2.5

1785 Words
Ammar tidak habis pikir kenapa ia tidak bisa melepaskan bayangan Amira dari benaknya sejak kemaren. Ia padahal sudah tau bahwa Amira bukanlah gadis polos seperti yang ia pikirkan tapi kenapa ia sampai memimpikan cewek itu semalaman suntuk? “Sayang?” “Iya, Ma..” ucapnya dan langsung memulai sarapannya. “Kamu bosan? Ada yang ga menyenangkan di sekolah? Kita liburan dulu? Kali ini kamu mau ke mana?” Ammar menaikkan sebelah alisnya ketika Mama mulai mengajukan banyak pertanyaan dalam satu kali helaan napas, kemudian menatap Papa yang tengah menelan sarapannya dengan tenang. Sang Papa yang merasa di perhatikan langsung membela dirinya. “Papa sudah bilang kalau kamu belajar seperti biasa, semalam. Hanya saja kita sama-sama tau betapa berlebihannya istri Papa bukan?” “Mama.. aku cuma-” “Cuma menyembunyikan sesuatu, Mama tau,” cibir Fay, memang beginilah jika kamu memiliki anak laki-laki. Semakin dewasa mereka maka mereka tidak akan bercerita segala sesuatunya sesering dulu lagi. Berbeda halnya jika anakmu perempuan. Namun begitu Fay sama sekali tidak menginginkan anak perempuan. Ia sudah merasa sangat cukup dengan kehadiran Ammar dan Abi. “Oke, memang ada sesuatu tapi tidak yang seperti Mama pikirkan. Aku ga naksir siapa-siapa, aku cuma punya teman sebangku perempuan.” Kekhawatiran Fay langsung sirna dan berganti dengan perasaan geram pada putra tampannya itu. “Sayang.. hanya teman sebangku perempuan dan kamu sampai tidak mau makan malam? Ammar.. sudah Mama bilang berkali-kali kalau perempuan bukan makhluk yang harus kamu hindari, cobalah berteman dengan mereka.” “A a, kamu kembali plin-plan seperti biasa, sayang.. padahal belum sampai dua puluh empat jam sejak kamu ingin memindahkan Ammar ke pesantren. Dan aku tidak terima Ammar mendapat kata sayang lebih banyak dariku pagi ini.”  “Pesantren?” tanya Ammar berbarengan dengan adiknya yang juga mengatakan sesuatu. “Ga boleh!” Abi cemberut, ia juga menghentikan sarapannya. “Bang, saudaraku cuma Abang masa Abang mau pergi gitu aja?” “Abang ga akan kemana-mana asal kamu ga berantem sama kakakmu tiap ketemu.” “Iya deh janji asal Abang adil main sama aku sama Nadanya.” “Kak Nada.” “Iya iya Kak Nada,” ucap Abi mengoreksi ucapannya sambil turun dari kursi untuk menggeser kursi yang ia duduki agar berdekatan dengan sang Abang. Lihat saja, sempat Mama mengasingkan Abang ke pesantren maka ia akan minta tolong Kakek untuk mendaftarkannya di pondok yang sama dengan Abang. Abi memastikan ia lebih dulu menyelesaikan sarapan agar bisa minta diantarkan oleh Abangnya. Ia menolak mentah-mentah tawaran Papa dan Mama yang ingin mengantarnya sekolah agar Abang tidak terlambat karena harus mengantarnya. Beruntung Abang juga tidak menolak. >>>  Ammar menghentikan mobil di depan sekolahnya Abi, adiknya ini menjadi begitu lengket dengannya sepagi ini dan sama sekali tidak memancing kekesalannya seperti biasa. Ia menoleh pada adiknya yang masih belum turun padahal sudah bel. “Aku tunggu Abang jemput, ya.. aku bisa main dulu kok sambil nunggu Abang.” “Abang main futsal dulu nanti.” “Ga apa-apa.. aku tunggu sampai Abang datang.” “Mama pasti khawatir kalo bayinya ga pulang tepat waktu.” “Aku bukan bayi lagi ya,” Abi membuka pintu mobil sambil menggerutu. Ia benci disebut bayi padahal sendirinya sudah sunat loh tahun lalu. “Makanya jangan biarin Mama bedakin kamu lagi, kamu ga liat gimana putihnya muka kamu sekarang?” Ammar sengaja mengatakan hal ini sebelum Abi menghempaskan kasar pintu mobilnya. Abi mengingat sesuatu di wajahnya dan segera membersihkannya sebelum teman-temannya melihat. “Biar aja Mama mikir kalo aku masih bayinya yang lucu, aku ga mau Mama mikir buat punya anak lagi. Aku ga mau diketawain teman-teman.” “Good job!” kekeh Ammar yang satu suara dengan Abi kali ini. Ia tidak yakin bisa menghadapi Umar, Rehan dan Vano dengan wajah super senang seperti yang kemaren Amira tunjukkan sambil menceritakan kehamilan Bundanya. “Belajar yang bener,” tambah Ammar pada adiknya. “Hm.. Abang juga..” dan setelahnya Ammar memacu mobilnya menuju Bina Bangsa. Ammar tau ia terlambat tapi berlari menaiki tangga-tangga gedung selatan terasa bukan dirinya sama sekali. Ia berjanji ini kali terakhir ia akan datang seterlambat ini, toh ia terlambat karena harus mengantarkan si manja ke sekolahnya dulu. Jadi jika guru ingin mengurangi poinnya, Ammar tidak akan merasa terlalu menyesal. “Permisi, Pak,” ucap Ammar pada Pak Shadi yang sudah akan memulai pelajaran. “Minggu ini kaliah udah lebih akrab ya ternyata, sampai telatpun barengan..” Ammar tidak mengerti dengan ucapan gurunya ini dan menyapukan pandangan ke arah bangkunya yang ternyata masih kosong. Alangkah kagetnya ia saat mendapati rambut pink di samping kanannya. Amira memang termasuk tingggi untuk ukuran cewek Bina Bangsa. “Sejak kapan kamu di sini?” tanya nya. Amira sudah menyengir dan saat ia ingin menjelaskan bahwa sejak tadi ia berjalan di belakang Danis, Pak Shadi buru-buru memarahi mereka karena keduanya dituduh masih menyempatkan berdiskusi. >>>  Tersisa satu jam lima belas menit sebelum sekolah bubar, Amira sudah sangat ingin pulang agar ia bisa menemani Bunda. Ia dan Ayah sudah membicarakan soal ini semalam bahwa ia yang akan menjaga bunda di siang harinya sedang Ayah di malam hari. Entah kenapa Amira sangat bersemangat untuk mengetahui seberapa aneh permintaan Bunda saat hamil sampai Om Robi menyebut bundanya itu dengan menantu sakti mandra gunanya Bu Tari. Amira pikir ia hanya perlu menunggu jam pulang dengan mencoba berpartisipasi dalam diskusi kelompok yang segera akan dilaksanakan tapi ia dibuat tidak bisa berkata-kata ketika Danis menyela ucapan guru mereka dan tanpa pikir panjang mengatakan bahwa ia tidak ingin satu kelompok dengannya. Sejak pagi ia memang merasakan sesuatu terhadap Danis. Hari ini aura cowok ini terasa sangat menakutkan. “Okay, silahkan berdiskusi kemudian kerjakan tugas kalian sampai jam pelajaran berakhir.” “Pak!” panggil Danis yang merasa diabaikan. Ia tidak bisa lebih dari duduk bersebelahan dengan Amira, lalu beliau ingin mereka berdiskusi? Yang artinya melihat wajah satu sama lain dan bicara? Yang benar saja. Seisi kelas menatap si pemuncak kelas yang sekalipun tidak pernah membantah sebelumnya. Mereka merasa bahwa sepasang teman sebangku itu tampak sedang bertengkar tapi bagaimana bisa bertengkar kalau berbicara saja mereka jarang? Pak Dayat kembali pada lembar observasinya, membalik-balik kertas tersebut kemudian mengangkat kepala karena tidak mendengar pergerakan dari anak-anak didiknya. “Apa lagi? Mau tambahan tugas?” Dan bisa dipastikan dengan pertanyaannya barusan semua langsung membentuk kelompok yang beranggotakan empat orang. Semua terasa berjalan seperti biasa kecuali pagi ini mereka sama-sama terlambat, itu yang Amira rasakan. Amira juga sama sekali tidak berbicara padanya sehingga tidak mungkin ia menyinggung Danis. Makanya ia begitu tidak terima diperlakukan seperti ini. Dan semakin tidak terima rasanya saat Danis terlihat enggan bertatapan dengannya. Kelompok lain sudah mulai mengerjakan tugas tapi kelompok mereka yang terdiri dari dirinya, Danis, Egin dan Nisa justru masih terpaku pada posisi masing-masing. Apa-apaan ini? Orang ganteng plus pintar yang menjadi ciri manusia mendekati sempurna bukannya punya kelainan seperti tiba-tiba bersikap aneh bukan? Karena Ayah bilang tidak ada manusia sempurna dan Ayah tidak akan berbohong padanya, makanya Amira berpikir  bahwa mungkin ada hal kecil yang membuat Danis Ammar Hardian gagal menjadi manusia sempurna semisal karena ia memiliki semacam gangguan jiwa. Danis berdecak kesal, ia benar-benar sudah kehilangan dirinya sendiri sejak gadis ini datang. Detak jantungnya, suasana hatinya bahkan keinginannya untuk belajar sudah tidak bisa ia kontrol lagi. Cewek bodoh ini mencuri semua fungsi tubuhnya tanpa izin dan meninggalkan perasaan sesak bagi Danis sendiri. “Maaf tapi kalian lanjut aja, aku ga bisa ikut kelas.” Danis beranjak dari kursinya dengan kedua tangan berada di dalam kantong celana. Danis mengikuti jejak Pak Dayat yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas. Guru satu itu memang tidak pernah betah di kelas di jam-jam seperti sekarang, beliau akan membuat berbagai macam alasan agar bisa keluar dari kelas seperti makan siang, rapat, menjemput anaknya di sekolah dan masih banyak lagi. Dan ya, Danis tau ini pertama kalinya ia bolos. Amira sungguh tidak menyangka akan mendapati pemandangan di mana Danis Ammar hardian yang kata Egin adalah anak paling pintar satu sekolahan berjalan keluar di tengah jam pelajaran. Dan ia sangat tau diri, bahwa dirinyalah penyebabnya tapi kenapa? Apa yang ia lakukan sampai Danis pergi seperti ini? “Gin, Ca.. gue mau ngomong sama si anak pintar dulu,” ucap Amira kemudian mengikuti jejak Danis tidak peduli ia akan terekam oleh kamera cctv dan dilihat oleh semua guru di ruang majelis guru. Amira memacu langkahnya dan ia mendapati Danis menuruni tangga zig-zag menuju lantai lantai satu. “Danis! Apa gue ga boleh nelfon lo? Kemaren itu gue bukannya mau ngerjain lo atau apapun yang ada di otak cerdas lo itu! Kemaren gue-” ucap Amira sambil terus menuruni tiap anak tangga dengan cepat, omongan Amira terhenti begitu saja ketika ia melihat Danis mendekatinya dengan langkah besar-besar. Glek, Amira menelan ludahnya sendiri. “Gu- gue minta maaf.” Suara lantang Amira berubah menjadi cicitan ketika Danis sudah berada satu langkah di depannya. “Apa kamu punya hal penting yang ingin disampaikan Amira?” Danis pergi dari kelas agar ia tidak melihat Amira lagi sehingga semua omongan Rehan dan yang lainnya saat istirahat tidak terus membuatnya marah tapi lihat sekarang, Amira malah mendatanginya. “Yo.. calon pacar,” sapa Rehan yang langsung bolos ketika mengetahui temannya yang sangat taat peraturan melakukan bolos pertamanya. Rehan ingin menunjukkan betapa menyenangkannya meninggalkan Guru-Guru yang merasa pelajarannya penting sekali itu di dalam kelas. Amira mendengus dan membuang muka, ia benci sekali pada temannya Danis yang selalu berusaha menggodanya. Bahkan Rehan ternyata jauh lebih menyebalkan dari si preman yang ia temui di jam olah raga minggu lalu. Memutuskan berbalik karena sudah bisa dipastikan bahwa ia tidak bisa bicara serius dengan Danis selama orang tidak penting ini mengganggu mereka, Amira dibuat kaget saat Rehan dengan cepat menghalangi jalannya dan lebih parah lagi memajukan wajah dengan mulut yang dimonyongkan. Danis yang melihat gelagat Rehan yang berniat membuat masalah langsung menarik pergelangan tangan Amira yang bisa ia raih sehingga cewek itu beralih ke sisinya. Setelah ini, Danis berjanji akan membuat perhitungan dengan Rehan. Sedetik setelah Amira berpindah ke sisinya, baik Danis, Amira bahkan Rehan membeku. Tidak ada satupun di antara mereka yang menyangka kejadian barusan bisa terjadi. Rehan tidak tau kalau temannya bisa memegang tangan cewek, begitupun Danis sendiri. Amira juga tak kalah kaget, ia tidak menyangka Rehan akan seberani itu padanya. “Apa lo mau apa yang ada di s**********n lo gue bikin hilang selamanya?” tanya amira dengan gemertuk giginya. Danis melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Amira kemudian mengajak temannya pergi. Rehan tidak punya pilihan lain karena mendapatkan perhatian Amira bisa ia lakukan kapan saja tapi tidak dengan momen bolosnya Danis. “Kenapa? Lo bukannya suka di cium? Percaya sama gue, lo lebih baik di cium gue dari pada cowok manapun di sekolah ini.” “Danis! Lo cerita soal kemaren sama temen-temen lo?” teriak Amira tidak terima. Ia cukup pintar untuk menyambungkan semua tingkah Rehan dan omongan cowok sialan itu padanya barusan. “Dasar banci!” pekiknya kesal karena jangankan menjawab, menoleh saja teman sebangku bancinya itu tidak. Amira berjalan kembali ke kelasnya, mendaki puluhan anak tangga sambil menyumpah. Namun saat memasuki kelas, tiba-tiba nyalinya menciut karena mendapati dua puluh tujuh orang berbisik-bisik sambil menatapnya. Danis Sialan Hardian pasti juga sudah bergosip dengan semua anak kelas ini. Matanya memanas tapi Amira tetap mengangkat dagunya ke atas, berjalan dengan anggun menuju bangkunya. Sampai di bangkunya Amira buru-buru mengecek grup kelas, barang kali di sana Danis menyebar omong kosongnya. Oke, dia yang berciuman dengan Kevin memang bukan omong kosong tapi apa yang disampaikan Danis sampai ia mendapat tatapan seperti hari ini pasti benar-benar omong kosong. Si banci pasti membesar-besarkan apa yang ia lihat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD