3.5

1653 Words
Danis mengurungkan langkahnya begitu melihat satu-satunya siswi Bina Bangsa dengan kepala pink berjalan setengah menari. Entah apa yang yang membuat cewek itu riang sepagi ini. Apa dia tau kalau hari ini ulangan matematika? Danis berani bertaruh kalau Amira akan langsung murung begitu ulangan dimulai. Senyuman lemah tercipta di bibir Danis menyadari bahwa ia hanya buang-buang waktu dengan mengkhawatirkan Amira karena pagi ini cewek itu datang dengan suasana hati yang jauh lebih baik dari yang sudah-sudah. Bayangkan saja, sempat-sempatnya Danis mengkhawatirkan cewek yang sudah menuduhnya melakukan apa yang sama sekali tidak ia lakukan. Cewek yang sama yang mengatainya banci. Harusnya Danis marah tapi air mata Amira kemaren siang membuat Danis tidak sempat untuk marah bahkan sedikit saja. Kalau kemaren Amira mengikutinya diam-diam, sekarang Danis merasa semua kembali terulang hanya saja dengan adanya sedikit perbedaan, kini Danislah yang mengikuti Amira. Danis jadi penasaran apa yang cewek itu pikirkan ketika berjalan di belakang dirinya, karena satu-satunya yang Danis bisa pikirkan adalah bagaimana caranya untuk memotong helaian pink itu yang berlenggak lenggok seiring dengan tiap langkah yang si cewek pisang buat. Amira sungguh lupa dengan apa yang terjadi kemaren di jam terakhir sebelum sekolah bubar. Senyum riangnya berubah begitu melangkahkan kaki ke dalam kelas. Tatapan itu kembali ia dapatkan dari mereka, beberapa ada juga yang mulai berbisik sambil menatap ke arahnya. “Bisa jangan menghalangi jalan?” ucap seseorang dari arah belakangnya ketika Amira berniat untuk bolos saja. Orang itu adalah teman sebangkunya sendiri yang Amira masih belum mendapatkan maaf untuk dua kesalahan t***l yang ia buat. Amira tidak bisa menahan dirinya dari berpikir negatif tentang seseorang yang belum teralu ia kenal baik, PR paling sulit yang harus ia kerjakan. Hal aneh yang ia rasakan setelah mengetahui keberadaan Danis adalah bahwa pandangan merendahkan dan bisik-bisik berani tadi berhenti begitu saja. Bagaimana mungkin mereka semua menunda gibahannya untuk Amira hanya karena seorang Danis Ammar Hardian? Egin sempat bilang kalau Danis membelanya dengan membentak mereka semua, apa mungkin itu artinya.... Amira tidak tau apakah ini benar atau tidak karena mau bagaimanapun, Amira mengakui kalau dirinya termasuk manusia yang menjadikan dirinya pusat alam semesta serta berpikir dengan cara berlebihan. “Apa lihat-lihat?” tanya Danis yang tampak risih ia pandangi. Amira menggelengkan kepalanya dengan gerakan lemah, tidak mungkin teman sebangkunya ini menyukainya. Dan benar, Amira hanya terlalu berpikir berlebihan seolah dirinya benar-benar pusat alam semesta padahal buku IPA anak SD saja sudah bilang kalau pusat alam semesta itu adalah matahari, bukan mata Amira. Menghela napas pelan, Amira kemudian mengikuti Danis yang sudah duluan menuju bangku mereka. “Hai, Gin..” “Hai..” “Lo baca apa?” tanya Amira mencibir Egin yang mencoba membaca angka-angka juga simbol-simbol matematika. Kadang ia heran kenapa Egin tidak membaca novel seperti dirinya saja. Kalau Egin mau, Amira bisa meminjamkan separuh dari koleksinya untuk temannya itu. “Lo pasti lupa. Kita ulangan matematika, Mir! Sumpah, untuk selanjutnya gue bakal ngingetin lo tiap malamnya buat belajar.” “Kita APA?” tanya Amira yang panik untuk beberapa saat, namun setelah ia berhasil mensugesti dirinya bahwa no matter what happen dia akan selalu remedi, Amira kembali tenang. “Lo tau, Gin.. berapa kali kita harus ulangan untuk satu mata pelajaran dalam satu semester?” erang Amira. Egin menggeleng karena ia tidak tau dan tidak pernah menghitung hal seperti itu sebelumnya. “Banyak! Belum lagi mata pelajaran yang juga lebih dari sekedar banyak. Matematika wajiblah, matematika peminatanlah. Ini alasan kenapa kita harus demo dan menggulingkan mentri pendidikan.” Egin meneguk ludah kasar karena pembicaraan pagi ini sampai membahas menteri pendidikan yang pagi ini entah sudah bangun atau belum. “Disaat guru ongkang-ongkang kaki, kita disuruh nyari sendiri karena katanya pembelajaran berpusat pada peserta didik. Helloww.. peserta didik ga sepintar itu untuk paham semuanya tanpa di terangin di papan tulis kali. Dikit-dikit diskusi, dikit-dikit diskusi. Masa trigonometri bisa selesai dengan diskusi?” Amira tidak tau saja bahwa sekarang Danis Ammar Hardian betul-betul memandangnya takjub. Bagaimana mungkin seseorang yang bukan siapa-siapa alias siswi tanpa prestasi berani mengomentari kurikulum dan bahkan menteri pendidikan? “Kamu betul, makanya saya masih bertahan dengan cara konvensional. Mungkin dianggap menyalahi aturan tapi saya tidak bisa hanya memberikan kalian semua tugas-tugas yang ada di buku paket sambil berdoa supaya kalian paham materinya.” Amira memberikan pandangan ‘kenapa lo ga kasih tau gue?’ nya pada Egin dan segera duduk. Seberapa banyak omelannya yang Pak Fadli dengar heh? “Jadi pastikan selama jam pelajaran saya berlangsung, kalian benar-benar serius memperhatikan apapun yang saya sampaikan. Pastikan juga catatan kalian semua lengkap karena tidak ada satupun buku paket matematika di toko buku manapun di Indonesia yang sanggup menandingi apa yang saya berikan pada kalian.” ucap Pak Fadli sebelum meminta ketua kelas untuk memimpin doa. >>>  Pagi ini Divya masih mendapati dirinya transparan alias tidak terlihat oleh siswa dan siswi lainnya. Atau semua ini gara-gara Aldi yang pagi ini mengantarnya ke kelas sampai semua orang di koridor menatapnya penasaran? Semua tatapan yang mengarah padanya membuat Divya merasa takut, tanpa sadar ia meraih jemari Aldi. “Kenapa?” tanya Aldi yang menemukan sahabatnya tampak linglung. Divy menoleh pada Aldi kemudian memberikan gelengan lemah. Ia tetap ingin makan bersama Aldi di kantin karena ada hal yang sangat ingin ia tanyakan tentang Papa. “Tangan kamu mau tetap begitu? Kita ga di rumah loh ini?” “Oh, ma- maaf!” Divya mengikuti langkah Aldi menuju kantin dan saat masuk ke surganya Bina Bangsa tersebut, Divy merasa sesak. Bagaimana mungkin surga bisa sekacau ini? pikir Divy. “Kita ga harus makan di sini, Di!” cetus Divya. Oke, hari ini dia memang tidak membawa bekal seperti biasa tapi mereka bisa membeli roti dan air mineral kemudian bicara di kelas atau di manapun yang lebih baik dari kantin. “Kita harus,” tegas Aldi. “Kamu belum pernah nyoba soto Bu Ayu, ‘kan Di?” tanya Aldi yang matanya memindai keseluruhan kantin untuk menemukan tempat kosong. Dan beruntung ia melihat juniornya yang bisa di usir dengan sangat mudah. “Ikut aku dan tolong jangan sampai ilang, ga lucu kalo kamu ilang di kantin sekolahmu sendiri, trust me!” Dan Divy kembali merasakan semua tatapan intens yang entah untuk alasan apa harus ia terima, sialnya ini terasa lebih menakutkan karena Aldi tidak berada di dekatknya kali ini. Entah dikarenakan ada yang salah dengan dirinya atau justru karena Aldi mengusir siswa kelas sepuluh yang baru mendapatkan pesanannya. Masih tersisa sekitar dua setengah menit dari total empat menit yang Aldi berikan pada empat orang siswa kelas sepuluh itu untuk mengosongkan meja ini. Aldiansyah Umar meninggalkan Divya di sini dengan rasa bersalah pada junior mereka yang harus menghabiskan soto yang masih mengepulkan uap, sementara dia beralasan akan mendapatkan dua mangkuk soto Bu Ayu untuk mereka. Divy tidak tau akan seperti apa rasa lidah para anak cowok kelas sepuluh ini nanti. Divy untuk pertama kalinya benar-benar merasa seperti tukang risak karena bangku yang maksimal hanya bisa diisi oleh tiga orang malah ditempati oleh empat orang sekarang, empat orang yang sama yang sekarang coba untuk menandaskan soto panas mereka. Dan ya, ini masih ulah Aldi yang meminta mereka mengosongkan bangku panjang di salah satu sisi meja agar Divy bisa duduk tenang. Kalau kita mengabaikan pandangan orang-orang untuknya, Divy benar-benar duduk tenang sampai tidak ada yang berani mengganggunya saat ini. Sudahkah Divy bercerita alasan kenapa ia tidak suka Aldi bergaul dengan teman-teman sok kerennya itu selama ini? “Kalian ga pernah liat cowok pesenin makan untuk pacarnya? Atau sekarang ada peraturan baru yang ngelarang pacaran di kantin?” Oh dan sekarang Divya merasakan kupingnya gatal seperti digigiti oleh jutaan kuman disaat yang bersamaan saat mendengar Aldi membuat drama, membuat hiruk pikuk Kantin lenyap seketika. Tunggu! Apa barusan Divy menyebut sahabatnyalah yang membuat drama? Aldi benar-benar harus berhenti bergaul dengan teman-temannya itu. Apa Aldi ngajak aku makan di kantin buat ngenalin ceweknya? Gumam Divya membatin. “Dan lo berempat! Angkat p****t lo dan jangan lagi ngeliatin cewek gue kayak yang gue bakal putus aja dari dia.” Aldiansyah Umar tidak pernah bermasalah dengan semua mata yang terarah padanya, saat ia dan teman-temannya bertanding bahkan ada lebih banyak pasang mata yang terarah padanya. Ia menaruh nampan yang berisi dua mangkok soto Bu Ayu dan dua teh botol di atas meja dengan gerakan pelan. Bersamaan dengan itu empat siswa malang Bina Bangsa buru-buru ngacir, benar-benar tidak mau disebut sebagai junior kurang ajar yang dengan terang-terangan melirik pacar seniornya. “Perhatikan semuanya!” umum Aldi dengan suara yang terdengar lebih menggelegar. Nadanya kali ini terdengar lebih nyaring mungkin dikarenakan semua orang sedang diam, tidak seperti tadi. “Sekali aja gue denger satu dari kalian cari masalah sama Divya Jacinda Amzari, cewek gue, masa SMA kalian di Bina Bangsa gue pastikan berasa kaya neraka!” Divya merasakan jantungnya berdetak luar biasa saat Aldi mengikut sertakan dirinya dalam drama murahannya. Tidak tanggung-tanggung, Aldi malah memberinya pangkat berupa pacar. “Ada apa sih, Di?” tanya Divya pada sahabatnya,  menuntut penjelasan detik ini juga terlepas dari tatapan semua orang yang sekarang terarah pada mereka berdua. Divy pikir ia akan berkenalan dengan pacar pertama Aldi dan siapa sangka pacar yang sahabatnya maksud adalah dirinya sendiri. Aldi yang kini sudah duduk tepat di depan sahabat yang diakuinya sebagai pacar tidak serta merta menjawab pertanyaan Divya, ia malah menambahkan sedikit saos, kecap dan cabe  sebelum mendorong mangkok soto itu pada Divya. “Nah.. aku jamin kamu pasti suka,” ucap Aldi yang terlalu mengidolakan soto Bu Ayu. “Aldi!” tekan Divya dengan bola mata yang kapan saja bisa bergulir di lantai. “Bukan apa-apa. Pertengkaran kecil kemaren bikin mereka penasaran sama pacarku, bahkan sampai ngomong yang engga-engga soal Ayah dan kembaran kamu, Amira.” Mata Divya tidak bisa lebih melotot dari ini, bukankah kemaren sudah tidak ada orang di sekolah? Ia sangat yakin hanya melihat Aldi dan teman-temannya di lapangan upacara. Apa yang mereka bicarakan sampai Aldi melakukan hal yang tidak akan pernah mau ia lakukan untuk seorang Divya. Aldi kembali mengedarkan matanya pada penjuru kantin, “Bisa putar kepala kalian? Gue oke aja diliatin tapi cewek gue sedikit pemalu.” “Aldi!” “Aku benar ‘kan? Buktinya kamu masih belum makan sotonya.” Divya ingin memutar kedua bola matanya tapi ia tidak berani melakukan hal itu di depan semua orang. Dengan pelan Divy menarik bangku yang ia duduki untuk  lebih maju mendekati meja. “Kamu mau aku duduk di samping kamu aja?” tanya Aldi yang melihat dengan jelas bagaimana Divya mencoba untuk melihat keadaan di sekelilingnya. “Gimana aku ga marah coba? Mereka bikin pacarku jadi lebih manja dari biasanya,” gerutu Aldi begitu melihat anggukan cepat Divya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD