2.4

1985 Words
Senyum lebar Amira lenyap begitu saja saat mendapati siapa yang sedang mendapatkan perhatian dari satu-satunya nenek kesayangannya. Afika Dyatmika Bahir selalu mengganggu orang-orang yang ia sayangi padahal mengakunya saja benci pada Amira. “Ngaku ga lo! Lo sebenernya suka ‘kan sama ide semua orang yang jadiin lo adek gue?” tanya Amira tidak peduli Om Rian si cinta pertama bundanya yang sangat tidak masuk akal ada di sana bersama sang anak. “Loh nak.. tadi ayah telfon Egin katanya kamu-” Amira melotot dan cepat-cepat memotong ucapan Ayahnya. “Aku tadi ketemu senior yang kebetulan rumahnya di deket sini, Yah... makanya nebeng.” Amira berdecih dalam hati karena ternyata percuma saja memberi kuliah panjang pada Egin. Bersamaan dengan itu ponselnya bergetar dan ternyata Egin lah yang mengirimnya pesan.   Egin: Maaf, Mir.. gue gagal bohong sama Ayah lo. Beliau ngomongnya lembut banget.. gue jadi takut dosa he he he he..   Sementara Bu Tari yang memang sudah tau bahwa kata senior adalah kata ganti yang selalu di gunakan oleh cucunya untuk bocah tampan bernama Kevin hanya bisa menghela napas pelan. Sempat putranya tau siapa senior yang selalu disebut Amira maka bukan tidak mungkin Bu Tarilah yang dikutuk oleh anaknya sendiri. “Ayah ada salah?” tanya Ucup ketika tatapan putrinya langsung diarahkan pada dirinya seketika beralih dari ponsel. “Ayah ga boleh baik sama anak orang! Sama aku aja baiknya.” Amira begitu posesif, ia tidak ingin kasih sayang ayahnya terbagi walau sedikitpun. Kemudian tanpa menoleh pada Fika, ia menunjuk cewek itu, meleset sih.. awalnya tunjuknya mengarah pada sang nenek dan cepat-cepat ia geser sebesar lima derajat, “Sama dia paling ga boleh!” ucapnya manja kemudian menghentak-hentakkan kaki menuju Ayahnya. Maunya sih pada nenek tapi di samping nenek ada makhluk terkutuk. “Cih.. nanti adik barunya di gendong Om Ucup, dia pasti mau di gendong juga tuh!” ucap Fika mencibir. Amira lebih tua darinya tapi kelakuannya sama saja seperti bocah taman kanak-kanak. “Siapa suruh lo ngomong sama gue?” “Amira!” tegur Bu Tari pada cucunya yang tidak pernah sekali saja akur dengan putrinya Rian. Sejak pernikahan putranya dengan Vani memang teman-teman Vani jadi dekat dengan keluarga mereka. Bu Tari jadi merasa punya banyak anak dan banyak cucu karenanya. Bu Tari lah yang paling memanjakan cucu semata wayangnya ini bahkan melebihi Ayah dan Bundanya sendiri.  Setiap Amira mengadu bahwa nilainya banyak yang jelek, Bu Tari selalu memberikannya pelukan juga usapan di kepala meski mulutnya gatal ingin mengomeli cucunya itu, meminta Amira untuk lebih serius lagi belajar. Amira curhat soal pacarnya, Bu Tari hanya bisa memberikan ribuan pesan dan nasehat dengan cara paling lembut yang pernah ia gunakan yang sama sekali tidak pernah didapatkan oleh Ucup, anaknya sendiri, pada sang cucu agar ia tidak salah bergaul. Begitu Amira ia cintai dengan teramat sangat tapi saat anak-anak dari teman-temannya Vani bersama mereka, ia tidak bisa menunjukkan hal itu dengan bebas. Bu Tari tidak ingin mereka merasa di bedakan meski sebenarnya memang ada perbedaan. Silahkan jika ingin menyebutnya munafik, Bu Tari tidak masalah. “Harus sampai berapa tahun memangnya nenek ngasih tau kamu kalo Afika ini adik kamu?” Amira buru-buru menyembunyikan wajahnya di lengan Ayahnya. Mencari tempat perlindungan paling aman dari kemarahan Nenek. Lihat lihat.. bahkan Om Rian yang sangat tidak kreatif itu memberi nama anaknya dengan nama Afika. Amira dan Afika, semua memperlakukan mereka seolah mereka ini saudara kandung padahal mereka berdua tau bahwa hubungan yang ada sebenarnya adalah musuh bebuyutan. “Eh b***h!” pekik Amira sambil menatap tajam pada Afika. “Amira!” “Amira!” ucap Ucup dan Mamanya berbarengan. “Itu yang dia bilang sama aku tempo hari. Kalo Ayah sama Nenek ga percaya, aku punya saksi. Teman sebangku ku yang pintar ga ketulungan pasti mau bersaksi kok. Sampe dia ngap-ngap gitu denger sebutan sayang Afika Dyatmika Bahir untuk kakaknya ini.” Amira langsung mencari kontak Danis yang sudah ia simpan dengan benar kali ini, mencoba meminta pembelaan dari teman sebangkunya itu. “Fika?” tanya Rian ketika semua orang sedang menunggu kebenaran dari saksi yang Amira katakan. Memangnya ada gitu saksinya? Atau Amira hanya sedang ingin mengumpati Afika di depan semua orang? Ini lah yang ada di kepala Bu Tari dan Ucup. “Maaf, Pa.. habisnya dia masih aja gatal sama Kevin.” Rian dan Ucup sama-sama menutup wajahnya dengan telapak tangan saat mengetahui masalah di antara Amira dan Afika masihlah seorang Kevin. Kenapa pula mereka harus menyukai orang yang sama saat satu bumi ini dipenuhi oleh manusia berjenis kelamin laki-laki baik yang asli dari sononya atau yang sudah melakukan operasi transgender. “Ya, halo,” ucap orang di seberang sana yang untuk bicara dengannya kita butuh untuk meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang akan kita katakan padanya adalah hal yang penting. Demikianlah image Danis yang Amira tangkap selama ini. “Maaf, gue salah pencet,” ucap Amira yang baru menyadari ia melupakan untuk membatalkan panggilan pada Danis. “Maaaaaffff banget,” ulang Amira sekali lagi. Berdasarkan gosip yang ia terima dari teman-teman barunya, sebagian guru BB malas sekali untuk membagi kelompok tugas. Jadinya mereka sering memutuskan teman sebangku serta dua bangku di belakang mereka untuk satu kelompok, jadi Amira tidak ingin ambil resiko membuat Danis merasa terganggu olehnya. Dan seperti yang diduga Danis langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Amira meneguk ludahnya kasar. Satu tangan yang tidak memegang gawai ia bawa menuju d**a, merasakan degub jantungnya sendiri. Ada beberapa alasan kenapa jantungnya bertingkah seperti ini. Pertama, berbicara melalui telfon dengan Danis Ammar Hardian entah kenapa terasa seperti cowok itu berbisik langsung ke daun telinganya. Kedua, Amira sangat khawatir akan terjadi hal buruk pada dirinya yang tentu saja berkaitan dengan Danis dan tugas kelompok yang akan mereka terima hari esok. Dan ya, alasannya dua saja. “Amira Queensha Amzari! Pura-pura melamun tidak akan menghentikan omelan Ayahmu,” ucap Vani yang terbangun karena teriakan putrinya barusan, ia pikir apa yang terjadi sampai Amira berteriak. Tidak taunya masih masalah cowok. Setelah memastikan anak gadisnya mendengar ucapannya, Vani kembali masuk ke kamar Ucup di rumah Bu Tari, mencoba untuk tidur kembali. “Ayah ngomel lagi?” tanya Amira tidak percaya, memang berapa kali dalam sehari ayahnya ini ingin mengomeli dirinya? Padahal Amira sudah hapal mati semua yang selalu ayahnya ulang itu. “Ayah bilang kamu putus ‘kan sama Kevin?” “Ayaaah.. aku sama Kevin udah ga ada hubungan apa-apa lagi. Masalah di sini adalah.. mustahil sekali Kevin akan putar haluan ngejar-ngejar Fika setelah putus dari aku. Wahai Ayahandaku Yusuf Fairuz Amzari, apa ayah pikir Amira Queensha Amzari dan Afika Dyatmika Bahir itu berdiri di level yang sama?” “Ya engga lah.. lo itu udah tua jelas level kita beda,” celetuk Afika yang meski sedang dimarahi oleh papanya tapi ia tetap tidak bisa membiarkan Amira bicara sesuka hatinya. Robi merasa diabaikan. Ucapan salamnya tidak ada yang menyahut. Ia pikir semua orang sudah berkumpul di rumahnya Bu Tari seperti dulu, ritual kehamilan istri sakti mandra gunanya Ucup makanya rumah jadi heboh sekali. Tidak taunya dua remaja yang saling meneriaki satu sama lainlah dalangnya. “Sudah!” ucap Ucup. “Cukup!” ucap Rian. “Anak Om cowok loh gadis-gadis.. kalo kalian lupa.” Robi langsung menyalami gurunya tak lupa bergurau dengan mengatakan bahwa maksud kedatangannya kemari adalah untuk meminang cucu-cucu Bu Tari a. k. a. Amira dan Afika untuk dijadikan mantu. “Anak Om masih SMP, Om!” pekik Amira dan Afika serempak. Meski kesal, Amira berjalan pada Om kesayangannya itu dan menengadahkan tangan tak lupa memasang wajah imutnya. “Mau jajan, Om..” ucapnya. “Kalo mau bagi-bagi uang yang adil, ya Om.. disini yang paling kecil bukan Amira.” Amira menoleh dan menatap tajam pada Afika. “Om Robi bukan temen Papa lo! Om Robi ini sahabat Ayah dan gue udah disayang Om Robi sejak dalam kandungan. Ya ‘kan, Om? Dulu kita bertiga sama Bunda pernah kelabing bareng ‘kan?” tanya Amira meminta anggukan dari Om Robi. “Nak, bisa kita skip aja bagian itu?” tanya Ucup tidak senang mengingat kejadian tujun belas tahun yang lalu. “Ga, Ayah.. itu bagian dari sejarah dan perjalanan aku menjelang lahir ke dunia.” “Oke, tapi jangan sekali-kali coba untuk mendatangi tempat itu.” Amira mengangguk pada ayahnya kemudian kembali pada Om Rian. Dan betapa senangnya ia ketika Om Rian langsung mengeluarkan dompetnya. “Masa cucunya Mahardika minta-minta duit sih?” “Sebelum disebut jadi cucunya Teja Mahardika aku lebih dulu jadi anaknya Yusuf Fairuz Amzari, Om.. Om kaya ga tau Ayah aja. Bahkan jajan permen aja aku diatur mana yang boleh mana yang engga.” Amira mengeluarkan keluhannya ber-Ayah-kan ayahnya. “Om?” panggil Amira pada Om Robi. “Hm?” “Om tau ga kalo kemaren aku ketahuan pacaran?” “Oh ya?” “Iya..” “Terus?” “Terus Ayahku mutusin kami berdua,” cibir Amira yang sudah selesai dengan misinya. “Om turut berduka cita kamu punya ayah modelan Ucup tapi bisa kamu keluarkan uang yang barusan sengaja kamu masukkan ke kantongmu Amira?” tanya Robi tegas, jelas-jelas ia meminta Amira untuk memberikan pecahan seratus ribu lainnya pada Afika tapi anaknya Ucup yang mata duitan ini malah mencoba untuk mengalihkan topik. “Ga usah, Om.. aku bisa ambil sendiri.” Afika langsung mengubek-ubek kantong celananya Amira tak lupa mencubit pinggangnya. Teriakan kesakitan Amira membuat Robi lelah seketika, padahal belum sampai lima belas menit ia di sini. “Yan, lo masih lama di sini? Atau elo deh Cup yang pulang ke rumah lo, bawa sekalian anak lo yang dulu gue ajakin kelabing.” “Sialan ini rumah gue, lo aja yang pulang!” “Bahasa kamu, Cup!” “Maaf, Ma..” >>>  “Hai, sayang,” sapa Denis kemudian mengecup pelipis istrinya sebelum duduk di meja makan. Beruntung hari ini ia tidak terlambat makan malam. Denis bosan rasanya harus mengetuk pintu kamar anak-anak untuk numpang tidur. Fay memang tidak bisa menolerir kesibukannya belakangan ini sampai memberikan hukuman yang bagi Denis sangat kekanakan. Denis Hardian tidak pernah tidak menemukan putra pertamanya di meja makan. Tentu saja hal ini membuatnya merasa ada yang aneh pada putra kebanggaannya itu. Ya, sejak kehadirannya di dunia ini tidak pernah sekalipun Denis tidak takjub pada Danis atau yang mereka sekeluarga panggil dengan nama tengahnya di karenakan saat kumpul keluarga ia dan si sulung sering kebingungan karena nama mereka yang hanya berbeda satu huruf saja. Bahkan Danis Ammar Hardian yang baru lahir sanggup menjadi penguat baginya yang harus menjauh dari Fay dan anak mereka sesuai perjanjian yang kakek dan Mama Naya buat. “Abang mana, nak?” tanya Denis pada putra bungsunya. “Di kamarnya, ga mau turun bahkan bukain pintu aja ga mau, Pa,” adu Abi pada Papanya. “Fay? Dari tadi aku panggil ga nyahut.. Ini kenapa semuanya jadi aneh begini?” “Ini pasti perkara cewek nih, Den.. Aku mau pindahin Ammar ke pesantren aja lah.” “Astaga Faya... Dulu kamu mencak-mencak pas Ammar ga mau sekolah di sekolah umum. Sekarang kamu malah mau dia sekolah di pesantren? Apa kamu ga mikir di sini yang lebih dewasa itu justru anak kamu?” Denis mengurungkan niatnya untuk makan karena ada pekerjaan yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Menenangkan istrinya yang terlalu berpikir berlebihan soal si sulung dan tentu saja membawa si sulung ke meja makan agar istrinya tidak menampilkan wajah tidak menyenangkan seperti itu lagi. Seharian bekerja Denis sama sekali tidak berharap mendapati wajah cemberut istrinya ketika pulang ke rumah. Denis dengan sabar mengetuk pintu kamar putranya yang ternyata sengaja di kunci dari dalam. Ammar tidak mungkin melakukan hal ini kalau ia tidak merasa terganggu oleh mama atau adiknya. Denis akui kalau anak bungsu dan istrinya memang yang paling heboh di rumah ini. Apalagi kalau mereka sudah bergabung dengan Fateh, Gilang dan Agam. “Hai, Pa.” “Tebak apa yang Mamamu pikirkan.” “Hm... Mama pikir aku dapat saingan baru di sekolah?” tanya Ammar pada Papa yang di wajahnya tercetak jelas bahwa beliau sangat lelah hari ini. “Mama pikir kamu mengurung diri karena cewek.” “Maksudnya, Pa?” “Mama pikir kamu lagi naksir cewek cantik di sekolahmu dan sekarang kalian berdua lagi ada masalah, semacam itu..” Masalah? Pikir Ammar kemudian berdecih karena sepertinya hanya dirinyalah yang bermasalah disini. “Engga, Pa. Cewek di sekolah semuanya bodoh. Aku ga sudi naksir sama cewek seperti itu.” Ammar mengangguk, tidak mungkin ia menyukai seseorang yang bisanya hanya menyia-nyiakan dirinya sendiri. kalau memang Ammar harus menyukai seseorang maka ia pastikan orang itu adalah orang yang sangat menyayangi dan menghormati dirinya sendiri. Tidak seperti Amira yang membiarkan begitu saja cowok sialan menciumnya. Denis tersenyum geli. Mari kita lihat siapa yang cinta bawakan untukmu, nak, gumamnya dalam hati. Bahkan Faya si pintarpun pernah jadi sangat bodoh gara-gara cinta kekanakannya pada Abid si Abang angkatnya. “So, dinner?” “Aku pasti makan kok, Pa.. tapi nanti. Papa kalo butuh teman cerita panggil aku aja.” Denis mengangguk, “Jadi Papa harus jawab apa sama Mama?” “Aku belajar, seperti biasa ‘kan Pa?” tanya Ammar membuka lebih lebar pintu kamarnya guna menunjukan bagaimana keadaan meja belajarnya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD