3.6

1548 Words
Sungguh, Amira sudah berniat untuk meminta maaf pada Danis. Ia sudah memikirkan semua kesalahannya selama ulangan matematika berlangsung dan mengakui kalau memang dirinyalah yang salah. Amira bahkan sudah berencana untuk merendahkan suaranya, berbicara dengan nada yang selama ini hanya ia gunakan untuk Kevin seorang, tapi komentar Danis tentangnya yang membuat semua orang tertawa membuat Amira mengeraskan hatinya. Ia pikir sudah impas, Amira juga sudah sakit hati jadi apalagi gunanya kata maaf? Tiga puluh menit yag lalu, ketika ulangan sudah berlangsung selama lima belas menit. Amira sudah tidak tau apa yang harus ia tuliskan di kertas ulangan. Jika saja Matematika ini seperti PKN yang bisa ia karang jawabannya –mana ada orang mengarang menggunakan kombinasi sepuluh angka dari nol sampai sembilan kemudian melakukan kolaborasi untuk kesepuluh angka itu dengan simbol-simbol aneh yang bagi Amira tampak seperti lambang pemuja setan (Dan apa? Sekarang kalian tertawa mendengar Amira menyebut semua simbol itu dengan lambang pemuja setan? Yang benar saja!), atau bahkan Bahasa Indonesia yang sering meminta para siswi menceritakan pengalaman paling berkesan baginya, Amira pasti tidak akan sebingung ini sekedar untuk menulis. Jadi ketika Amira sibuk memikirkan bagaimana cara agar setidaknya kertas ulangan itu terisi separuh saja, ternyata Danis Ammar Hardian menoleh padanya. Danis bahkan menumpukan sikut kanan di atas meja agar bisa menyangga wajahnya yang mendapat tontonan menarik. Amira tidak tau seberapa lama ia dipandangi seperti itu sampai Pak Fadli sendiri yang menegur Danis. “Amira Queensha Amzari terlalu cantik, ya Danis? Sampai kamu sibuk memandanginya dan melupakan kertas ulanganmu sendiri.” Itu kalimat yang menarik Amira untuk menoleh pada Pak Fadli sebelum pada teman sebangku bermulut tajamnya itu. “Saya sudah selesaikan semua soal Bapak.” “Bukan berarti kamu bebas menatap siswi manapun selama jam pelajaran saya.”  Amira jadi bertanya-tanya, seberapa lama ia ditatap oleh si juara umum? Amira terlalu sibuk mengutuk matematika sampai tidak sadar bahwa dirinya diperhatikan oleh cowok tampan di sebelahnya. “Maaf sebelumnya, Pak, saya hanya melirik sebentar. Itupun karena saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang yang tidak bisa menyelesaikan sepertiga saja dari soal-soal bapak yang levelnya biasa saja ini.” Itulah yang membuat seisi kelas menertawainya. Hal yang sama yang membuat Amira tidak ingin menoleh ke kanannya. Merasa sedikit tidak adil karena saat kemaren dirinya mengatai Danis banci, hanya satu orang yang mendengarnya tapi Danis justru membalasnya di depan semua orang. Namun begitu Amira tetap berusaha menganggap semuanya impas. “Mir..” panggil Egin pada sahabatnya yang jadi sangat diam sejak ulangan selesai. “Hm?” “Lo jangan sedih gitu dong, gue juga ga bisa ngerjain semua soalnya Pak Fadli, kok. Matematika bukan mata pelajaran yang sebagian besar siswa bisa ngerjainnya. Lo ga harus-” “Hem.. gue lagi kangen Kevin aja kok.” Amira sadar kalau tidak semua cowok tampan akan menyukainya. Danis juga bukan cowok yang akan memperlakukannya sebaik Kevin. Kevin memang yang terbaik, hari ini Amira mau merengek sajalah pada Kevin, minta ketemuan gitu.. persetan dengan permintaan Kevin yang ingin fokus pada ujiannya yang masih lama itu. Memikirkan dirinya yang akan mengganggu Kevin saja mampu membuat mood Amira kembali baik. “Memangnya siapa Danis sampe bikin gue sedih? Dia menang di wajah sama otaknya aja. Cewek ga bakal suka sama robot, percaya gue!” Kalimat barusan sebenarnya Amira tujukan pada dirinya sendiri. Bahwa Danis mungkin terlihat menggiurkan, karena cowok itu pintar, ganteng, dan katanya anak orang super kaya juga. Namun itu saja tidak cukup, satu lagi tipe ideal Amira adalah cowok yang penyayang, bukannya cowok yang tidak berperasaan seperti Danis Ammar Hardian. Egin tersenyum senang melihat sahabat barunya kembali bersemangat. Memeluk Amira dengan dengan kedua tangannnya kemudian berjalan memasuki kantin dengan kepala ia letakkan di bahu sang sahabat, Egin kembali menanyakan kejutan yang Amira maksud. “Lo mau ngenalin gue sama siapa?” Senyum Amira pudar begitu ia dan Egin memasuki kantin. Tempat yang kalau Egin bilang adalah tempat bermulanya segala jenis gosip di Bina Bangsa. Amira bahkan tidak sempat menjawab pertanyaan Egin karena dirinya sibuk mendengarkan bisik-bisik semua orang tentang cewek tidak tau malu yang katanya dengan berani memeluk idola mereka. Amira tidak akan mengepalkan kedua tangannya kalau saja bisik-bisik semua orang tidak disertai dengan lirikan pada satu cewek yang duduk menunduk di salah satu meja, saudara kembarnya. Rupanya langkah Amira kalah cepat dengan saudara seperjuangannya mengatasi remedi atau yang pagi tadi baru ia ketahui namanya, Aldi. Amira menolak memanggil cowok itu dengan nama Umar karena nanti orang-orang akan beranggapan Umar dan Amir berjodoh karena kemiripan nama mereka. Amira tidak mau berjodoh dengan orang yang sama bodohnya dengan dirinya. “Gin, kita pesan sotonya dulu, ya.” ajak Amira yang mulai tenang karena sekarang sudah ada orang yang berdiri untuk melindungi kembarannya. Selama Amira menunggu pesanannya dalam diam, Egin justru  memindai keseluruhan kantin untuk menemukan tempat duduk bagi mereka. Ia ingin mengajak Amira untuk berdiri lebih lama sampai ada meja yang kosong karena Egin tidak mau duduk di meja yang sama dengan Umar dan pacarnya. Sayang sekali langkah pasti Amira membawa nampan berisi makan siangnya ke meja yang tidak ia inginkan. “Mir!” “Mir!” mulai dari berbisik sampai setengah berteriak, Egin tetap tidak mendapatkan Amira menoleh padanya. “Duduk, Gin! Lo belum kenalan sama kembaran gue ‘kan?” Amira sengaja membesarkan suaranya agar semua orang mendengar informasi bahwa Divya adalah kembarannya. Ia punya dua misi saat ini dengan membiarkan semua orang mengetahui ini, pertama Amira tidak ingin ucapan bodoh anak-anak BB soal ayahnya yang sembarangan memeluk anak orang terdengar lagi oleh telinganya dan kedua, Amira tidak ingin Divya dicap sebagai cewek yang merebut idola mereka. Idola? Langganan remedi kaya Aldi bisa jadi idola berarti aku juga bisa jadi idola, gumam Amira membatin. Ia tidak tau saja Aldi di idolakan karena performanya di lapangan hijau. Sebelum tersenyum pada Egin, Amira sengaja mendaratkan tatapan datarnya pada Aldi terlebih dahulu. “Amira Queensha Amzari,” ucap Amira sambil mengangkat tangan kanannya dan memposisikannya beberapa inci dari dagu. “Divya Jacinda Amzari,” sambungnya sambil menunjuk Divya yang duduk di bangku yang sama dengan Aldi dengan mengunakan jari telunjuk dan tenganya bersamaan. Setelah memberikan senyuman untuk kembarannya yang sama sekali belum menyapanya dan memberikan ekspresi bosannya pada Aldi, Amira menggerakkan kedua jari telunjuk dan tengahnya yang awalnya menyatu menjadi melebar. Isyarat agar Aldi menjaga jarak dari saudaranya. Aldi sudah melanggar dua dari tiga syarat yang pagi tadi Amira berikan padanya. Jaga jarak, begitu yang Amira minta dan mereka sama sekali tidak mengindahkannya. Jaga tangan artinya Aldi tidak boleh memegang-megang adiknya sedang jaga mulut artinya aldi tidak boleh mencium Divya. Tapi ternyata untuk ukuran seseorang langganan remedi seperti Aldi, jaga mulut juga berarti jaga omongan. Berani-beraninya dia mengakui Divya pacarnya di tempat di mana kemungkinan besar semua angkatan berada. >>>  Danis Ammar Hardian mendengus melihat teman-temannya yang begitu bersemangat untuk bergabung dengan meja yang isinya adalah Umar beserta pacarnya juga Amira dan Egin. Danis sempat mendengar geturuan Vano yang ingin mencekik Umar karena selama ini mengaku hanya teman kecil Divya eh tau-taunya menikung sahabatnya sendiri. Tapi tenang saja, Danis tidak merasa tertikung sedikitpun. Danis sudah katakan bukan kalau dia tidak menyukai ceweknya Umar? Sedang Rehan yang juga membuat langkahnya lebar-lebar menuju meja tersebut karena melihat si kepala pink, bahkan dengan sengaja mengusir orang yang baru selesai makan di meja sampingnya. Danis terpaksa mengikuti jejak Vano dan Rehan karena Rehan membawa pergi mangkok sotonya. Padahal kalau bisa Danis tidak ingin bertemu dulu dengan Amira. Kejadian di kelas tadi benar-benar tidak terduga. Ia melirik sebentar ke arah kiri setelah menyelesaikan ulangannya tapi sayangnya ia tersedot oleh pemandangan di sebelah kiri. Danis bahkan tidak sadar ia sampai menyangga kepalanya sambil melihat Amira Queensha Amzari si cewek pisang. Jadi ketika ia ketahuan oleh Pak Fadli, Danis menyebutkan apa saja yang bisa ia pikirkan soal Amira. Sialnya itu menyinggung perasaan si cewek dengan helaian pink. “Lo ngapain di sini?” tanya Amira pada cowok yang selalu menyempatkan untuk menggodanya. Cowok yang terlalu percaya diri bahwa tampangnya bisa membuat Amira luluh. “Kumpul bareng keluarga,” kekeh Rehan. “Adek ipar gue sama Umar udah jadian, lo kapan mau gue jadiin istri?” tanya Rehan dengan nada sangat manis. Menoleh pada cewek di samping Amira, Rehan menunjukkan muka datarnya. Berani sekali Egin mencibir seperti itu langsung di depan seorang Rehan. Amira sudah membuka mulutnya untuk mengusir Rehan, bersamaan dengan itu datang lagi satu antek-anteknya Danis. Si cowok yang tidak Amira tau namanya ini langsung mengomel, menyebut Aldi seorang penghianat.  Oh.. waa.. Amira tidak tau bahwa ada cowok yang sanggup bicara secepat dirinya. Ini tidak akan berhasil, makanya Amira mengedarkan pandangannya ke sekitar. Jika peliharaan Danis ada di sini, si majikan pasti tidak jauh dari sini bukan? Setelah mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin, Amira mendapatkan Danis sudah menatapnya. Entah sudah yang ke berapa kali Amira mendapati Danis menatapnya lebih dulu. Sebenarnya ada apa sama robot maha sempurna ini? “Bawa peliharaan lo tolong! Gue sama keluarga gue mau makan!”  usir Amira. “Gue ga paham, gimana mungkin ada piaraan yang mau ikut makan semeja sama manusia.”  Amira pikir tambahan seperti yang barusan ia sebutkan sangat diperlukan. Vano yang awalnya sibuk memarahi Umar menoleh dengan gerakan sangat cepat pada Amira. “Lo ga tau siapa gue?” tanya nya, beraninya si cewek gulali menyebutnya peliharaan. Amira mengangkat kedua tangannya ke atas bahu, “Apa gue harus tau siapa elo sebagai timbal balik elo yang udah tau gue?” Danis mendengus kemudian menarik kerah belakang Vano agar temannya itu menjauh dari Amira. Vano kalau sudah tersinggung tidak bisa membedakan manusia berdasarkan gender. Kalau Danis terlambar sedetik saja, Vano mungkin sudah menerjang teman sebangkunya itu. “Satu lagi nih woi!” “Terus Umar?” tanya Rehan tidak terima. “Aldi ‘kan pacarnya kembaran gue,” sambut Amira dan seperti yang ia minta, Danis kembali mendatangi meja mereka dan membawa Rehan bersamanya. “Oke, sekarang waktunya kita makan,” seru Amira.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD