3.4

1650 Words
Tolong satu saja di antara kamu semua menanyakan bagaimana cara Amira dan Divya bangun pagi ini setelah tidur di antara kedua orang tuanya dengan Nenek berada di tengah-tengah mereka. Plis tanyakan karena mulut Amira sudah gatal ingin bercerita. Pagi ini seperti biasa Nenek bangun lebih awal. Bagaimana Amira bisa tau? Karena ketika ayah berhasil membangunkannya dengan memencet ujung hidungnya, Amira sudah tidak menemukan Nenek di kamarnya. Dan ya, begitulah cara Ayah membangunkan Amira, dengan menutup kedua lubang hidungnya sementara Divya dibangunkan dengan cara yang lebih manusiawi oleh Bunda. Tapi tenang saja karena Amira sudah memaafkan Ayah karena beliau memberinya ciuman di pipi. Ayah memang Ayah paling manis di dunia. Setelah memakai bedak bayi di wajahnya –tidak ada lagi mascara dan liptint tentu saja, dan memastikan semua buku yang ia perlukan hari ini sudah berada di dalam tas, Amira langsung keluar dari kamarnya. Amira menghentikan langkahnya begitu pintu kamar tertutup dengan agak kasar, karena Divya juga keluar dari kamarnya di waktu yang bersamaan. Amira dan Divya sedang berada dalam fase renggang yang sepertinya akan menuju bertengkar sejak semalam. Mereka memang tidak saling berteriak seperti yang selalu Amira lakukan dengan Afika dan mereka masih bicara seperti kemaren. Hanya saja Amira merasakan ada semacam ketegangan di antara mereka tiap kali berhadapan dan berbicara dengan Divya yang lebih memilih Om Haris dibanding Ayah. Mumpung Divya juga mematung sambil melihatnya, Amira mendekati nya dengan langkah ringan. Dengan memasang senyum lebar tentu saja. “Divya Jacinda Amzari,” ucap Amira mengeja name tag pada seragam saudaranya itu. “Kamu tau, Div? Kita bukan sekedar anak kandung Ayah. Kita bagian dari Ayah. Memang benar kita tidur nyenyak dalam perut Bunda sebelum dilahirkan tapi.. jauh sebelum itu, Ayah yang nyimpan kita. You know what I’m saying? Kita ini sperm*nya Ayah.” “Aku pikir cara kamu memulai pagi sangat-sangat tidak manusiawi. Bagaimana mungkin kamu menyebut sesuatu seperti itu?” “Begini caraku memulai pagi, dan kamu harus terbiasa wahai kembaranku. Dan Divya Jacinda Amzari.. sperm is science, ga ada yang salah dengan kita yang membicarakannya sepagi ini atau bahkan menjelang tidur. Yang salah adalah kalau kamu main-main dengan sperm*. Aku lebih kejam dari Ayah jadi jaga pergaulan kamu, adikku sayang.” Divya menatap punggung Amira yang mulai menuruni anak-anak tangga dengan perasaan tertekan. Pagi tidak seharusnya diawali dengan kata-kata semacam itu, percayalah. “Cepat, Di.. atau Ayah akan mengomel.” “Hm..” gumam Divya mengikuti jejak Amira. “Apa yang membuat kalian begitu lama?” tanya Ucup yang berdiri di anak tangga terakhir sambil melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Seingat Ucup, semalam Amira sempat memberi tahunya kesamaan pertama yang mereka temukan, mereka tidak butuh waktu lama untuk mandi. “Aku ngasih tausiah dulu sama Divy,” ucap Amira riang. “Tausiah semacam?” “Semacam jangan coba-coba main-main sama cowok? Ayah tau apa alasannya? Karena Ayah akan membuat mereka putus, sama seperti aku,” jawab Amira penuh percaya diri. “Ah ya, kamu sudah dengar kisahnya Di?” tanya Ucup pada putri yang penampilannya lebih terlihat seperti anak sekolahan. Sedang Amira justru terlihat seperti akan manggung di majalengka dengan rambut pink nya itu. “Kisah?” “Ya, kisah tragis pacar pertama.” Kemudian selama sarapan, Ucup memulai kisah yang kita semua sudah sangat hapal. >>>  Divya mengikuti semua yang Amira lakukan pada Ayah. Biasanya Divy hanya menyalami tangan Papa tapi pagi ini untuk pertama kalinya ia mencium pipi Ayah sebagai balasan karena telah mendapatkan ciuman di puncak kepalanya. “Have a nice day, sayang,” ucap Ayah padanya. Sedang untuk Amira, Ayah mengatakan ini, “Jangan bikin masalah, Amira!” dua kalimat itu terasa sangat jauh bukan? Divya jadi sangat ingin tau bagaimana Amira di sekolah. Dan bicara soal Amira, kenapa dia mengikuti Divya ke gedung Utara? “Aku pikir kamu anak Selatan.” “Ya, dan aku sangat sangat bangga menjadi Selatanian.” “Selatanian terdengar sangat sangat konyol Amira, lalu apa yang kamu lakukan di sini?” Lalu apa? Selataners? Tanya Amira dalam hati. “Mengantar kamu. Aku punya tanggung jawab baru sekarang, ingat? Adikku yang cantik pasti menyita banyak perhatian. Dan biarkan aku melindungi kamu dari cowok-cowok bodoh itu.” Divya memutar bola matanya, membiarkan Amira melakukan apapun yang dia pikir perlu. Semakin lama Amira bicara dengan dirimu yang terus meresponnya, semakin tidak bisa dimengerti apa yang saudara kembarnya Divy itu katakan. Di tangga zig-zag ke-tiga, Divya bertemu dengan Aldi yang menunggunya sambil bersandar pada dinding. Satu kaki temannya itu tumpukan pada dinding, dan kita semua tau bahwa hal itu bisa membuat dinding sekolah mereka kotor. “Kakinya, Di,” ucap Divy yang dibalas dengan decakan tidak senang dari Aldi. Diam bersama Divya selama beberapa menit, Amira kemudian mengangkat kepalanya ketika sang adik bicara tapi bukan padanya. Amira menemukan saudara seperjuangannya di sana yang menatap Divya bosan. “Tunggu,” ucap Amira yang membuat dua orang itu menghentikan langkahnya untuk kembali memanjat anak tangga. “Apa barusan gue ga salah liat? Lo ngebully adek gue? Bawa buku lo sendiri!” kemudian Amira melihat name tag pada seragam si bully di bagian d*da sebelah kanan, “Aldiansyah Umar!” Dan apa-apaan pula Divya Jacinda Amzari ini? Kenapa dia malah berterima kasih pada Aldiansyah? “Lo lupa gue?” tanya Aldi pada Amira. “Gue cuma sering lupa nama orang.” Amira tersinggung dengan jenis pertanyaan seperti ini. Oke ia akui kalau dirinya memang lemah di bagian mengingat tapi hanya bagian mengingat nama orang dan mengingat pelajaran. Bukti nyatanya adalah ia yang selalu menyebut Farel, orang yang mengganggunya dulu, dengan Rafel dan bukti otentik lainnya adalah Amira yang selalu remedi. “Tunggu, kalian sudah saling kenal? Siapa suruh kalian kenalan?” tanya Divya yang sama sekali tidak suka dengan ide Aldi yang akan menjadi temannya Amira juga. Aldi adalah miliknya. Mungkin ini terdengar sangat tidak Divya Jacinda Amzari tapi tetap saja, Divy tidak mau berbagi sahabatnya sekalipun dengan kembarannya sendiri. “Ya, kami semacam saudara jauh.” “Kamu bukan saudara jauhku, Di!” ucap Divya galak. Kenapa dua orang terdekatnya –satu memang orang yang sudah sangat dekat dengannya sejak kecil sedang satunya lagi, fakta berbicara bahwa mereka memang sedekat itu, membuatnya memulai hari dengan perasaan tidak enak seperti ini? “Saudara seperjuangan untuk menghadapi remedi, puas?” tanya Aldi kesal. Amira terkekeh dalam hati. Apa ini? Divy bukannya langsung melakukan apa yang ia larang secepat ini bukan? Amira akui selama ini ia selalu melakukan apa yang Ayah larang di detik pertama setelah Ayah selesai bicara. Jadi.. apakah sekarang ia menerima semacam karma? “Apa lo suka adek gue? Karena gue tau kalau dia belum pernah pacaran dan ga akan gue sama Ayah ijinin buat pacaran.” “Lo gila?” pekik Aldi pada Amira yang sudah ia tau namanya meskipun belum pernah berkenalan secara langsung. “Gue bisa lebih gila dari ini kalo lo terus aja mepet adek gue.” “Gue ga suka adek lo!” Aldi menatap Amira seolah Amira ini makhluk aneh yang selama ini tidak pernah ditemukan di bumi bagian manapun. “Di, kenapa kamu ga jelasin siapa aku sama kakak posesif kamu ini?” “Di! Posesif bukan kata yang anak sekolahan bebas untuk sebutkan.” Kenapa aku merasa semuanya jadi sangat tidak normal pagi ini? Tanya Divya membatin. Aldi mendengus, ia mengulurkan tangannya pada Amira membuat langkah Divya terpaksa berhenti. Kalau saja Divy tidak cepat tanggap mungkin dadanya akan menabrak lengan sahabatnya itu. “Gue Aldi atau lo mau panggil Umar juga boleh. Gue sahabatnya Didi.” “Dan tenang aja, gue ga suka adek lo,” tambah Aldi meyakinkan Amira yang kini sudah menjabat tangannya. Amira melepaskan tangannya dari Aldi. “Keren, gue suka gaya lo,” ujarnya. “Oh jadi kamu ga suka aku.” “Bukan suka yang kayak Vano ke kamu,” bisik Aldi ke telinganya Divya. Tidak ingin Divya mendapat masalah karena ternyata ia punya kakak yang bertingkah seperti orang tua pasca kemerdekaan. Meskipun tidak pernah tau apalagi membaca bagaimana semacam artikel mengenai orang tua pasca kemerdekaan, setidaknya Aldi tau bahwa di zaman itu semua orang masih sangat menganggap kalau pertemanan antara seorang cewek dan seorang cowok adalah hal yang sangat tabu. Setabu berpegangan tangan di depan umum, hal yang sering Aldi lakukan bersama Divya. Bisikan Aldi membuat Divy merasa ingin mengamuk tapi ia ingat di mana ia berada. Tidak ingin menyita lebih banyak perhatian Divy memilih untuk diam saja. Kini dia sudah berada di depan kelasnya, Divy menoleh pada dua orang yang mengantarkannya sampai ke kelas, hal yang benar-benar baru pertama kali ia alami. “Ini kelasku,” ucapnya sambil menatap Amira. “Oke, kalau ada yang jahatin kamu, kamu tau dimana nyari aku bukan?” Astaga, siapa memangnya yang akan melakukan hal itu padanya? Tapi tetap saja Divya memberi anggukan pada sang Kakak. Dalam hati ia bertanya, mana Amira yang semalam berkata bahwa ia tidak akan bersikap seperti seorang kakak karena mereka lahir hanya berselisih beberapa menit saja? “Nanti ngantin bareng aku.” Ini Aldi yang bicara. “Oke,” ucap Amira. Didi cowok dan Didi cewek menganga mendengarnya. Omongan Aldi barusan hanya ditujukan pada Divya jadi kenapa Amira malah ingin ikut ngantin dengan mereka? Sementara itu Amira geram melihat ekspresi tidak terima yang tercetak jelas di wajah sepasang sahabat itu, maksud Amira adalah ia setuju. Kenapa? Karena dirinya tidak bisa mengawasi Divya selama di sekolah jadi ide Aldi yang ngantin dengan Divya bisa ia terima. Sekalian Aldi melindungi adiknya dari siapapun yang berniat jahat padanya. “Dengan syarat sebagai berikut: Jaga jarak, jaga tangan lo dan jaga bibir lo,” ucap Amira pada Aldi. “Memangnya apa yang bisa tangan sama bibir gue lakuin selain makan?” tanya Aldi kesal. “Lo bakal kaget dengan apa aja yang bisa tangan dan bibir lo lakuin.” Dan apa yang bisa Aldi lakukan hanyalah menatap Amira Queensha Amzari dengan tatapan yang tidak terdefinisikan. Aldi menjadi sangat bernafsu untuk mengkremasi kembaran sahabatnya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD