua orang tuanya. Ya orang tuanya. Menjadi anak mereka sepetinya bukan hal yang buruk juga. Sepanjang jalan Divya diam karena sibuk mengagumi rumah yang jauh lebih megah dari rumah Papa sedang Amira sibuk memikirkan cara meminta maaf. Ia tidak ingin menjadi kakak yang ditakuti oleh adik-adiknya dan yang paling ia takuti adalah jika kesan pertama Divy tentangnya membuat kembarannya itu punya tambahan alasan untuk tidak ingin tinggal bersamanya di rumah ini. “Div..” panggil Amira yang setelah berpikir mau berapa kalipun ia mencoba menyusun kalimat, kalau tidak disampaikan sama saja bohong. “Hm?” “Soal hari itu maaf ya..” ucap Amira mengulurkan tangan kanannya. Rasa takutnya sirna begitu mendapati senyum Divya juga sambutan pada uluran tangannya. “Ini kamarku,” Amira membuka pintu kamarnya kemudian mendekati kamar yang Ayah maksudkan. “Ini kamar kam- waaa... pink semua? Kalo aku tidur sama kamu lampunya matiin aja ya, Div.. aku ga terlalu suka pink.” Amira masuk lebih jauh ke dalam kamar yang biasanya ia gunakan untuk tidur siang tapi dengan alibi mengerjakan tugas. “Tapi rambut kamu pink,” ucap Divya tanpa sadar. Ia tau kalau mereka belum terlalu akrab untuk ukuran saudara kembar tapi apa yang Amira sampaikan terasa bertentangan dengan yang terlihat olehnya. “Mantan pacarku yang pilihkan.” Dan sekarang Divya tau ia harus berhenti meskipun rasa penasaran tentang Amira semakin menjadi-jadi. Kalau Amira memasang wajah melongo melihat betapa pinknya kamar ini, Divya justru terseyum senang. Ia memang sangat menyukai segala sesuatu berwarna pink. Hal yang begitu membuatnya bersemangat adalah betapa girly dan cantiknya kamar ini. Sejak kecil Divy memang ingin memiliki kamar seperti ini. “Mau lihat kamarku?” tawar Amira ketika ia sudah berada di ambang pintu. Divya mengangguk kemudian memacu langkahnya. “Div, usahakan kamu banyak ngomongnya dari pada ngangguknya ya.. aku-” omongan Amira tidak jadi ia selesaikan karena Divya sudah mendahuluinya dan meneliti semua figura yang sengaja Amira tempel di salah satu dinding kamarnya. Kalau anak-anak lain yang seumuran dirinya menempel semua piagam penghargaan yang mereka dapatkan atau foto-foto boyband Korea, Amira lebih memilih untuk memajang foto teman-temannya Bunda dan Ayah. Baginya semua orang di foto itu lebih berharga karena merekalah yang menemani Ayah dan Bunda di masa sulit dan senang mereka sebelum Amira lahir ke dunia ini. “Sebelum aku jelasin semua orang-orang ini, aku mau ngasih tau kamu kalo foto ini adalah foto pertama dan satu-satunya foto yang Ayah dan Bunda punya selama pacaran,” ucap Amira sambil menunjukkan foto dalam figura berukuran 5R yang objeknya hanya sebuah punggung tangan seukuran dengan milik mereka saat ini. Foto yang Amira maksud tidak ia gantung di dinding melainkan di taruh di meja nakas saja. “Aku tau kamu mungkin mikir aku aneh nyimpan foto ini di kamarku. Tapi bagiku foto ini tuh foto paling romantis yang Ayah dan Bunda punya.” “Oh ya?” “Iya, bantu aku angkat sofanya dulu ya, Div.. biar enak ceritanya.” Kemudian dua saudara kembar yang baru mengetahui keberadaan masing-masing siang ini bekerja sama memindahkan sofa berwarna hijau army ke depan dinding yang dipenuhi dengan foto-foto orang yang tidak pernah Divya lihat sebelumnya. Setelah selesai, mereka duduk berdampingan. Foto punggung tangan itu kini berpindah pada tangan Divya. “Foto ini pernah dibawa Ayah waktu kuliah dulu di luar negri padahal dia udah ga ada komunikasi sama Bund- o-em-ji.. ini bakal panjang banget ceritanya Div!” Ucap Amira yang menyadari bahwa Divya tidak akan mengerti kalau ia tidak menceritakan semuanya dari awal. Divya kaget saat tiba-tiba saja Amira berseru dengan nada tinggi. Berniat mengatakan pada saudaranya itu kalau dia boleh bercerita lain kali tapi ia sudah didahului oleh Amira yang bicaranya sungguh sangat cepat. “Aku cerewet banget, engga?” “Engga,” kekeh Divya. “Oke,” sambar Amira cepat. “Jadi, dulu Bunda kita yang mantan penyanyi cilik ini selalu satu kelas sama Ayah. Kamu tau mereka anak gedung mana?” “Jangan bilang mereka sekolah di Bina Bangsa juga?” Amira mengangguk cepat, “Mamanya Ayah itu dulu guru matematika yang paling galak seBina Bangsa,” ucap Amira menambahkan informasi penting lainnya. Vani mendapati dua kepala yang membelakangi pintu kamar ketika ia bermaksud untuk mengenalkan Divya pada Imam dan Alif yang barusan datang dengan napas memburu seolah mereka datang dengan berlari saja. Vani menggeleng pada kedua adiknya, menarik tangan mereka untuk menjauh. Dia ingin memberikan Amira dan Divya waktu berdua agar mereka mengenal satu sama lain.  “Haris??” pekik Imam tidak percaya ketika ia sudah berada di dapur bersama Abang iparnya yang minum dengan tenang. “Bang Haris harus menanggung akibat dari perbuatannya.” Alif yang lebih kalem juga tidak terima dengan apa yang Abang sepupunya itu lakukan. Oke mereka memang keluarga, tapi yang salah tetap harus mendapat hukuman. Tidak ada cerita masalah selesai hanya dengan sebuah kata maaf karena kata itu tidak setimpal dengan tangis yang kakak kesayangannya selama enam belas tahun juga waktu yang terbuang begitu saja. “Ma!” panggil Imam pada Mama dan Papanya yang baru sampai. “Mama lihat kelakukan ponakan yang selalu Mama manjakan? Lihat betapa membanggakannya ponakan yang selalu mama elu-elukan kepintarannya itu? Aku bilang juga apa? Pintar aja ga cukup!”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD