1.6

1728 Words
Aldiansyah Umar bergegas menuju ruang keluarga setelah menyelesaikan makan siangnya dengan terlebih dahulu mengganti baju namun di sana Dita sudah duduk bagai raja yang siap digulingkan dan tersenyum miring padanya. Adiknya dan segala kesukaannya terhadap kartun Spongebob, busa kuning menjijikkan yang kerjaannya hanya cekikikan di Bikini Bottom. Aldi mengerang dan mengepalkan kedua tangannya, kenapa dalam enam belas tahunnya dan selama ia mengenal apa itu film kartun, ia selalu menatap spons cuci piring yang sudah jamuran itu??? Dita selalu mampu menguasai remote TV karena punya Mama dan Papa yang akan selalu membelanya, karena dia adik. Sedangkan Aldi yang tidak pernah ingin dilahirkan sebagai kakak adalah orang yang harus disalahkan atas setiap pertengkaran meskipun sang kakak justru adalah korban.  “Muka A' Aldi biasa aja dong! Ini bukan hari minggu jadi ga ada doraemon kucing kampung kesukaan Aa',” ucap Dita pada kakaknya yang ia panggil dengan sebutan aa. “Iya.. yang ada cuma si i***t kuning ‘kan, Dit? Eh dia punya otak ga sih, Dit?” Dita merengut dan memandang kembali ke arah layar TV dengan kesal, kenapa tingkah Aa’ sama sekali seperti Squidward, ya? Sangat benci pada Spongebob padahal Spongebob hanya bocah polos yang selalu bahagia akan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidupnya. “Kalian kenapa ga bosan sama kartun yang udah diulang ratusan kali, sih? mending kita nonton drama Kor...”  “...Ini lagi si ratu drama, ga cukup apa aku perangnya sama Dita aja? Kamu pengen rebutin remote TV sama kami juga?” tanya Aldi malas, ia menghempaskan diri tepat di samping Divy kemudian mendorong dua cewek rempong tersebut dengan bahunya sehingga keduanya tumbang. “Aldi!!!!” “Aa!!!!!” Keduanya serentak meneriakkan kekesalan mereka pada Aldi kemudian menjaga jarak dari si dia yang tidak tau diri kalau badannya itu berat yang suka menghempas manja-kan tubuhnya pada siapapun. Aldi mengancam akan merebut paksa remote TV jika Dita masih belum menyerahkan benda itu dengan tanpa perlawanan padanya. “Tapi A’, ini Spongebob the movie,” “Cepat Dit! Kaya yang kamu  pernah peduli aja waktu Aa’ nonton Doraemon the movie,” ucap Aldi yang sudah mengulurkan telapak tangannya meminta remote TV dari adiknya. Kemudian Divya yang sudah tahu bahwa adik temannya ini memang brutal tak bisa berkata apa-apa melihat Dita lebih memilih mematahkan remote yang panjangnya kira-kira lima belas centi meter cm itu dengan kedua tangan dan bantuan paha.  “Mamaaaa..... Dita matahin remote nya lagi,” teriak Aldi menggelegar, mengadu pada sang Mama. Dita yang memang sudah kesal pada kakaknya hanya tersenyum jahat. “Loh.. remote nya ada di tangan Aa’, menurut Aa’ Mama percayanya sama aku atau sama Aa’ ya?” tanya Dita penuh kemenangan segera setelah melemparkan patahan remote TV itu pada sang kakak. “Sini kau!!!” teriak Aldi dengan logat sumatera khas Rehan kemudian mengejar sang adik meninggalkan Divy yang punya akses untuk TV seorang diri. “Ini gunanya ponsel,” ucap Divy menggunakan ponselnya sebagai remot. Ia yakin beberapa menit kemudian akan terdengar pekikan kesakitan Dita ataupun Aldi, tergantung siapa yang menang. “Hhuh.. Papa kapan pulang si?” ucapnya yang sudah merasa kesepian karena Aldi dan Dita akan butuh waktu lama untuk bertengkar. >>>>  Kepin: Beb.   Kepin: Bebiiii.   Kepin: Perasaan aku ga bikin salah apa-apa deh.   Kepin: Kamu beneran bakal patuh sama perintah Ayah?   Kepin: Sayang..   Me: Apaan sih, Kev, ga jelas deh!   Kepin: Makanya chat aku tuh dibalasin bukan dianggurin.   Me: Ada Ayah di sini, sabar lah.   Kepin: Bilang ke Ayah kalo mantan pacar kamu kirim salam.   Kepin: Tuh tuh.. Kamu nyuekin aku lagi tau ga?   “Simpan ponsel kamu Amira... selalu saja tiap Ayah lihat kamu, kamu megang ponsel,” ucap Ayah saat Amira ingin mengetikkan balasan untuk Kevin. Ayahnya ini memang cowok paling peka di dunia, the best lah. Sampai-sampai ia tidak bisa berkutik. Ini ga balikan loh ayahku, cuma balasin pesan mantan. “Ayah ngapain ngawasin Amir begitu? Takut Amir pacaran lagi?” tanya Amira pada Ayahnya yang berdiri di ambang pintu kamar. Masa ia harus membalas pesan Kevin di kamar mandi? Atau Amira harus keluar komplek dulu baru boleh balasain pesan si Kevin lucknut? Ini mumpung dia chat Amira mau tanya soal si cewek sok cantih nih. “Memang salah kalo Ayah liat keadaan putri kesayangan Ayah? Kamu ini... sana bantu Bunda masak tumis kangkung!” Amira melongo pada Ayahnya, numis kangkung dibantuin?? Bikin rendang, Yah, baru dibantuin. Ayah ih.. namun begitu Amira tetap bergerak sesuai perintah dan lihat saja nanti, ia akan mengadukan pada Bunda bahwa Ayah lagi-lagi kepo dengannya, suka menyuruh yang ga jelas, dan masih curigaan. “Ponselnya ditaro, sayang... atau Ayah bantu simpan?” “Oh..” Amira menatap gawai di tangan kirinya, “Iya Ayah sayaaaang.., Amiruddin taro dulu hapenya, sekalian dikunci supaya privasi terjaga dengan aman.” “Amiruddin???? Amira kamu benar-benar –heiii.. Kesini kamu! Ayah belum selesai ngomong sama kamu!” teriak Ucup namun anaknya sudah kabur dengan tetap membawa ponselnya. Benar-benar... Kenapa ia harus diberi anak yang menjengkelkan persis seperti dirinya dulu?? Amira yang ngos-ngosan menemukan Bundanya sedang duduk manis ditemani martabak keju dan juga jus sirsak. Anak ini mendecih senang, ternyata kelakuan abstrak Ayahnya barusan cuma agar dia ikut menyantap martabak kesukaan Bunda. Duh kenapa punya Ayah susah sekali mengekspresikan diri? Kan tinggal bilang  gini, “Ayah belikan martabak kesukaan kamu sama Bunda loh, ayo kita makan sama-sama.” “Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Biasanya kesal terus sama Ayahnya.” “Engga ya Bund, aku sayang sama ayah. Ayahku satu-satunya tuh Bund,” ucap Amira dengan senyum mautnya. Vani terkekeh mendengar ucapan sang anak, mendengar ucapan anak mereka yang menyayangi Ucup lebih membuatnya bahagia ketimbang mendengar ucapan sayang Ucup padanya yang kadang-kadang hanya modus agar dirinya mendapatkan bonus.  “Hmm... enak ya Bund, makin enak karena yang beliin Ayahku yang ganteng itu tapi agak cerewet.” Vani mencibir, kedua orang di rumah ini, anak dan suaminya memang mudah sekali untuk memuji satu sama lain dan tidak lupa juga memberikan kelemahan orang yang mereka puji di akhir kalimatnya. Vani tidak menyangka putrinya sudah sebesar ini, ia dan Ucup melalui begitu banyak hal untuk membesarkan Amira. Tiap harinya selalu menjadi hari yang spesial sejak enam belas tahun yang lalu.   Me: Jangan rusuh, Kev!! Nanti hapeku disita Ayah kamu belikan yang baru!   Kepin: Asal kamu terus kabarin aku aja.   Me: Ada martabak nih, Kev, mau?   Kepin: Aku kenyang kalo kamu kenyang, ya udah.. lanjut makan dan jangan lupa nanti kabarin aku soal kapan kita bisa ketemu, aku udah kangen banget sama kelakuan kamu.   Me: Ga bisa, Kev.. aku udah ada pacar baru.   Kemudian Amira mematikan ponselnya dengan senyum lebar, Kevin pasti kesal setengah mati saat ini. Biarlah.. kapan lagi ‘kan? Membuat Kevin uring-uringan. “Sayang..” panggil Vani pada anak gadisnya yang sudah tenggelam dengan camilan siangnya, putri kesayangan Ucup ini bahkan tidak sekalipun mengangkat kepalanya sejak menekuni martabak dan jus yang ia berikan. Beruntung gadis ini tidak seperti dirinya yang mudah gendut. “Iya, Bund?” “Om Rian bil-” “Om Rian kok kayak banci sih ngadu mulu kerjaannya sama Bunda?” ucap Amira ketus. Dan dalang kenapa Om Rian Gastiadi Bahir menyinyiri Bunda yang berakibat ia juga dinyinyiri Bunda adalah si sok cantik Afika Dyatmika Bahir. “Sayaaang, Kamu ‘kan Kakak, masa ribut terus sama Fika.” “Aku Kakak untuk Divya Jacinda Amzari aja ya Bund, jangan nambah-nambahin. Kecuali kalo bunda mau hamil lagi ga apa-apa, aku siap jadi Kakak betulan.” “Tapi ‘kan tetap aja kamu lebih tua dari Fika.” Vani sungguh sudah sangat terbiasa dengan cara Amira bicara, makanya ia mengabaikan saja bagian yang dirinya ingin hamil lagi. “Dan Tetap aja dia bukan anak Ayahku, dia lahirnya juga ga lewat perut Bunda, eh maksudku ga lewat anunya Bunda. Malas ah, dia itu musuh aku tau ga sih Bund?” Hilang sudah nafsu makannya gara-gara keluarga satu itu. Amira bukannya tidak tau kalau Papa Fika itu pernah membuat Bundanya patah hati. Punya prestasi apa sih Om Rian sampai bisa membuat Bundanya menangis? Mana muka Om itu biasa aja, sama persis tuh kayak muka anaknya yang pas-pasan tapi pasang target selangit, sok-sok an mau gebet Kevin lagi.. ga ngaca apa? Kalau ia bisa datang ke masa lalu maka akan Amira pastikan kalau Bunda lebih dulu bertemu Ayah daripada Om Rian. Sayangnya di dunia ini mesin waktu hanya bisa ditemukan di film ataupun cerita fiksi. Bunda juga nih, ada yang salah sama kepala Bunda sebelum beliau bertemu Ayah. Masa suka sama Om Rian yang mudanya itu gendut banget. Gini ya.. kalo di gandeng foto muda Ayah dan Om Rian ya jelas Ayah menang jauh. Ayahnya ganteng, baik dan sama sekali bukan preman apalagi playboy. “Ini kenapa diam-diaman?” tanya Ucup pada anaknya yang sudah memasang wajah jeleknya. “Ini nih Yah.. si Pikacu ngadu lagi sama bapaknya terus bapaknya ngadu ke Bunda dan barusan Bunda berencana marah sama aku.” “Bunda ga marah, Amira..” “Ya terus apa dong?” tanya Amira mencebikkan bibirnya. “Fika kenapa lagi? Bukannya Ayah udah mutusin Kevin buat kamu? Dia bebas dong deketin bocah itu sekarang?” “Apa?” Vani menghela napas, pasti panjang nih urusannya. Ucup selalu tidak bisa merahasiakan apapun dari Amira. Atau suaminya ini memang sengaja mengucapkan rahasia antara mereka dan Fika. “Ayah jelas keceplosan ‘kan Bund, barusan? Ayah pilih aku pindah ke Kartu Keluarga the great Teja Mahardika atau ayah bongkar semua rahasia ayah sekarang juga!”  “Kamu berani?” tanya Ucup melotot pada putri semata wayangnya. “Kenapa engga? Aku bener-bener bakal jadi ratu kalo jadi-” “Oke.. Oke. Anak Ayah ga akan masuk Kartu Keluarga siapapun. Paham kamu Queensha?” “Jadi? Apa hubungan putusnya aku sama anaknya Om Rian cinta pertamanya Bunda itu?” “Bisa kita tidak menyebutkan kalo Rian  itu adalah cinta pertama Bundamu? Siapa yang peduli sama cinta pertama? Cinta pertama itu omong kosong.” “Bunda nonton TV aja deh, pusing Bunda kalo Ayah sama Kakak udah mulai debat lagi. Nanti susulin Bunda kalo udah pada lapar ya..” ucap Vani undur diri, belakangan ia memang sering sekali pusing. Entah karena ia mengidap penyakit tertentu atau telinganya sudah tidak sanggup mendengar suara nyaring dari anak dan suaminya lagi. “Jadi, Ayahku sayang. Apa Fika jalang sialan itu yang bocorin sama Ayah kalo aku dan Kevin pacaran?” tanya Amira tidak terima, masa Fika sih dalang kenapa ia bisa putus? “Sayaaaang, kenapa kamu cerdas sekali? Harusnya kamu juga secerdas ini kalau belajar di sekolah.” “Ayaaaah... ini ga adil! Aku ini anaknya Ayah atau justru si jalang sialan sok cantik yang anaknya ayah?” “Jangan lagi pakai kata jalang ya, Queensha! Dia ngadu ke Ayah juga karena pas ngadu ke papanya dia dicuekin. Apalagi papanya malah bela kamu!” “Salahnya apa? bukannya bagus kalo aku dibelain Om Rian?” “Anakku.. kamu ga lihat salahnya disana? Kamu anak Ayah, anaknya Yusuf Fairuz Amzari. Jadi Rian ga punya hak untuk belain kamu.” Ucup pikir putri cantiknya itu sudah tau sekarang. Buktinya ia terdiam. “Rian bilang sama anaknya bahwa bagus kalo cowok yang ditaksir anaknya itu pacaran sama kamu. Jadinya Fika bisa fokus belajar. Ga bisa gitu dong kan? Justru biar Fika aja yang pacaran dan kamu fokus belajar!” Napas Amira memburu mendengar cerita dibalik tragedi putusnya ia dan Kevin, napasnya memburu dan kepalan tangan kanannya membentur meja makan. “Bundaaa.... aku udah lapar nih! Aku mau makan yang pedas-pedas,” teriaknya kemudian menunjukkan muka kesalnya pada sang Ayah. “Ayah tau kamu pasti mau ngucapin makasih, ga usah.. untuk anak Ayah mah Ayah bakal lakuian apa aja.” “Buuund!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD