1.7

1750 Words
Danis masih terbayang wajah bengong si cewek pisang dua jam yang lalu. Pagi ini kelasnya mengadakan presentasi kelompok untuk mata pelajaran Kimia. Tugas ini sudah diberikan oleh guru mereka sejak dua minggu yang lalu sehingga Amir tentu tidak memiliki kelompok. Sebelum ia berniat untuk menyusup ke kelompoknya Egin, Pak Guru lebih dulu memintanya untuk mendengar saja dengan baik semua materi yang disampaikan oleh tiap kelompok, kemudian Bapak akan memberikan pertanyaan untuk mengambil nilai Amir nantinya. Susunan meja mereka juga sengaja diubah menjadi seperti huruf U agar semua orang bisa memperhatikan tanpa terhalang juga yang terpenting agar Pak Guru bisa memastikan siapa yang masih mencoba untuk bicara di kelasnya. Entah ini keberuntungan atau tidak, Amir duduk tepat di depannya, di seberang sana. Wajah si cewek pisang sudah berubah menjadi pucat pasi sejak presentasi kelompok pertama dimulai. Danis tidak sedang mengarang bahwa Amir tampak pucat, tadi pagi ketika ia masuk ke kelas, Danis menyempatkan untuk meliriknya sebentar, itulah kenapa ia tau perubahan pada wajah teman sebangkunya itu. Amir yang ketakutan dan gelisah memikirkan pertanyaan yang akan ia dapatkan dari Pak Guru sungguh terlihat menggemaskan bagi Danis. Baru pertama kali ada orang bodoh yang terlihat lucu bagi Danis hingga ia berharap Amir tetap bodoh untuk selamanya agar ia tetap bisa merasakan perasaan senang seperti ini. Kalau saja tidak ada orang selain mereka berdua di kelas, Danis pasti sudah berjalan mendekatinya untuk melihat wajah kesukaannya itu dari dekat. “Ada yang bikin lo bahagia pagi ini?” tanya Vano yang memang sangat jeli kalau urusannya sudah ada sangkut pautnya dengan Danis Ammar Hardian. Ia hapal semua hal tentang Danis, prestasi-prestasinya, impiannya bahkan arti nama temannya itu sendiri sudah ia hapal mati, yakni Danis keturunan Hardian yang bijaksana, baik, tegas, cerdas, adil dan bertanggung jawab. “Ga ada.” “Ga ada artinya ada. Lo ‘kan sama kaya cewek, selalu bilang kebalikan apa yang lo rasain!” “Han, temen lo kenapa sih?” tanya Danis pada Rehan yang paling mengerti dengan jalan pikiran Vano. “Si Tungau mau lo curhat kenapa siang ini lo tampak berseri supaya dia juga bisa curhat masalah Divya.” Bukankah ini terasa aneh? Divya yang kata anak-anak ini adalah kutu buku, culun dan lain sebagainya malah selalu menjadi bahan pembicaraan setiap mereka berkumpul. Danis tidak mengerti kenapa mereka harus membahas cewek itu terus. Sumpah dia tidak berniat mengatakan bahwa siswi satu itu tidak menarik, ia hanya tidak merasa tertarik untuk membicarakannya. Astaga Danis.. apa bedanya dia yang tidak menarik dengan kamu yang tidak merasa tertarik? “Kenapa lagi? Vano udah ngaku kalo dia yang naksir?” “Engga lah! Umar tuh yang nikung lo. Kemaren mereka pulang bareng, mana calon pacar lo meluk pinggangnya Umar kenceng banget.” “Imajinasi lo tolong dikondisikan! Gue ga punya pilihan lain, dia anak yang terlalu berharga bagi bokap-nyokap gue. Kalo aja buang anak sendiri ga dosa, mereka pasti udah nendang gue dan angkat Divya jadi anaknya.” Dengan mudahnya perhatian Danis teralih pada sosok yang membuat perutnya dipenuhi perasaan geli pagi ini, ia bahkan tidak peduli dengan Umar dan Vano yang sudah saling memaki. Sebentuk garis lengkung muncul di bibir Danis ketika melihat ada bola yang sedang menuju kepala bodoh si cewek pisang. Astaga, Danis tidak pernah berpikir bahwa ia akan kembali mendapatkan tontonan menyenangkan siang ini. Ia bahkan sudah menyilangkan kedua tangan di d**a, postur yang menunjukkan bahwa ia siap menanti bola voli itu mengenai kepala Amir. Pekikan Amir yang kesakitan membuat tawa tersembur dari mulutnya, kedua matanya menyipit membayangkan rasa sakit yang teman sebangkunya itu rasakan saat ini. Namun hal itu hanya sebentar. “Van, lo kenal cowok itu?” tanya Danis pada temannya yang paling tau seluk beluk sekolah. Tidak bermaksud sombong, Vano bahkan hapal semua nama siswa Bina Bangsa melebihi para staf tata usaha sekalipun. “Farel? Itu cewek yang dielus Farel siapa?” tanya Vano menjeda acara julid-julid annya dengan Umar sebentar, kini ia berdiri sejajar dengan Danis melihat Farel dan cewek yang rasanya belum pernah ia lihat di sekolah ini. “Cup! Cewek itu punya gue! Kalian dilarang pedekate sama dia!” Rehan berdiri di samping kiri Danis hingga sekarang ia dan Vano mengapit Danis. “Eh itu saudara gue,” ucap Umar yang ikut-ikutan dengan tiga temannya itu, ia berdiri di samping Vano dan menatap pada cewek yang ia hadiri pestanya tempo hari atau sebut saja kalau cewek itu mentraktirnya sarapan. Rehan, Danis dan Vano menoleh ke arah kanan mereka, menampilkan wajah penuh tanda tanya pada Umar. Saudara Umar? Bukannya Umar hanya punya satu adik perempuan? Ucap ketiganya membatin, terlebih Danis tau kalau Amir seumuran dengan mereka berempat. “Teman sebangku gue saudara lo?” Vano dan Rehan terbelalak mendengar informasi penting yang dengan bodohnya mereka lewatkan. Bagaimana bisa mereka tidak menyelidiki siapa teman sebangku Danis yang baru selama hampir seminggu ini? “Saudara senasib seperjuangan untuk memerangi yang namanya remedi.” Danis mendengus kemudian kembali menatap jauh ke depan. Kondisi otot siliarisnya sungguh sangat bagus sehingga ia melihat bagaimana cowok bernama Farel itu sengaja mengelus-elus puncak kepala pink Amir. Pink? Iya, cewek pisang itu sejak masuk sekolah ini sudah berambut pink. “Dan, lo jadi mak comblang gue sama si pink, ya. Gue pokonya mau dia.” Danis tidak bisa mengolah informasi yang menyambangi daun telinganya barusan karena ia sudah lebih dulu mengepalkan tangan melihat bagaimana cowok sialan itu sekarang malah memegang pergelangan tangan Amir yang mencoba menepis elusannya. Langkahnya terasa ringan, tanpa pikir panjang atau sebetulnya tidak berpikir sama sekali Danis berjalan lurus pada teman sebangkunya dengan langkah yang dibuat lebar-lebar. Untuk saat ini Danis tidak tau apa yang tengah ia lakukan karena ini benar-benar pertama baginya merasa terusik ketika seseorang menyentuh teman sebangkunya. “Kamu kenal dia?” tanya Danis begitu ia sampai di dekat Amir. Astaga, ia masih tidak bisa berpikir kenapa nama cewek berambut pink ini Amir. “Oh, hai, sayang..” ucap Amira pada cowok sok fokus teman sebangkunya, ia begitu beruntung rasanya karena si cuek ini menghampirinya yang barusan ditembak setelah dipukul tepat di kepala. Asal semua tau saja kalo Amira tidak pernah menargetkan preman, badboy atau apapun cowok dengan segudang keburukan untuk menjadi pacarnya sekalipun mereka tampan. Punya pacar Kevin yang hanya ganteng dan populer saja ia dibikin repot oleh Ayah apalagi kalau sampai memacari preman. “Pacar gue, nih!” ucap Amira geram dan menarik lepas tangannya dari pria sialan di depannya ini yang tercium jelas kalau ada bau rokok pada tubuhnya, kemudian berdiri di sisi si cowok sok fokus yang gantengnya kebangetan. Tapi tenang, Amira tidak melakukan hal berlebihan seperti bergelayut manja di lengannya. Amira tau diri kok. “Punya lo?” tanya Farel pada cowok bermuka datar di hadapannya. Danis mendengus geli, sejak kapan seorang manusia punya kepemilikan untuk manusia lainnya. Bukankah mereka diciptakan setara? Apa cowok di depannya ini berpikir kalau ia bisa memelihara manusia dengan bebas? Tidak takut dikenai pelanggaran Hak Asasi Manusia apa? “Salah! Dia yang punya gue,” jawab Amira membenarkan. Dalam kamusnya kalau ia pacaran maka pacarnya itu menjadi miliknya dan bukan sebaliknya. Danis menoleh ke gadis di sampingnya hanya untuk memberikan tatapan tidak percayanya bahwa Amir si cewek pisang ternyata sama saja dengan cowok ini. Sedangkan yang ditatap memberikan senyuman manisnya seolah ia sekarang sedang berhadapan dengan Kevin. “Oke, gue salah kalo gitu..” ucap Farel meninggalkan targetnya begitu saja. Sial sekali, cewek cantik itu yang dengan percaya dirinya datang ke sekolah dengan rambut dicat warna dusty pink adalah tipe idealnya. “Kalo nanti putus segera cari gue ya, Cantik.. nama gue Farel, tanya aja sama semua orang, mereka pasti tau gue.” Begitu Farel berlalu darinya, Amira menghapus senyum manisnya dan menggantikan dengan ekspresi datar serupa dengan yang Danis tunjukkan. Ia berjongkok untuk meraih bola voli yang mengenai kepalanya beberapa menit yang lalu dan tanpa pikir panjang langsung menghantamkan pada kepala Farel yang tidak jauh darinya. “Nice,” kekeh Danis melihat bahwa lemparan Amira benar-benar tepat sasaran. “Tanpa lo timpuk aja gue udah langganan remedi, dasar sialan!” pekik Amira yang sudah kembali pada akal sehat dan keberaniannya. Silahkan kalau cowok-cowok disini ingin main-main dengannya karena ia akan memastikan Kevin juga main-main dengan mereka semua. “Gue ga sabar nunggu lo putus,” kekeh Farel memegang belakang kepalanya kemudian meninggalkan Amira dengan kerlingan nakalnya. “Sialan!” “Sialan!” Baik Amira atau Danis kembali menoleh pada satu sama lain kemudian melotot. Tidak menyangka bahwa barusan mereka mengucapkan kata yang sama di waktu bersamaan. “Thanks,” ucap Amira tapi suaranya tertutupi oleh teriakan heboh seseorang. “Heh! Lo yang hari itu kurang ajar sama Divya ‘kan?” teriak Vano tidak terima kalau barusan teman baiknya malah menyelamatkannya dari Farel. “Divya?” tanya Amira mengulangi satu nama yang selama enam belas tahun hidupnya hanya ia dan keluarganya saja yang tau. Bahkan Kevin saja tidak pernah ia biarkan tau soal saudara kembarnya. “Serius lo? ini cewek yang waktu itu?” tanya Rehan yang tidak bisa percaya begitu saja dengan omongannya Vano. Si Tungau ini kebanyakan halunya dari pada sadarnya. “Sialan makanya lo jajan micin mulu, jadi lemah ‘kan daya ingat lo!” “Iya, kata orang yang daya ingatnya cuma untuk mengingat nama-nama anak satu sekolahan, kalo gue tanya siapa presiden pertama negara kita emang lo bisa jawab?” “Eh Tungau, pertanyaan lo ga ada yang lebih berbobot dari itu? Hatta lah.. Bapak Presiden pertama Indonesia itu Pak Hatta.” “Tuh.. tuh..” Amira mengutuk dirinya sendiri kenapa harus baper langsung hanya dengan mendengar nama Divya. Tentu sangat mustahil jika di dunia ini hanya Ayahnya saja yang menamai anaknya dengan nama itu. Kecuali Divya yang ada di sekolah ini adalah Divya Jacinda Amzari baru ia boleh baper. “Heh! Gulali, mau kemana lo?” teriak Rehan pada cewek yang telah ia putuskan untuk di jadikan pacar. “Gulali, katanya?” gumam Amira tanpa menoleh pada cowok-cowok mulut cewek itu. “Sialan gue ini marshmallow bukan gulali!” “Jadi cewek gue mau ya? Please?” Bener-bener deh, ini anak sekolahan emang pada sukanya sama bad girl apa ya? Sia-sia dong usahaku. Dengan langkah cepat Amira berbalik dan satu tujuannya adalah teman sebangkunya yang barusan sudah membantu dirinya untuk lolos dari jeratan preman sekolah yang tadi namanya kalau tidak salah adalah Rafel. Ia baru berhenti ketika ujung sepatunya beradu dengan ujung sepatu si cowok ganteng yang sayangnya sering sekali berpura-pura bisu. “Temen lo katanya mau jadi pacar gue, tolong bantu jelasin dong siapa pacar gue sama mereka.” “Kita udah harus gabung sama yang lain, Pak Guru udah nunggu!” ucap Danis yang tengah takut sekali dengan apa yang sepintas lewat di benaknya. Si cewek pisang benar-benar tidak boleh berada terlalu dekat dengannya seperti sekarang agar ia tidak melakukan hal-hal gila. “Oke,” ucapnya pada teman sebangkunya kemudian, “Kita pergi dulu ya,” kini kata-katanya ia tujukan pada cowok yang mengatainya gulali lalu memintanya untuk pacaran. Anak cowok sekolah ini memang tidak tau bagaimana caranya meminta seorang cewek untuk menjadi pacar tanpa menyakiti fisik atau perasaan cewek itu terlbih dahulu. “Mereka ga pacaran ‘kan, Mar?” tanya Vano pada Umar yang tempaknya paling mengenal cewek yang mengenakan seragam olahraga sekolah mereka dan berjalan lebih dulu dari Danis. “Mereka ga mungkin pacaran.” Rehan tidak rela kalau cewek incarannya malah pacaran dengan teman baiknya. “Lo bener, Danis lebih cocok sama Divya!”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD