1.4

1586 Words
Wajah Rehan dan Vano sudah bermandikan peluh, keduanya sedang duduk di lantai dan menata nafas masing-masing. Tak jauh dari mereka, sebenarnya semua mata diam-diam mencuri lihat para calon pemain tim nasional di masa depan tersebut. Ada atau tidaknya pangeran kaku a. k. a. Danis, Rehan dan Vano akan tetap mendapat perhatian karena keduanya tak kalah mempesona. “Doi mana sih?” tanya Vano setelah selesai mengatur napasnya, tumben sekali mereka tidak bersama teman yang satu itu. “Doi ‘kan lagi sama bini barunya, kali aja lagi dempet-dempetan, ah uh ah uh,” ucap Rehan yang mengetahui bahwa Danis Ammar Hardian yang sama sekali anti perempuan mendapat teman sebangku perempuan dan tak bisa berbuat apa-apa dengan hal itu. “Ga rela gue Han, tutup mulut busukmu!!!!” ucap Vano heboh. Namun hanya sebentar karena mata elangnya langsung mendapati anak baik-baik Bina Bangsa yang kalo orang lain mah nyebutnya anak kuper BB atau Kutu Buku BB atau sebagian lagi menyebutnya freak nerd BB lewat tak jauh dari tempat mereka duduk selonjor.  Rehan mengikuti arah pandang sahabat karibnya dan menemukan dua orang siswi sekolahnya yang selalu diperhatikan oleh Vano sedang berjalan sambil cekikikan –menahan cekikikan lebih tepatnya, maklum anak kuper mah ga bisa mengekspresikan perasaan secara gamblang. Entah apa yang begitu lucu sampai duo cupu itu bisa tertawa seperti itu. Rehan tidak mau tau tapi yang pasti, sesuatu yang mereka tertawakan bukanlah sesuatu yang keren. “Divya ‘kan, Van?” tanya Rehan pada Vano yang tidak mengalihkan matanya sama sekali. Kalau dua orang tadi berjalan berputar mengelilingi lapangan maka bisa dipastikan Vano juga melakukan hal yang sama dan dia hanya akan sadar saat muncul api berkat gesekan antara bokongnya dengan lantai. Vano mengangguk, “Duh Han... Alisnya, matanya, hidungnya.. Bikin adem hati yang tandus,”  ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari Divya Jacinda Amzari. “Kalo bibirnya?”goda Rehan dengan seringai m***m. Rehan m***m? Iya, Rehan tidak peduli dengan gelar itu, bukannya itu hal yang manusiawi? Justru kalau dipikir-pikir lagi kemesuman Rehan masih sopan karena ia tidak mengomentari bibir gadis lain di depan umum. Paling ia hanya bergumam dalam hati saja saat melihat d**a besar dan bibir seksi senior yang pakaianya sudah menempel di badan saking ketatnya. Rehan selalu bersyukur untuk alasan ‘tanggung’ yang para seniornya andalkan tiap kali di razia. Katanya tanggung kalau harus beli seragam baru karena tidak lama lagi mereka sudah akan mengikuti ujian nasional. “Bibirnya wajib dilahap, astagfirullah, Tungau!!!! Lo selalu m*****i hati dan pikiran gue,” teriak Vano membuat Rehan dan teman-teman futsal lainnya terbahak. “Tanpa gue nodai lo udah kotor duluan, Tungau!” balas Rehan pada Vano, keduanya memang saling menyebut diri masing-masing dengan hewan kecil bertungkai delapan itu. Kemudian tanpa keduanya bisa prediksi, Aldiansyah Umar atau yang sering dipanggil Umar oleh anak-anak BB memanggil Divya agar mendekat. Vano seketika ciut dan Rehan mengangkat sebelah alisnya, Rehan heran kenapa cewek yang kata sahabat Tungaunya a. k. a. Vano, adalah cewek paling polos dan lurus ini bisa dikendalikan oleh seorang Umar??? Dia ga sepolos yang Vano tau ternyata. “Apa, Di?” “Om Haris suruh kamu main di rumahku dulu.” Hanya diam saja selama ini mendengar semua pujian Vano untuk Divya, kini ia ingin melihat reaksi temannya itu. Dan soal perkataannya barusan soal melahap bibir, Aldi pastikan hal itu tidak akan terjadi karena melahap semur jengkol bahkan lebih nikmat dari melahap daging mentah seperti bibir. Ugh.. terlebih, Aldi sudah dilantik oleh kedua orang tua mereka untuk menjadi pengawal seorang Divya dengan uang pensiun yang sungguh sangat besar, sudah dipastikan Aldi akan melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga tidak akan ada yang bisa melahap bibir Divya. “Memang Papa ke mana? Kok ga langsung kabarin aku?” “Makanya hape itu di mainin, pokoknya nanti langsung ke rumahku dan jangan bikin rusuh ikan-ikanku!” ucap Aldi penuh penekanan soal ikan-ikannya lalu meminta Divy kembali ke kelasnya karena cowok-cowok di sini sudah pada melongo melihat Divy. Vano langsung mengintrogasi Umar saat Divya menghilang dari penglihatannya. Ia kesal kenapa Umar sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa ia kenal baik dengan Divya dan membuatnya tampak bodoh karena Vano sering memuji cewek itu di depan Umar. “Tolong jangan bilang kalo dia cewek lo.” “Sampai segitunya si Tungau!” gelak Rehan. “Didi teman gue dari kecil dan gue cukup senang karena lo tulus mujinya,” ucap Umar kemudian mengajak semua teman-temannya bubar. Waktunya mengisi perut sebelum bell kembali berbunyi. “Yakin ga ada rasa?” tanya Rehan pada Umar sengaja ingin melihat reaksi Vano. “Didi ga muat di rongga mulut gue jadi gue ga tau rasa dia tuh manis, pahit, asam, asin atau nano-nano.” “Sialan lo!” Rehan selalu saja dibungkam oleh jawaban seorang Aldiansyah Umar. Sementara di sisi lain, Divya yang kembali dari pustaka bersama Tika karena hari ini banyak novel-novel baru berdatangan, juga sedang diintrogasi oleh teman baiknya. Padahal ini bukan pertama kalinya ia bicara dengan Aldi di sekolah, ini hanya kali pertama dimana teman-teman Aldi ataupun teman baiknya Divya melihat interaksi mereka. “Oh gituu... jadi selama ini tenang-tenang aja dibilang jodoh sama Danis karena udah ada Umar ya??” ledek Tika yang juga baru tau bahwa selain dengan Pak guru, Divya juga bisa bicara santai dengan Aldiansyah Umar. Sangat santai dan bahkan terkesan manja. Astaga, cewek imut yang sejak awal kenal selalu menghindari laki-laki justru bersikap manja pada laki-laki? Tika tidak percaya ini. Meskipun mereka termasuk pada golongan tidak tenar, tapi bukan berarti tidak pernah Divy di taksir oleh teman-teman satu angkatan bahkan junior mereka. “Biasa aja!” Kalau ada Aldi terus kenapa? apa hubungannya Divy dan Aldi dengan cowok favoritnya Tika itu? Divy benar-benar tidak mengerti kenapa Tika terobsesi sekali untuk mengulik kehidupan pribadinya yang bahkan tidak ada yang menarik. “Sering ke Rumah Umar dong ya?” “Ga sering, biasa aja.” “Orang tua udah saling kenal tuh.” “Orang tua udah saling kenal itu hal yang biasa karena kami berteman berkat para orang tua yang lebih dulu berteman. Jadi masih jawaban yang sama, Tik, biasa aja!” “Pake panggilan sayang lagi, Didi.” “Biasa ajaaaa!! Apa yang panggilan sayang? Dia panggil aku Didi bukan sayang! Tika kamu jangan mulai ya..  Bisa malu aku kalo Aldi dengar ledekan kamu yang satu ini.” “Maunya diledekin sama Danis aja!????” goda tika lagi sebelum kabur, tak ingin dicubiti Divya karena cubitan temannya itu baru bisa hilangnya setelah tiga hari berlalu. >>>>  Amira membuang muka setelah memarahi cowok sok fokus karena sudah menguping pembicaraannya dengan si cewek genit tidak tau diri, kenapa tidak tau diri karena dia masih ngotot bahwa salah Amiralah kenapa ia tidak bisa jadian dengan Kevin. Tak lama kemudian bell masuk menggema dan dua puluh delapan orang teman-teman barunya masuk ke dalam kelas secara bergiliran, ada yang sambil cekikikan, bicara soal Drama terbaru yang tayang tadi malam, bahkan sampai membicarakan anak-anak artis yang lucu dan bikin gemas, ada juga yang- “Nih...  Lo ga makan apa-apa kan?” ucap cewek yang duduknya tepat di belakang cowok sok fokus sok ganteng padahal bisu pada Amira, membuat perhatian Amira tentang apa yang dilakukan teman-teman sekelasnya saat kembali masuk ke kelas setelah istirahat berakhir buyar. Cewek ini cewek yang sama dengan yang tadi ditanyai Amira apakah, sekali lagi, apakah si cowok tanpa nama yang astaga gantengnya adalah anak pintar gedung Selatan. “Ga usah, makas-” “-Ambil!! Dan gue Egin, lo bisa tanya-tanya sekolah kita ke gue dan juga kita bisa kantin barengan mulai besok. Kecuali kalo lo emang selalu bawa bekal,” potong Regina Handinata pada teman baru yang terkesan ragu-ragu dalam berteman. Ia sudah memperhatikan Amira dari awal masuk dan memustukan untuk mengajaknya bicara mulai hari ini. Setidaknya jika punya teman, dia tidak akan keluyuran di jam pelajaran seperti yang ia lakukan beberapa hari ini, begitu pikir Egin. “Gue ganti uangnya,” ucap Amira setelah melirik pada teman sebangkunya yang sudah kembali menempati posisinya sekilas, takut jika si cowok sok fokus kembali mencuri dengar. “Gantinya sama ngantin sama gue seterusnya aja, gimana?” tawar Egin sumringah, membuat Amira juga tersenyum senang. Kenapa rasanya jauh lebih menyenangkan mendengar permintaan barusan daripada permintaan Kevin untuk pacaran diam-diam di belakang Ayah ya? Pikir Amira membatin. Kemudian ia memakan roti isi pisang dari Egin sambil menjawab pertanyaan Egin dan membalasi chat mantan pacarnya. Kini Amira duduk menyandar pada dinding, sehingga kalau ia tidak menoleh pada Egin pemandangan yang ia dapat adalah wajah cowok tanpa nama sebelah kiri. Astaga, hidungnya kok bisa sesempurna itu, batin Amira ketika dengan sengaja menculi lihat padanya. Amira yang memang sangat suka pisang menanyakan kenapa Egin memberinya roti isi pisang ini, dan ternyata Egin menebak buah Favoritnya dari bentuk kotak pensil Amira yang berbentuk pisang, tasnya yang ada unsur pisang dan gelang tangan amira yang juga ada liontin pisangnya. Mereka masih sempat membicarakan hal-hal lainnya sampai guru biologi datang. “Dasar cewek pisang!” ucap Danis lirih sebelum mulai fokus pada pelajaran. Sedari tadi, sejak Amira mendapat panggilan video dari seseorang yang mengatainya b***h, Danis diam-diam sudah memperhatikan teman sebangkunya ini. Tidak, Danis sudah ingin memperhatikan teman sebangkunya ini sejak pagi tadi saat keduanya bertatapan dalam jarak yang sangat dekat. Wajah si cewek pisang adalah satu dari beberapa wajah yang enak untuk dipandang lama-lama, persis seperti wajah Tante Bian. Hal yang selama ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Ada sesuatu pada si cewek pisang yang membuat Danis merasa menyalahi tabiatnya sendiri. Semua tentang gadis yang namanya Amir ini tidak luput dari perhatian Danis termasuk, kotak pensil, tas dan gelang di tangan kiri yang benar-benar pisang parah. “Jadi lo ga bisu ya?” sindir Amira menoleh kaget pada Danis. Setelah diam saja saat ditindas tadi pagi, bukannya tidak masuk akal kalau pisang bisa membuat cowok ini berkomentar atau sebut saja menyindirnya? “... “ Danis kembali menghadap ke depan dan menjawab salam dari gurunya, setelah untuk yang kedua kalinya ia bisa bertatapan dalam jarak kurang dari setengah meter dengan si cewek pisang lagi untuk yang kedua kalinya. “Sialan, sok OK lo,” umpatnya. Dan keinginan Amira untuk mencekik leher cowok ini semakin menjadi saat ia menyadari cowok itu menyeringai sambil menatap papan tulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD