2.7

1717 Words
Amira sungguh menginginkan ia dan Ayah untuk segera pulang, agar mereka bertemu Bunda. Pikirnya suasana hati Ayah pasti langsung bisa membaik kalau bersama Bunda tapi tidak bisa. Ia dan Ayahnya sedang duduk berhadap-hadapan dengan Divya Jacinda Amzari di dalam ruang BK legendaris Bina Bangsa, menunggu datangnya orang tua cewek yang Ayah kira adalah anaknya. Kehebohan yang terjadi di lapangan upacara memang mengundang perhatian banyak orang, apalagi sumber kehebohan bukanlah siswa atau siswi Bina Bangsa. Maka tak heran ruang BK yang awalnya sudah dikunci kembali dibuka. Yang sedikit tidak masuk akal di sini adalah kenapa pula Ayah harus masuk ruang BK-nya BB di saat  beliau tidak lagi berstatus siswa. Ingin Amira menggoda Ayahnya yang masih membuat onar di BB tapi ia tau momennya sangat tidak tepat. Lagi pula mana ada orang yang menggoda orang lain di saat wajahnya jauh lebih kacau dari wajah orang yang di goda. Yap, wajah Amira jauh lebih bengkak dari wajah Divya ataupun Ayah. Amira merasa hari ini peran ia dan Ayah jadi tertukar. Ia gugup setengah mati karena baru pertama kali mencoba menjadi walinya Ayah. Jika orang tuanya Divya nanti datang, Amira lah yang akan mencoba bicara dengannya, meminta pemakluman dari mereka. Hanya saja rasa gugup tersebut semakin lama berganti dengan perasaan nyaman yang disertai dengan beratnya kedua kelopak matanya dan kuap yang ia lakukan tiap dua menit sekali. Amira mengantuk. “Maaf, ya sayang.. Ayah janji setelah ini kita langsung pulang.” Amira membuka kedua matanya dengan susah payah, “Aku pulang ke kakek aja deh, Yah..” begitu katanya yang masih memiliki sedikit kesadaran agar tidak muncul dengan mata super bengkak di depan Bunda. Ingin mencoba tidur kembali Amira kemudian menyempatkan untuk menatap Divya yang tepat berada di seberang sofa yang ia dan Ayahnya tempati. “Permisi,” sapa seseorang yang berdiri di ambang pintu. Tubuhnya seakan mengeluarkan cahaya karena dia berdiri di tempat yang jauh lebih terang dari tempat Amira dan Ayahnya berada sehingga butuh beberapa detik sampai Amira bisa mengetahui siapa orang itu. “Papa..” sambut Divya yang sudah tiga hari tidak bertemu dengan Papanya tersebut. Si b******k Haris, ucap Amira membatin tapi ia tidak punya nyali untuk mengatai dokter bedah yang juga ponakan dari istri kakeknya itu. Beberapa kali ia sering bertemu dengan dokter itu di rumah kakek dan entah kenapa Amira tidak suka padanya meskipun dia diperlakukan begitu baik olehnya. Amira membenci pria itu tanpa alasan. Tapi tunggu.. “Yah, dia ga pernah menikah ‘kan?” tanya Amira yang kantuknya sudah hilang. Sadar omongannya membuat Divya di seberang sana terkesiap, Amira jadi ingat bahwa ia tidak sedang berdua saja dengan Ayahnya. “Anak haram dong, Yah?” bisik Amira di pangkal telinga Ayahnya. Yusuf Fairuz Amzari tidak bisa memiliki pemikiran yang sama dengan putrinya saat melihat Haris. Semua menjadi sangat jelas baginya. Haris memang bukan dokter kandungan yang membantu istrinya bersalin karena pria itu adalah dokter bedah. Sangat tidak masuk akal seorang dokter bedah dengan jam terbang tinggi justru bolak-balik ke rumahnya untuk meminta istri Ucup memberikan sebagian dari ASInya untuk bayi-bayi yang kehilangan ibunya. Namun menjadi sangat masuk akal karena pria inilah yang menyembunyikan putri mereka dan sialnya Yusuf Fairuz Amzari tidak bisa memikirkan ini selama hampir enam belas tahun lamanya. “Amira.” “Ya, Ayah.” “Tutup mata sama telinga kamu.” Amira langsung tau bahwa Ayah akan melakukan sesuatu yang tidak pantas dilihat apalagi ditiru oleh bocah seusianya. Itulah alasan kenapa Amira segera membawa kedua telapak tangannya untuk menutupi masing-masing telinga kanan dan kiri bersamaan dengan kelopak matanya yang ia tutup. Belum genap Pak Shadi keluar lima belas menit tapi saat ia kembali ke ruang BK ia menemukan Divya Jacinda Amzari yang menangis histeris karena tidak bisa memisahkan kedua orang tua yang bertengkar seperti remaja pada umumnya. Sementara anak baru dengan rambut pink malah menutup mata dan kedua telinganya, mengabaikan permintaan Divya untuk melerai kedua orang tua mereka. Kalau ada yang ingin tau seberapa kacau keadaan saat ini, orang tua dari Amira Queensha Amzari sudah duduk di atas tubuh dokter Haris dan terus memberikan pukulan pada wajah sang dokter yang sudah berlumuran darah sambil mengumpat. Divya Jacinda Amzari menangis histeris melihat papanya yang sudah dibuat separo mati oleh Ayahnya Amira, dia pikir sama seperti tadi, Amira sanggup membuat Ayahnya berhenti tapi Amira tetap saja menutup kedua mata dan telinganya, menyisakan Divya yang frustasi sendiri. Pak Shadi berlari menuju ruang mejelis guru dan meminta bantuan dari rekan-rekannya untuk memisahkan dua wali murid yang bertingkah layaknya bocah Bina Bangsa kebanyakan. Jika bocah Bina Bangsa biasanya berkelahi karena memperebutkan satu cewek, entah apa yang direbutkan oleh dua orang bapak-bapak ini, tapi yang pasti ia akan mencari tau. Empat orang guru honor berhasil memisahkan mereka berdua tapi ayahnya Amira masih saja sempat menendang d**a Dokter Haris. “b******k!” teriak Ucup yang sudah tidak bisa menggapai Haris. Iya, sebut Ucup kekanakan, tidak menyelesaikan masalah dengan akal sehatnya. Tapi coba saja kalian menjadi dirinya, sanggupkah kalian duduk berunding dengan dia yang memisahkan kalian dengan darah daging sendiri? Tiap malam Ucup selalu bangun demi mendoakan agar Divyanya senang di bawah himpitan tanah. Jika sekiranya Divyanya, putri tercintanya kedinginan ia mintakan Allah untuk memberi kehangatan. Jika tubuh mungil nan lemah itu merasa takut akan kegelapan, Ucup bersujud meminta agar Allah menerangi putrinya di kuburnya. Tidak sekalipun Ucup bisa tidur setiap hujan mengguyur bumi, pikirannya selalu membawanya pada putrinya yang mungkin akan kedinginan dan kebasahan. Tiap hari ia menyesali kenapa Divya tidak bisa menjalani apa yang kakaknya jalani. “Aku mau lapor polisi!” “Ya, tolong laporkan pada polisi,” ucap Ucup pada putrinya yang menatapnya benci, “Laporkan manusia hina itu pada polisi.” Divya mengabaikan kalimat provokasi yang pria itu ucapkan, secepat panggilan telfon tersambung, secepat itu pula ia mengadukan apa yang orang asing itu lakukan pada Papanya. Polisi yang saat ini ia hubungi adalah teman dekat Papa, mustahil beliau akan mengabaikan masalah ini begitu saja. Haris tidak pernah menyangka hari ini akan datang begitu cepat. Berhadapan dengan Yusuf Fairuz Amzari yang berdiri di depannya sambil menatap bengis. Detik setelahnya ia di terjang oleh suaminya Vani itu. Haris tebak, pria itu telah menemukan putri yang selama ini hidup sebagai anaknya. Dan ternyata benar saja. Enam belas tahun mengamati Ucup, Haris bisa melihat dengan jelas kalau pria itu adalah pria yang sangat penyayang. Tipe Ayah yang akan diinginkan oleh setiap putri di dunia ini, jadi mustahil ia tidak menggila saat menemukan putri yang selama ini selalu ia kunjungi makamnya, juga mustahil ia tidak bisa mengenali putrinya sendiri. Sudah pernahkah Haris katakan bahwa dulu itu ia sama sekali tidak berniat menculik putrinya Vani? Keadaan Divya yang terlalu rentan membuatnya melakukan hal nekat tersebut, Haris tidak ingin ada bagian dari Vani yang pergi meninggalkan dunia ini. Begitu besar ia mencintai Vani. Dua tahun pertama kelahiran Divya ke dunia ini adalah masa paling sulit baik bagi Haris ataupun Divya sendiri. Haris sempat ingin menyerah tapi ia malu pada semangat hidup Divya yang luar biasa. Divya Jacinda Amzari adalah anak paling kuat dan paling tabah yang pernah ia lihat, kebersamaan mereka juga kata Papa yang meluncur untuk pertama kalinya dari mulut mungil itu membuat Haris jatuh cinta. Ia ingin Divya memanggilnya seperti itu untuk waktu yang cukup lama. Satu tahun menjadi dua tahun, dua tahun menjadi lima tahun dan akhirnya sampai lah pada hari ini. Kalau saja ia bisa, maka Haris akan menunda lagi untuk menyerahkan Divya dengan orang tuanya. Pak Shadi sebagai guru paling senior di sini, di antara semua guru yang masih berada di sekolah sungguh tidak tau apa yang harus ia lakukan. Biasanya ia bisa memberikan skorsing untuk para siswa nakal atau memanggil orang tua mereka. Nah ini orang tua yang bermasalah, ia harus bagaimana? Mungkin memang hanya polisi yang bisa membantunya menyelesaikan permasalahan di antara dua orang tua siswinya ini. “Di..” panggil Haris pada Divya yang sibuk menangis seorang diri. Pukulan yang harusnya ia dapatkan sejak lama membuatnya kesusahan bahkan hanya untuk menarik napas. “Ya, Pa.. Papa kenapa? Boleh aku minta tolong Om Firman buat ngobatin Papa?” tanya Divya pada sang Papa. Selama ini mereka berdua hidup sebisa mungkin tidak menyusahkan orang lain. Papa hanya akan meminta bantuan keluarganya Om Firman jika ia memang tidak bisa memilih antara kerjaan ataupun dirinya. Haris menggerakkan tangan kanannya ke kiri dan ke kanan, menunjukkan bahwa Divya tidak perlu melakukan apapun. “Kamu tau siapa yang memukul Papa barusan? Yusuf Fairuz Amzari namanya, Ayah dari sepasang anak kembar Amira Queensha Amzari dan Divya Jacinda Amzari.” Divya menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mau mendengar omong kosong lainnya dari mulut sang Papa. Bagaimana mungkin dirinya bukan anak Papa? Papa sungguh mencintainya, Papa bahkan sempat kehabisan seluruh hartanya agar ia bisa sehat seperti anak kebanyakan. Papa juga yang menangis ketika ia mematahkan tangannya saat bermain sepeda bersama Aldi. Papa yang selalu bersamanya lalu apa-apaan ini? Haris mengelus puncak kepala Divya dengan sayang. Di cintai oleh anak ini dengan sepenuh hati adalah hal terindah yang pernah ia rasakan. “Pergilah, temui Bundamu.” “Ga mau!” Belum sempat Haris mengucapkan kalimat bujukan untuk Divya, temannya sudah datang. Ia mengangguk lemah pada sahabat karibnya itu kemudian menutup mata, mencoba mengabaikan tangisan histeris Divya saat tubuh babak belurnya di bawa oleh Bagus pergi. Ada tiga hal yang membuat putri kesayangannya itu menjadi-jadi tangisnya, Haris paham betul. Pertama ucapan Bagus yang menangkapnya untuk tuduhan penculikan, Haris memang sudah memintakan hal ini dari lama pada Bagus. Agar suatu saat nanti ketika waktunya telah tiba, Bagus menyeretnya menjauhi Divya dengan tuduhan keji dengan harapan Divya akan membencinya dan menerima keadaan yang sebenarnya kemudian hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Kedua, ia ditinggalkan dengan orang-orang yang masih sangat asing baginya. Dan terakhir, anak itu tau bahwa hari ini akan menjadi perpisahan untuk mereka berdua. “Gue bakal nanggung dosa besar kalau sempat anak ceria itu berubah menjadi pemurung.” “Dari dulu gue bilangin cari istri, cari istri, cari istri! Dari dulu juga gue bilangin supaya lo ngembaliin anak itu. Siapa gue, ya ‘kan? Siapa gue sampai lo bersedia dengerin omongan gue. Gue Cuma orang yang lo tunjuk dan lo kasih peran waktu sandiwara lo kebongkar!” ucap Bagas pada temannya yang tampak mengerikan. Kalau tidak ingat dirinya adalah aparat, sudah pasti ia balaskan satu atau dua pukulan pada Ayah dari anak yang selama ini hidup sebagai anak sahabatnya ini. “Sandiwara kepala lo!” Kembali ke ruang BK, Ucup tengah menahan Divya yang hendak berlari menyusul Haris. Amira sungguh ingin mengamuk melihat Ayah kesayangannya di pukul oleh Divya yang ingin dibiarkan untuk ikut ke kantor polisi. Tapi kalau ia marah dan membuat Divya takut, ia hanya akan semakin menyulitkan Ayah. “Pak boleh kami pulang?” tanya Amira pada Pak Shadi. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini, Amira?” tanya Pak Shadi kebingungan. Satu sudah di seret polisi satu malah ingin pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD