2.8

2124 Words
Divya sudah akan kabur tapi gerakan yang sangat tidak terduga dari pria yang katanya adalah Ayahnya ini menghentikan niatnya. Divya merasa sangat kurang ajar sampai membuat pria yang jauh lebih tua darinya berlutut, memohon agar ia ikut mereka pulang ke rumah. “Kita pulang ya, sayang, Ayah janji akan melakukan apapun yang bisa menunjukkan kalau kamu benar putri Ayah.” Begitu ucapnya yang membuat langkah Divya terhenti di ambang pintu. Kemudian dari arah belakang datang Amira yang menyampirkan tas milik Divy di bahu kiri sementara tasnya sendiri di bahu kanan. Anak yang sama tingginya dengan Divya itu dengan gerakan lembut menyeka pipi Divy dari air matanya sendiri kemudian sedikit berbisik. Amira membuat langkah pertamanya mendekati Divya yang sekarang sudah ia ketahui adalah saudara kembarnya berkat perkataan Om Haris. Langkahnya terasa berat dan canggung. Setelah berada tepat satu langkah di depan Divya, Amira menatap lekat wajah milik seseorang yang berbagi rahim Bunda dengannya. Cantik, gumamnya pada diri sendiri. Oke, kamu lolos seleksi untuk jadi kembaranku, Amira masih saja bicara dalam hati. Berniat menyeka air mata di wajah Divya, sesaat gerakan Amira berhenti. Ragu dan takut disebut lancang apalagi sampai dikatai punya kelainan, itulah yang Amira rasakan. Dia cewek normal, sungguh. Mendadak Amira kesal dengan dirinya sendiri. Dewi batinnya terteriak, Hei.. Divya ini adiknya, memangnya tidak boleh kalau kakak menunjukkan kasih sayang dan perhatian pada adik yang sudah enam belas tahun terpisah darinya? Lagipula kalau bukan Amira siapa yang akan membuat mereka menjadi lebih dekat? Divya sampai detik ini bahkan masih tidak percaya kalau dia bukan anaknya Om Haris. Amira menggerakkan tangannya yang sempat tergantung di awang-awang dengan gerakan yang lebih alami kemudian dengan gerakan lembut seolah Divya yang berdiri di depannya ini, yang sama tinggi dengan dirinya adalah bayi yang sangat rapuh, membersihkan wajahnya dari air mata yang tetap saja turun. “Kamu nangis karna bisa ketemu sama aku sama Ayah lagi ‘kan? Kamu belum ketemu Bunda jadi pasti ga mudah untuk berhenti nangis sekarang. Oke, aku izinin kamu menangis seharian ini,” ucap Amira yang maju menghapus jarak dengan adiknya. Ini akan menjadi pelukan pertama baginya dan Divya, jadi Amira pastikan Divy akan merasa nyaman dan aman saat dipeluk olehnya. Dari posisinya saat ini Amira bisa melihat Ayahnya ikutan menghapus air mata. Oh, ayah kesayangannya juga menangis terlalu banyak hari ini. “Div..” panggil Amira pada Divya yang sama sekali tidak membalas pelukannya. “Jangan kaget dan jangan berani berontak ya.. itu Ayah lagi ke sini dan pasti mau ikutan pelukan. Kamu aku cubit ya kalo berani bantah omonganku. Aku ini kakak loh Div.. tapi aku bukan kakak jahat. Jahatnya kalo kamu nakal aja.” Berkat pelukan yang sangat tidak familiar baginya itu, Divya merasa kehilangan akal. Ia mengikuti semua permintaan Amira, mengangguki tiap ucapannya dan kemudian disinilah ia berada, di dalam mobil yang akan membawanya ke rumah. Rumah yang belum tentu akan terasa seperti rumah baginya, karena selama ini bagi Divy, rumah adalah tempat di mana ia bisa menemukan Papanya. Divia yang sepanjang jalan menoleh ke arah kiri merasakan punggung tangannya yang ia letakkan begitu saja di jok mobil di sentuh oleh seseorang yang duduk bersebelahan dengannya. “Kamu lapar ga?” begitu tanya Amira padanya, atau harus ia sebut kakak? Mereka belum sempat membahas ini tadi. Divya menggeleng pelan tapi sialnya tepat setelah ia melakukan gerakan yang menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak lapar, perutnya berbunyi. Divya tidak pernah merasa semalu ini, bahkan lebih memalukan ketahuan berbohong pada Amira dari pada digodai oleh teman-temannya Aldi. “Yah..” panggil Amira pada Ayah yang tengah mengemudi. Divya menjadi sangat was-was, Amira pasti akan mengadukan Divya pada Ayah kalau perutnya berbunyi tapi masih keras kepala dengan mengatakan tidak sedang lapar. “Ya sayang?” “Aku lapar, Divy pasti juga lapar.” Divya tercengang dan segera menoleh pada Amira. Amira yang ia temui hari ini sungguh jauh berbeda dengan seseorang yang menabraknya hari itu. Cewek berambut pink yang menjatuhkan semua buku-buku yang ia bawa hari itu bahkan tidak mau minta maaf atas kesalahannya. Kemudian omongan Amira soal dirinya bukan kakak yang jahat kembali memenuhi rongga kepalanya. “Kamu sukanya apa?” “Divy suka makan apa, nak?” tanya Amira dan Ucup pada Divya berbarengan. Sepasang ayah dan anak itu saling bertatapan melalui spion depan. “Oh aku lupa bilang sama kamu ya, Div.. semua serba mendadak sih, jadinya aku lupa bilang. Selamat datang kembali di keluarga kita, jangan kaget kalo kamu liat Ayah selalu berusaha ngalahin aku buat dapatin perhatian dan kasih sayang Bunda, dan sepertinya aku sama Ayah juga bakal jadi saingan buat dapatin perhatian kamu.” “Amira! Jaga kata-kata kamu, kamu membuat kita terdengar aneh.” “Sorry, Yah.. mulai sekarang kita adalah aku dan Divya. Ayah kitanya sama Bunda aja,” cibir Amira yang biasanya selalu tersisa seorang diri. Ayah dan dirinya memang sangat kompak tapi Ayah dan Bunda jauh lebih dari sekedar sangat kompak. Ah senangnya punya kembaran. Amira berjanji sesampainya di rumah nanti ia akan membereskan kamarnya dan membiarkan Divya tidur di ranjangnya. Ah tidak, apa Amira harus minta Kakek belikan ranjang baru untuk Divya? Karena Amira takut Divya tidak suka bekas orang sekalipun itu bekas kakak kembarnya sendiri. “Oh kita udah sampai, yuk Div.. kita makan dulu. Makan sepuasnya karena Ayah kerja buat ngasih kita makan enak tiap harinya,” ucap Amira saat ia melihat gelagat Ayahnya akan mengomel kembali. Amira memegang tangan Divya dan menariknya keluar tapi gerakannya berhenti begitu pintu mobil sebelak kanan terbuka. “He he he.. kamu keluarnya lewat kiri aja.” Amira memutari mobil dan kembali memegang Divya, ia tidak ingin Divya sampai lari di tempat seperti ini. Bisa-bisa nanti Divya jadi korban kecelakaan, mengingat padatnya lalu lintas. Dari balik kemudi, Ucup melihat dua putrinya berlarian memasuki salah satu restoran favorit Vani dengan tangan yang saling bertaut. Matanya kembali menghangat, Tuhan benar-benar memberikan apa yang setiap malam selalu ia idamkan. >>>  Hari ini Vani hanya meminta pepes gurame pada sang suami itupun karena Ucup memaksanya untuk menyebutkan setidaknya satu makanan yang ingin Vani makan. Pertanyaan yang memenuhi otaknya sejak dua jam yang lalu adalah apakah pepes gurame selangka itu sampai suami dan anaknya masih belum pulang? Ketika akhirnya sang suami menelfon, Vani yang ingin marah malah kehilangan kata-katanya. Ucup dengan begitu bersemangat memintanya untuk tidak kaget karena ia dan Amira akan membawa seseorang pulang hari ini. Ya.. Ucup dan segala kejutannya telah kembali, ia membiarkan Vani kebingungan dengan memutus sambungan telfon begitu saja. Tiga puluh menit kemudian orang suruhan Ucup datang ke rumah mereka dengan perlengkapan untuk satu kamar seperti ranjang, meja belajar, meja rias, lemari dan karpet bulu serba pink. Astaga.. apa Amira kembali merengek pada Ayahnya? Kenapa mata Vani jadi begitu sakit melihat semua warna pink ini? Amira selalu mengganti warna kesukaannya setiap sekali dua bulan dan begitu pula dengan semua pernak pernik di kamarnya. “Yudis,” panggil Vani pada sekretaris Ucup di kantor. “Iya, Bu?” “Kamu salah kamar kali? Atau Amira minta pindah kamar? Kenapa kalian yang selalu repot gara-gara anak nakal itu?” tanya Vani yang menemukan sedikit kejanggalan. Barang-barang baru itu dimasukkan ke kamar di samping kamar Amira yang selama ini dibiarkan kosong. Amira memang hanya akan menggunakannya saat membawa teman-temannya ke rumah untuk belajar kelompok. Padahal rumah ini luas, Amira bisa belajar dimanapun apalagi Ayahnya membelikan gazebo yang sengaja diletakkan di taman samping rumah untuknya belajar. Tau alasan kenapa Amira selalu membawa teman-temannya ke kamar itu? karena disana tidak ada yang mengawasi dan dia bisa tidur siang dengan teman-temannya yang kelakukannya sebelas dua belas itu. “Bapak memang suruh taro di kamar sebelah kok, Bu.” Vani mengangguk-angguk, anak dan Ayah memang sama saja. Sulit di tebak. “Mereka kemana?” “Bapak sama anak-anak makan dulu, Bu.” “Makan dulu?” tanya Vani membeo. Dia yang lapar tapi Ucup yang makan? Wah Ucup udah ga mau dikasih bonus lagi nih kayaknya. “Taro aja barangnya di kamar sebelah biar kamar lamanya Amira, Bapakmu yang tempati!” ucap Vani kemudian pergi menenangkan diri di gazebo. >>>  Selama ini sangat jarang rasanya Divya makan siang bersama Papa dan hari ini makan bersama Amira dan Ayahnya terasa menyenangkan karena mereka berdua selalu heboh. Melihat interaksi Amira dan Ayahnya mengingatkannya pada Aldi dan keluarganya. Mungkin Divya akan merasa senang selama berada di keluarganya Amira, sama seperti waktu-waktu yang ia habiskan di rumah Mama Mayang tapi tetap saja, semua tidak akan lengkap kalau di penghujung hari ia tidak bertemu dengan Papanya. Setelah bertamu ke rumah mereka, Divya akan segera pulang. Papa pasti membutuhkannya. “Ayah turun aja, biar aku nanti sama Divy nyusul belakangan,” ucap Amira pada Ayahnya. Sudah dua kali Ayah memanggil Divy tapi dia tetap saja melamun. “Iya, Bunda juga udah telat banget ini makannya. Sempat Bundamu udah makan duluan Ayah pasti tidur di luar malam ini.” Ucup melihat putrinya yang melamun, dengan lesu. Amira mengeluarkan ponselnya kemudian membuka galeri foto. Setelah beberapa kali menggulir layar ke kanan akhirnya ia menemukan satu foto yang paling cantik. “Div,” panggilnya sambil menyenggol bahu Divya. “Ini Bunda kita,” ucap Amira dengan senyum manisnya. Dalam hati ia sedikit mengeluh. Bertahun-tahun mengenal Afika Dyatmika Bahir, Amira memang kesal karena bocah itu terlalu vokal, terlalu banyak bicara dan selalu suka menyombong. Tapi bukan berarti sebagai gantinya Tuhan menghadirkan adik yang irit bicara juga dong. Masa di sini Amira yang menggantikan peran Afika sih. Divya mengambil ponsel Amira guna memastikan bahwa foto ini adalah foto yang sama yang disimpan oleh Papa. Meski yang Papa simpan adalah versi yang jauh lebih muda tapi tetap Divya bisa mengenalinya. “Apa ga ada versi lain dari cerita kita?” tanya Divya bersemangat. Bisa saja ‘kan kalau dulu Papa pernah menikah dengan bundanya Amira? “Versi lain?” tanya Amira membeo. Memang harus berapa versi kisah kelahiran mereka berdua? Begitu pikir Amira. “Apa ga ada kemungkinan kalau kita ternyata bukan anak kembar?” “Hah??” “Maksud aku, bisa aja ‘kan kalo kamu anak Ayah dan aku anak Papa?” Panas. Itu yang hatinya rasakan tapi Amira tetap harus berbicara baik-baik. Dewi batinnya terus saja mengingatkan dirinya bahwa Divya Jacinda Amzari bukan Afika Dyatmika Bahir yang menjengkelkan. Divy hanya masih bingung saja dengan semua ini. “Kamu mau tes DNA?” “A- Apa?” >>>  Ucup tidak bisa menemukan istrinya, dia memang belum mencari Vani ke semua ruangan karena akan butuh waktu cukup lama mengingat besarnya rumah yang ia punya. Kebetulan Ucup punya jalan pintas. “Yudis,” panggil Ucup pada sekretarisnya. Dan ya, Yudislah jalan pintas yang ia maksud. “Ya, Bapak..” “Istri saya di mana?” “Maaf sebelumnya, Pak.. apa Bapak barusan menanyakan istri Bapak sama saya?” “Iya.” Jawab Ucup membuka kamar yang ia peruntukkan untuk Divya. Yudis dan orang-orangnya menata kamar ini sesuai permintaannya. Ucup berjanji akan memberikan mereka bonus nantinya. “Saya memang mengetahui semua jadwal Bapak setiap harinya tapi tidak dengan keberadaan istri Bapak.” “Maksud saya.. kamu ‘kan baru dari rumah saya, memangnya kamu ga ketemu istri saya? Coba logika kamu itu dipakai untuk hal-hal selain urusan kantor, biar kamu bisa cepat dapat jodohnya.” “Maaf, Pak.. saya pikir kenapa. Sebelum saya pulang Ibu minta dibelikan pepes ikan dan beliau makan siang di gazebo taman samping rumah. Saya pikir Ibu masih disana, tadi beliau juga minta dibelikan beberapa batang coklat.” “Kamu yang belikan?” tanya Ucup kesal. “Iya, Pak.” “Oke, ingatkan saya untuk memotong gaji kamu bulan depan!” kesal bukan main rasanya karena gara-gara Yudis, dirinya terancam tidur di luar. Mengirimi pesan pesan singkat pada Amira, kemudian Ucup menyusul istrinya tercinta. Pemilik waralaba d’ JaQue yang dulunya hanya sebuah toko roti kecil, menatap sang suami dengan tampang bosan. Sungguh ia sangat bosan menunggu Ucup sampai berharap Ucup tidak usah pulang saja. “Aku sudah telpon Mama,” ucap Vani pada Ucup yang berusaha memeluknya. Enak saja main peluk, kalau semua masalah pasangan suami istri bisa selesai dengan sebuah pelukan, pemerintah tidak akan mendirikan gedung pengadilan agama di setiap Kabupaten dan Kota. “Astaga iya, aku lupa telfon Mama. Kamu suruh Mama kesini?” tanya Ucup yang berhasil meraih wajah istrinya yang tentu saja sudah berada dalam pelukannya kemudian mengecupnya. “Kamu yang bakal aku suruh ke rumah Mama, malam ini kamu tidur di kamar kamu sana di rumah Mama!” “Aku bawa seseorang yang pastinya akan bikin keluarga kita makin sempurna untuk kamu. Dan sayang.. dia cantik sama seperti kamu,” ujar Ucup menatap istrinya dengan senyum lebar. “Oh. Jadi cewek ini bahkan ngalahin kecantikan Amira? Juga aku?” Ucup mengangguk, berniat memeluk istrinya sekali lagi tapi Vani menepis kasar kedua tangannya. “Seseorang as in cewek lain yang bakal jadi madu aku?” “No.. BIG NO! Cerita apaan itu? aku ga level sama cerita ikan terbang. Kenapa harus poligami? Poligami di zaman seperti sekarang bukan lagi mengejar ibadah tapi bukti nyata ketamakan seorang pria. Selagi yang kamu nikahi adalah anaknya Bu Tari, kamu ga bakal bisa ngerasain dimadu.” “Janji ya?” pinta Vani dengan nada manja dan bibir mencebik. “Astaga, ini yang sering aku hadapi, Div,” ucap Amira pada saudara kembarnya. Mereka sudah berdiri di sini cukup lama sampai melihat interaksi Ayah dan Bunda yang kembali mengabaikan di mana mereka berada.  Seruan sang putri seperti biasa menarik Vani dari kebersamaannya dengan sang suami. Begitu menoleh pada asal suara, Vani tercenung melihat siapa yang datang bersama Amira. Anak yang berdiri di samping Amira terasa sangat dekat tapi jauh di saat yang bersamaan. Wajahnya terasa sangat familiar tapi Vani tidak berani mengatakan bahwa ia dan anak itu memiliki beberapa kemiripan. “Divya Jacinda Amzari,” ucap Ucup lembut pada sang istri. “Ya?” tanya Vani menatap suaminya linglung. Ada apa dengan nama putri kedua mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD