2.6

1943 Words
“Mau ke mana, Cup?” tanya Teja Mahardika pada menantunya. Sekali lagi melihat jam di pergelangan tangan kanannya, demi memastikan bahwa ia tidak salah mengira. Sekarang sudah lewat jam makan siang, memangnya apa yang menantunya ini kerjakan sampai melewatkan jam makan siang? Ataukah putrinya sudah mulai ngidam yang aneh-aneh? Pikir Teja Mahardika. Ia tentu menjadi orang paling bahagia saat mendengar kabar kehamilan Vani karena hanya putrinya itu yang bisa memberinya cucu sementara si kembar masih belum punya keinginan untuk menikah. “Jemput Amira, Yah.. manjanya kambuh,” kekeh Ucup pada sang mertua. “Apa si gadis nyaman sama sekolah barunya?” “Kalau Amira tidak menelfon Ayah sambil merengek itu artinya semua aman,” kekeh Ucup lagi. Putrinya memang selalu menjadikan kakeknya sebagai juru selamat ketika tidak ada lagi yang mau berpihak padanya. Dia tau benar bahwa sang kakek sangat menyayanginya. Anak Ucup memang selicik itu. Setelah pamit pada sang ayah mertua, Ucup memacu mobilnya menuju Bina Bangsa. Ia sengaja datang lebih awal dari waktu janjiannya dengan sang putri karena takut terjebak macet. Ucup tidak mau membuat putrinya menunggu di bawah terik. Melirik jam tangannya Ucup kemudian memutuskan untuk menghubungi istrinya tercinta karena masih ada lima belas menit menjelang jam pulang. “Halo Bunda,” sapa Ucup ceria. Beberapa bulan dari sekarang akan lahir buah hatinya yang ke-tiga, seseorang selain Amira yang akan memanggil istrinya Ucup dengan panggilan Bunda. Rumah mereka pasti menjadi jauh lebih berisik dari yang pernah ada. Ucup menjadi sangat bersemangat untuk tahun-tahun ke depannya yang akan ia lalui. Selesai bicara dengan sang istri, menanyakan jika ada sesuatu yang Vani ingin makan, Ucup segera keluar dari mobilnya karena bell pulang sudah berbunyi. Lautan manusia yang mengenakan seragam sama seperti yang dulu pernah Ucup gunakan menyambutnya. Bina Bangsa memang selalu heboh setiap jam pulang. Kini para siswa sudah tidak seramai tadi dan Ucup masih belum melihat putrinya turun dari gedung selatan. Ayah kesayangan Amira Queensha Amzari itu tidak tau berapa lama ia berdiri di bawah terik matahari untuk menunggu putri kesayangannya sampai ia merasa semua indranya bangun saat melihat dua orang siswi yang berjalan menuju ke arah tempat ia berdiri. Ucup mematung. Pening menyerangnya, ia merasa bumi berputar dan membawanya ke masa lalu, mengingatkannya pada sosok Vanessa Biandra Mahardika yang selalu cekikikan dengan Dea, Kito dan Fahri. Apa yang membuat bulu kuduknya berdiri saat ini adalah bahwa semua ini bukan hanya sekedar ingatan masa lalu karena tepat di depan matanya saat ini ia melihat Echanya versi remaja cekikikan. Ucup tidak percaya bahwa anak orang lain akan memiliki wajah Echanya juga karena jelas sekali semua yang gadis belia ini miliki berasal dari istrinya tercinta. Ucup sama sekali tidak lupa bahwa enam belas tahun yang lalu ia duduk bersimpuh selama berhari-hari di depan sebuah makam. Makam yang jasad yang dikuburkan di sana adalah bayinya, kembaran Amira, bahkan dirinya sendirilah yang menguburkannya. Makam yang baru minggu lalu kembali ia datangi bersama anak dan istrinya. Namun hati kecilnya berkeras mengatakan bahwa anak ini adalah miliknya dan Vani. Seolah anak ini akan hilang dari pandangannya dalam satu kedipan mata, Ucup mencekal pergelangan tangannya, membuat anak cantik itu menoleh dengan tampang terkejut padanya. Sekujur tubuhnya dibanjiri oleh perasaan hangat, matanya memanas begitu Ucup merasakan kulit pada pergelangan tangan ini. Ucup semakin yakin dengan firasatnya. “Ma- maaf, Pak.. ada yang bisa saya bantu?” tanya siswi Bina Bangsa dengan name tag Divya Jacinda Amzari itu. >>>  “Gin,” panggil Amira pada satu-satunya manusia selain dirinya di kelas itu. Amira sungguh mati-matian  menahan diri saat acap kali telinganya menangkap sekilas dari apa yang teman-temannya bisikkan tentang dirinya selama diskusi kelompok berlangsung. “Ya?” “Apa yang Danis bilang sama semua orang tentang gue?” “Maksud lo?” “Gue denger kali, bahkan ada yang ngomongin gue terang-terangan.” Egin tau apa yang teman-teman sekelasnya bicarakan tentang Amira tapi ia tidak mengerti dengan pertanyaan teman barunya itu. Sejak istirahat tadi ia sudah ingin bercerita pada Amira tapi Egin takut disebut tukang adu. Ia tidak ingin dimusuhi oleh Amira ataupun Nisa. “Lo tau Rehan temannya si banci itu? Dia monyong-monyongin mulutnya ke gue. Danis pasti udah cerita sama semua orang,” ucap Amira lagi karena Egin sepertinya memutuskan untuk membungkam mulutnya. “Lo salah Mir!” ucap Egin marah. Ia menceritakan yang sebenarnya terjadi saat istirahat tadi, saat Amira menolak ikut jajan dengannya karena dia belum menyelesaikan catatannya. Dia juga mengingatkan Amira bahwa bisik-bisik teman-temannya baru terdengar saat Danis bolos. Kalau saja Danis tidak bolos maka mustahil Amira akan mendengar semua omongan teman-teman sekelas karena tadi mereka sudah dibentak oleh Danis. “Danis bentakin mereka semua untuk lo.. dia marah besar waktu denger berita tentang lo yang dibesar-besarkan. Untung tadi lo ke toiletnya lama.” Gerakan Amira yang mengumpulkan buku-bukunya terhenti, rasa cemas tiba-tiba saja menghampirinya. Ia sudah salah paham, Amira bahkan meneriaki Danis dan menyebutnya banci padahal Danis tadi menariknya menjauh dari Rehan yang berniat menggodanya. “Salah lo juga sih. Gue tau lo anaknya baik malah polos kalo gue boleh bilang, tapi jangan sampai lo dimanfaatin gitu juga sama cowok. Lo bilang lo sayang banget sama Ayah lo tapi kelakuan lo pasti bikin Ayah lo kecewa kalau beliau tau.” “Gue ga dimanfaatin kok sama Kevin..” cicit Amira yang baru kali ini ada orang selain keluarganya yang berani menegurnya. “Amira... Amira, Kevin itu mantan lo bener?” tanya Egin geram. Amira mengangguk. “Mantan lo nyium lo?! Mantan loh ini Mir.. pacar aja ga ada hak buat nyium kita apalagi mantan. Lo beruntung Danis sampe belain lo, katanya kemaren itu lo ga dicium, dia dengan alasan super logisnya bilang ga ada satu orang pun yang lihat lo beneran ciuman karena yang mereka liat cuma punggung lo aja. Angelnya ga pas, gitulah sederhananya.” Egin sungguh tidak habis pikir dengan bagaimana cara kepala temannya ini bekerja. “Kalo menurut lo apa yang lo dan mantan lo kerjain itu ga salah, dan sama sekali ga ngerugiin diri lo sendiri plis ingat Ayah sama Bunda lo. Ingat mereka untuk setiap yang pengen lo lakuin.” Tambah Egin yang sudah bersiap untuk pulang. Amira mengangguk cepat cepat, membuat Ayah marah memang setiap hari ia lakukan tapi membayangkan Ayah kecewa, ia tidak mau. “Gin, lo tegur gue kayak gini lagi kalo nanti lo pikir gue salah ya,” pinta Amira pada teman barunya itu. “Gin, kalo satu sekolah tau gue dicium Kevin gimana dong?” tanya Amira mengejar Egin yang lebih dulu keluar dari kelas. Selesai menceritakan kekhawatirannya yang muncul tiba-tiba setelah berbicara dengan Egin, Amira mencoba menghubungi sang Ayah tapi beliau tidak menjawab panggilan telfonnya bahkan sampai pada panggilan ketiga. Baru setelah Amira dan Egin keluar dari gedung Selatan, ia melihat Ayahnya bersama seseorang di tengah lapangan upacara. “Ayah udah sampe he he he.. lo pulang bareng gue aja.” “Gue bisa pulang sendiri, Amira.. gue bukan anak manja kaya lo.” Amira mencibir, dirinya memang anak manja. Semua yang mengenal dirinya mengatakan hal demikian. “Ga mau nyapa Ayah dulu? Ayah suka sama lo tuh, Gin, Ayah bilang lo anaknya baik dan gue ga boleh nakalin lo.” “Ada rencana nakalin gue emang?” ucap Egin menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian melambaikan tangan kanannya pada Amira. Dia memilih keluar melalui pintu di samping gedung selatan alih-alih gerbang utama. Ikutan melambaikan tangan pada Egin kini Amira menuruni undakan anak tangga, mendekati sang Ayah. Semakin dekat dengan Ayah, Amira menyadari bahwa Ayah dan siswi itu bukan mengobrol biasa. “Yah..” panggil Amira pada Ayahnya yang memegang tangan seseorang yang sedang meronta. Kedua orang tersebut menoleh pada Amira dengan wajah sama basahnya. Divya menangis karena ketakutan dengan pria aneh yang baru pertama ia temui yang ternyata adalah ayah dari murid di sini sedang Ucup menangis untuk alasan yang jauh berbeda dengan Divya. Amira mengepalkan tangannya, ia tidak suka melihat Ayah menangis apapun alasannya. Yang Amira mau adalah Ayahnya bahagia sepanjang hari dan kalau perlu Ayah mesra-mesraan saja sama Bunda. Satu kecacatan dalam keluarga kecil mereka adalah kematian saudara kembarnya yang membuat Ayah dan Bunda sering menangis. Yang membuat Amira bingung saat ini adalah kenapa Ayah menangis bersama- “Sayang, ini adik kamu,” ucap Ucup pada putrinya yang tampak kabur karena linangan air mata. “A- apa?” Amira sungguh tidak mengerti dengan yang Ayahnya ucapkan. Divya menggeleng, pria ini mengulangi omong kosongnya lagi, sialnya Tika yang ia minta untuk memanggilkan Guru atau security masih belum muncul. Melongok ke kanan dan ke kiri akhirnya ia menemukan seseorang yang akan langsung membantunya tidak peduli apapun yang terjadi. “Aldi!” pekik Divy pada sahabat baiknya itu. “Panggilin Papaku, Di.. aku ga mau dibawa sama orang ini!” Rehan tengah menceritakan bagaimana Danis untuk pertama kalinya disebut banci pada Vano dan Umar. “Dasar banci! Gitu dia bilang, gue nyesel tadi ga rekam pas Amir-” celoteh Rehan terhenti begitu ia mendengar pekikan lainnya. Kenapa hari ini semua cewek senang sekali teriak sih? Vano dan Aldi langsung berlari pada Divya, meninggalkan Rehan dan Danis di belakang. “Seneng banget ya, lo?” tanya Danis pada Rehan yang tengah ia lirik tajam. Rehan mengendiikan bahu, “Lo mau kita nyusul calon makmum dunia-akhirat lo itu?” tanya Rehan sambil menunjuk Divya dengan bibirnya. “Oo.. gue tau, lo males kesana karena ada Amira, ‘kan?” ucap Rehan lagi karena Danis sama sekali tidak menyahutnya. Danis memang tidak pernah sekalipun memberikan respon pada hal yang tidak membuatnya merasa tertarik. Amira? Danis melabuhkan pandangannya ke tengah lapangan dan ya, ia melihat Amira di sana. Pertanyaannya adalah kenapa Amira malah mendekati pria yang kelihatannya punya niat buruk pada cewek yang ditaksir Vano? Apa Amira memang tipe cewek yang sama sekali tidak menyayangi dirinya sendiri? Kemaren dia diam saja saat dilecehkan dan sekarang dia justru dengan sadar berjalan mendekati masalah. Meski teriakan siswi yang pernah sekali bertemu dengan Amira itu mendominasi, Amira tetap bisa mendengar ucapan Ayahnya yang memintanya untuk melihat name tag siswi yang Ayah bilang adalah adiknya juga mengamati wajahnya. Amira tentu sangat tau bagaimana raut Bunda kesayangannya yang disalin oleh Divya, begitu pikir sang Ayah. Divya Jacinda Amzari. Ucap Amira tanpa suara dan tiba-tiba kesedihan menyelimutinya, membuat matanya memanas. “Yah..” panggil Amira pada Ayah kesayangannya. Ia membuat langkah pelan menuju Ayah kemudian memeluk Ayahnya, meminta beliau untuk berhenti. “Dia bukan Divy kita, Yah..” ucapnya. Amira memeluk Ayahnya erat. Dulu Amira memang tidak mengerti kenapa ia, Ayah dan Bunda selalu mendatangi sebuah kuburan kecil yang sekarang berubah menjadi tempat paling nyaman baginya untuk berada selain rumah. Amira kecil pikir, mereka datang ke sana untuk bersenang-senang karena Ayah dan Bunda selalu tampak ceria saat mendatangi kuburan tersebut. Lama-lama Amira jadi mengerti, tapi tetap saja ia tidak merasakan simpati untuk saudaranya yang telah tiada itu. Sampai suatu hari ketika tidak sengaja ia terbangun tengah malam dan mendapati Ayah dan Bundanya menangisi Divya. Dari situlah rasa sayangnya untuk Divya tumbuh. Merasakan pegangan pada pergelangan tangannya melemah, hal itu dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh Divya untuk kabur dan berlari pada Aldi yang juga sedang mendekatinya. Ia berlari secepat mungkin pada Aldi kemudian memeluk sahabatnya itu tak lupa mengadu bahwa ia ingin Papanya sekarang juga. Ucup meraih wajah anaknya yang ternyata sudah basah seperti miliknya. “Dia anak Ayah, sayang..  sama seperti kamu, dia anak Ayah. Dia Divya kita.” Ucup sebenarnya mulai meragu, ucapan putrinya barusan membuat semua kepercayaan dirinya goyah. Amira mengangguk cepat, “Iya.. Aku sama Divy anak Ayah. Tapi dia bukan Divy kita.” Amira menggenggam tangan Ayah yang berada di wajahnya kemudian menarik sang Ayah menjauh. Susah payah ia menarik tubuh Ayahnya yang tinggi besar. “Aku percaya Divy kita ga akan membuat Ayah menangis. Dia kembaranku, Yah.. kalau dia masih hidup maka dia pasti melukin Ayah alih-alih menjadi anak durhaka sampai membuat Ayah kesayanganku menangis.” Amira mengabaikan orang-orang yang mulai penasaran dan mendekati mereka. Ia tau Ayahnya sedang sangat rapuh dan mereka butuh Bunda untuk melewati ini dan itulah yang sedang ia lakukan, membawa Ayah pulang. “Di, kamu kenapa?” tanya Aldi mencoba melepaskan pelukan Didi darinya. Ia harus mencari tau apa yang terjadi tapi terlebih dahulu Divya harus bicara tanpa isakan seperti ini. tangisan Divya membuatnya tidak mengerti apapun yang temannya itu katakan. Sementara itu Danis terus mencoba mendengar penjelasan Divya yang tepat berada di sampingnya sambil memperhatikan Amira dan dan pria yang ternyata adalah Ayahnya. Cewek itu lebih cocok tertawa dari pada menangis, gumam Danis membatin ketika Amira berjalan terseok-seok membawa Ayahnya menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD