1.5

1622 Words
Aldi atau yang lebih asik dipanggil Umar mengecek ponselnya, sementara satu tangan lagi ia taruh di stang motor. Beberapa detik kemudian ia menurunkan standard motornya kembali karena pesan yang barusan ia baca. Dahinya menunjukkan ekspresi heran karena Divya  meminta pulang bareng, ini benar-benar terasa seperti peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, seperti komet Halley yang hanya bisa terlihat dari bumi setiap tujuh puluh enam tahun sekali.   Kembaran: Di.. Aku ‘kan pulangnya ke rumah kamu, kita pulang samaan aja ya? Me: Kamu demam ya??? Kembaran: Engga ih, aku cuma kehabisan uang karena  tadi fotocopy LKS biologi satu kelas aku yang tanggung.   Maksud hati Aldi mengatai Divya demam adalah untuk mempertanyakan tingkahnya yang tidak biasa eh malah dianggap serius oleh gadis itu. Ia geleng-geleng kepala kemudian meminta kembarannya itu agar segera menyusulnya ke parkiran kalau tidak mau ditinggal. Kenapa ia menyebutnya kembaran karena mereka tumbuh bersama dan panggilan kecil mereka pun sama, Didi. Divya datang dengan ngos-ngosan dan langsung naik di jok belakang Aldi namun teriakan serempak segerombolan cowok membuatnya cepat-cepat melompat turun. Ia kaget sekali dan tidak pernah semalu ini, lagipula dari mana asalnya semua cowok-cowok itu??? “Ckckc, kaget aku, Di! Cepat naik! Kamu yang jatuh aku yang dimarahi Mama tau, tolong ingat kalo tubuh kamu itu milik berdua. Kamu sakit aku jadi lebih sakit!” gerutu Aldi yang untung saja tadi kedua tangannya sudah tidak memainkan ponsel lagi, kalau tidak sudah dipastikan ia akan rubuh bersama motor kerennya. Aldi tidak peduli dengan Divya yang tidak terbiasa dengan teman-temannya yang berisik karena ia sudah harus pulang. Aldi tidak ingin Dita lebih dulu sampai di rumah dan memonopoli TV, ia harus menonton pertandingan bola yang ia lewatkan beberapa hari yang lalu karena ada ulangan harian keesokan harinya yang tetap saja tidak tuntas, sialan memang, makanya Aldi tidak ingin didahului oleh adiknya itu. “Ta-tapi-” “Satu.” “Iya iya.. Ga usah satu dua tiga segala,” ucap Divya dengan wajah tertunduk,  menulikan telinga dari sorakan yang semakin semarak. Sial sekali dirinya hari ini dan itu semua tentu saja berkat Aldi. >>>  “Anakku mana, Cha?” tanya Ucup pada ibu dari anaknya. Wanita yang makin kesini semakin cantik saja di matanya. “Kalo akur aja anak kamu, nanti kalo kalian musuhan dia jadi anakku,” ledek Vani pada suaminya yang sengaja pulang untuk mengecek keberadaan sang putri langsung. Amira beruntung memiliki suaminya sebagai Ayah karena setahu Vani tidak ada seorang ayah di dunia ini, satupun, yang akan mau pulang dari kantor hanya untuk mengecek apakah anaknya sudah pulang sekolah dan apakah terjadi sesuatu selama di sekolah pada sang anak karena dia tidak bisa bersama putri kesayangannya itu setiap waktu. Ucup terkekeh, ia mendekati istrinya kemudian mengangkat dan mendudukkan sang istri di atas lemari setinggi pinggang orang dewasa, tempat menaruh semua piala yang putri mereka dapatkan. Sekarang Ucup dapat melihat kecantikan istrinya dari dekat, sekalipun ia tidak pernah bosan menatap wajah Echanya. “Lembaga sensor TV pada cuti kali ya? Kenapa biarin live show suami istri di ruang terbuka?” celetuk Amira dengan ransel yang disampirkan di bahu kiri sementara bahu kanannya yang tidak menyangga apa-apa menempel di pintu dengan telapak kaki kanan berada di atas punggung kaki kiri. Dua kancing teratas seragamnya juga sudah terbuka. Persis preman sekolah. Ucup menggeram mendengar sindiran sang anak, memangnya pertunjukan apa yang sedang anak mata keranjangnya itu lihat? Ucup hanya menatapi istri yang ia rindukan karena sudah tidak pulang dua hari, apa salah? Iya sih dua hari ini Ucup pulang, sebentar saja setelah melihat putri kesayangannya masih bahagia dan ceria seperti biasa. “Queensha masuk kamar kamu!” “Kenapa?” “Ayah mau ada live show sama Bundamu di sini,” ucap Ucup kesal. “Ayyyyyaaaaaaaaaaahhhhhhhhh!” “Siapa suruh kamu pakai seragam seperti itu? Kamu bukan anak cowok ya! Pasang lagi ga kancingnya!!” Amira melupakan kekesalannya karena ucapan Ayah barusan kemudian menunduk untuk memeriksa penampilannya. “Ga keliatan apa-apa kok, Yah,” ucapnya melapor pada sang Ayah. “Siapa peduli keliatan atau engga! Kamu itu cewek, sekali lagi kamu itu c. e. w. e. k. makanya Ayah kasih nama Queensha. Pasang seragam kamu betul-betul!” “Sudah sudah...  Amira ganti baju dulu, Ayah juga ganti baju! Bunda tunggu di meja makan,” ucap Vani meninggalkan dua orang yang kembali membuat rumahnya terasa hidup.  Rumah terlalu sepi tanpa kedua orang tersebut dan sekarang Vani merasa sudah tidak ada yang janggal di rumahnya. Semuanya sudah normal sekarang. Dari arah dapur, Vani masih bisa mendengar pertanyaan suaminya pada Amira tentang kesulitan apa saja yang anak mereka alami selama bersekolah di BB. Kali ini keduanya bicara normal seperti ayah dan anak pada umumnya. Nah lo, kenapa mereka selalu jadi berbaikan saat ditinggal pergi oleh Vani? Itu Amira pasti sudah mengancingkan kedua kancing seragamnya dengan benar, kalau tidak mana mungkin suaminya bicara dengan nada biasa pada putri mereka. “Ada Pak Fadli yang langsung sayang sama aku karena aku cucunya Bu Dian Lestari, Yah.. Nenek emang the best.” “Ga usah sayang-sayang segala, nanti Ayah cari guru satu itu.” “Eh jangan dong!!!! Bapaknya bukan sayang yang kaya sayangnya Kevin sama aku, Yah. Intinya.. Pak Fadli senang waktu tahu aku cucunya Nenek.” “Oke, tapi jangan sebut Kevin lagi, ‘kan kemaren sudah Ayah putusin.” “Iya iyaaa.. yang ditembak aku, yang terima aku, yang pacaran juga aku eh yang mutusin Ayahku. Ayah emang ga ada duanya.” Makin lama suara suami dan anaknya semakin terdengar jelas oleh Vani dan benar saja, keduanya muncul di meja makan dengan tanpa mengganti baju sama sekali. Benar-benar tipikal ayah dan anak keras kepala. >>>  Divya tersenyum sambil melihat punggung Aldi yang tepat berada di depannya. Kedua tangannya pun dengan nyaman melingkar di pinggang temannya itu sedang Aldi tidak banyak bicara saat motor mereka masih diiringi oleh teman-temannya yang menyoraki mereka berdua waktu di parkiran tadi. Sorakan mereka bahkan tidak berhenti sampai sekarang, apalagi ada diantara mereka yang melihat di mana posisi tangan Divya dan memberi tahukan hal itu pada yang lainnya sehingga jalanan hari ini terasa begitu bising bagi Divy. “Jangan dilepas, aku bisa dimarahi Mama kalo nanti kamu jatuh,” ucap Aldi saat Divya hendak melepas tangannya. “Kamu sempat lihat temanku yang protes karena aku dipeluk kamu tadi?” tanya Aldiansyah Umar kembali cerewet ketika hanya berdua saja dengan teman kecilnya. “Engga,” balas Divya. Dia juga tidak ingin tau. Teman Aldi seperti preman pasar semua, kata-kata mereka juga tidak pernah disaring dulu sebelum diucapkan. “Besok aku kasih tunjuk, namanya Vano dan kayaknya suka sama kamu,” teriak Aldi sebelum terkekeh geli. Akhirnya ada yang suka sama Didi si manja. “Jangan aneh-aneh, Di! Aku ga mau kamu kasih ke teman kamu,” gerutu Divya mencoba melepaskan tangannya dari pinggang Aldi namun temannya itu langsung membawa tangan mungil Divya kembali ke tempatnya semula, ke pinggang Aldi. “Nanti jatuh, Di... Kamu ‘kan jarang boncengan menyamping gini. Kamu yang jatuh aku yang masuk UGD entar, kamu kaya ga tau aja betapa sayangnya Mama aku sama kamu,” ucap Aldi, ia tidak sedang melebih-lebihkan hal ini. Sepertinya Mama memang tidak ingin anak laki-laki, makanya beliau hanya sayang saja padanya tapi pakai sayang banget sama Dita dan Divya. Sempat Divya jatuh saat bersama dengannya, maka bisa dipastikan ia juga menghuni salah satu bangsal rumah sakit karena babak belur di buat Mama. Setelah mengatakan kekhawatirannya untuk kesehatan tubuhnya sendiri itu kemudian Aldi melanjutkan omongannya dengan “Ecieeee... Didi ada yang naksir, JATUH DIIII!” pekik Aldi karena Divya mencubitnya. Cubitan Divya yang akan meninggalkan bekas biru di kulitnya itu membuat Aldi hampir kehilangan kendali atas motornya. “Makanya jangan pancing aku!” Delapan menit kemudian mereka sampai di rumah Aldi dan keduanya langsung disuruh makan oleh Mamanya Aldi. Divya makan dengan lahap tentu saja, ia sangat menyukai masakan Mama Mayang. Divya sudah menganggap rumah Aldi sebagai rumahnya sendiri karena sejak kecil, sejak Papanya -Haris, harus bermalam di rumah sakit maka ia akan dititipkan di rumah ini bersama Mama Mayang. Selain karena bertetangga, Papanya dan papa Aldi adalah sahabat dekat dan bekerja di rumah sakit yang sama. “Didi takut ga tadi dibonceng Aldi?” tanya Mama Mayang sambil memperhatikan keduanya makan dalam diam. Mungkin karena keduanya tumbuh bersama, keduanya jadi memiliki kebiasaan yang hampir mirip contohnya adalah sama sekali tidak bersuara saat makan dan lebih banyak minumnya dari pada makan. Gemas sekali Mama Mayang pada kedua remaja ini, kalau saja Aldi tidak merajuk tiap kali ia memotret mereka pasti sudah ia potret nih. “Engga ma..  Aku ‘kan pegangan sama Aldi.” “Pegangannya yang kuat ‘kan ya tadi?” ucap Mayang menahan senyum lebarnya apalagi ketika mendapat anggukan dari Didi. Sedang putranya yang menatap dengan pandangan tajam ia biarkan begitu saja. Kata orang mah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Biarin saja Aldi kesal, ya ‘kan? “Kalo gitu seterusnya pulangnya sama Aldi saja ya, nak..  Supaya kamu ga nungguin Haris sampai dua jam-an. Kan kasihan anak gadis mama sendirian di gerbang sekolah. Ga aman pokoknya.” “Eh ga bisa gitu Ma..  aku ‘kan latihan futsal juga.” Aldi tau kalau Mama dari setahun belakangan sudah mencoba berbagai cara untuk menjodoh-jodohkan dirinya dengan Divya tapi sekeras apapun usaha Mama tetap tidak akan membuahkan hasil. Kalau ada satuhal keinginan Mama yang harus ia tolak maka Divyalah orangnya. “Didi bisa tungguin kamu, sekalian Mama bisa pastikan kamu beneran main futsal atau mainan rokok sama minuman keras.” “Semerdeka Mama sajalah,” ucap Aldi geli dengan kecurigaan Mamanya soal rokok dan minuman keras yang tidak pernah berhenti. Setiap hari bahkan saat suasana sedang menyenangkan Mama pasti selalu menyeletuk, mengatakan kecurigaannya tentang Aldi yang merokok, minum bahkan sampai pada n*****a. Kecurigaan Mama selalu berhasil menghancurkan suasana. Setelah selesai makan, Aldi meninggalkan ciuman pertamanya yang kalo sudah bersama Mama serasa anak kandung dan dirinya yang anak tiri. Ya benar, Divya adalah ciuman pertama Aldi dan begitu pula sebaliknya, hal itu terjadi jauh sebelum keduanya mengenal operasi kabataku (kali-bagi-tambah-kurang). Kesalahan Aldi yang tidak berpikir panjang sebelum mencium anaknya Om Haris ketika ia berumur satu setengah tahun membuatnya terjebak dalam rencana besar atau sebut saja rencana gila mamanya sendiri. Selepas Aldi meninggalkan meja makan Mama Mayang kembali merecoki Divya agar tidak membiarkan cewek lain mendekati Aldi, karena Mama Mayang bilang bahwa ia hanya rela Didi yang menjadi menantunya. Membuat Divya Jacinda Amzari memerah malu. Mama Mayang benar-benar blak-blakan tapi mau bagaimana lagi, ia sangat menyayangi wanita ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD