11: HI PAPA

1436 Words
“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday dear Gala. Happy birthday to you. From good friends and true. From old friends and new. May good luck go with you. And happiness too,” dendang Nina dan Rio bersama. “Yeiiiiy!” seru Gala. Riang, sumringah, bahagia. “Gala tiup lilin, Mama? Ayah?” “Iya, Nak. Ayo ditiup dong,” ujar Nina. “Tiup! Tiup! Tiup!” seru Rio. ‘Fiuuuh!’ Tak kenal jeda, langsung saja Gala menyemburkan udara hingga membuat nyala api kecil itu padam. Rio dan Nina sontak bertepuk tangan. Namun yang mencengangkan, Gala tak diam diposisinya atau ribut meminta kuenya dipotong seperti kebanyakan anak yang berulangtahun. Gala justru berlari ke lantai dua, tempat kamarnya dan Rio berada. Derap langkah bocah lima tahun itu lantang terdengar. Nina menoleh pada Rio. Sang abang pun raut wajahnya nampak bingung, ia bahkan menaik turunkan bahu. Keduanya sama-sama tak paham. “Kelupaan foto Ara kali,” ujar Rio, sementara Nina masih diam. Sungguh ada rasa tak nyaman di hati keduanya. Terlebih tak lagi terdengar ocehan ataupun derap sang bocah. Nina dan Rio sama-sama berdiri dari duduknya, berlari kecil menaiki anak tangga. Begitu tiba di boys’ room, mereka pun tertegun. Nina yang lebih dulu melangkah maju, duduk di samping Gala yang tengah memasukkan bajunya ke dalam koper kecil yang biasa ia bawa kala staycation atau berjalan-jalan ke luar kota bersama Nina dan Rio. “Gala sedang apa, Sayang?” “Packing. Mama sudah packing?” “Packing?” “Ja, Mama. I am five years old today. It means we are going to Jakarta to meet Papa. Hurry, Mama, pack up!" Sungguh … Nina membeku. Tak hanya Nina, Rio pun turut kelu. Sedangkan Gala terus saja memasukkan barang-barangnya ke dalam koper kecil itu. Bahkan termasuk benda kesayangannya, sebuah pigura dengan tiga slot foto. Ada foto Ara dan Nina dalam balutan seragam SMA mereka, Nina yang tengah mengandung, dan Gala yang baru dilahirkan. “Wait for me, Papa. I’ll come to you,” ujar Gala lagi. Sungguh riang. Nina gegas menghapus air matanya. Pikirannya kalut. Ia benar-benar tak menyangka Gala mengartikan ulang tahun kelimanya seperti ini. “Kado Gala kan belum dibuka. Kuenya juga belum dimakan. Nasi kuningnya juga belum kita bagi-bagi. We've got plenty left to do, buddy,” ujar Rio seraya ikut duduk di samping Gala, berpura-pura merapihkan pakaian bocah itu di dalam koper. “Jadi, kapan kita ke Jakarta, Ayah?” “Mmm … Mama kan sedikit lagi selesai sekolahnya. She will earn a Master of Science in Architecture. Setelah Mama lulus, baru Gala dan Mama pesan tiket pesawat. Oke?” “Why?” tanya Gala, sendu. Suaranya berubah parau. Kedua ujung bibirnya menukik turun. “Nanti Papa lupa sama Gala, Ayah. We need to hurry.” Tak hanya Nina, jantung Rio pun bagai diremas melihat kesedihan yang sungguh di kedua netra bocah kecil kesayangan mereka. “Karena … kalau Mama tidak selesai sekolahnya, Mama tidak bisa kerja. Nanti Ayah lama nabungnya supaya kita bisa build an architecture company. Kalau Mama kerja, Mama bisa bantu Ayah.” “Nanti company-nya buat Gala kerja juga?” “Betul.” “Jadi kita pulang ke Jakarta masih lama?” “Two months later. Gala bisa bersabar?” “Is that true, Mama? Can you promise that we will go back to Jakarta in two months?” tuntut Gala. Ia tak mau janji hanya menjadi isapan jempol belaka untuk kali kedua. “Ok. I promise, little hero,” sahut Nina. *** Satu bulan kemudian. “Maaf aku terlambat,” ujar Nina begitu tiba di tempat penitipan anak di mana sehari-hari Gala berada saat Nina memenuhi waktu studinya. “Apakah terjadi sesuatu? Kenapa Gala tidak menyambutku?” “Kurasa ada yang membuatnya sedih. Tapi Gala tidak mau bicara,” jawab Edda, salah satu pengasuh di tempat itu. Nina melangkah masuk ke dalam kelas tempat Gala menunggu. Ara kecil itu duduk menghadap dinding kaca yang mengarah ke taman belakang. Di hadapannya buku gambar terbuka, juga sebuah crayon di genggaman. Namun, Gala tak sedang benar-benar menggambar. Saat bayangan Nina memantul di kaca, Gala sontak menoleh. Ia berdiri dari duduknya, berlari, menghambur ke pelukan Nina. “Ayo kita pulang, Mama,” lirih Gala, jelas terdengar sedih. “Oke. Gala bereskan dulu buku gambar dan crayon Gala ya?” Gala mengangguk. Ia lalu berlari ke meja lipatnya kembali, membereskan peralatan menggambar dan meletakkan benda-benda itu ke dalam lokernya. “Sudah, Mama.” Biasanya, Gala akan meminta Nina menjelajah bersamanya lebih dulu sebelum kembali ke kediaman mereka. Menyusuri tepi kanal, membeli stroopwafle untuk dibawa pulang, lalu duduk di tepi kanal seraya menikmati patatje oorlog – yang berupa kentang goreng yang disajikan dengan mayones, bawang bombay cincang, dan saus kacang – dan poffertjes – yang adalah pancake kecil khas Belanda dengan taburan gula bubuk. Namun, kali ini Gala justru merengek agar Nina langsung melajukan sepedanya pulang. “Gala? Ada apa, Sayang? Kenapa Gala sedih?” tanya Nina saat mendapati Gala yang menelungkup di atas sofa begitu mereka tiba di rumah. “Mama ada salah sama Gala?” Pemuda kecil itu akhirnya bangun dari posisinya. Ia duduk seraya menatap Nina yang memilih bersimpuh di lantai agar titik pandang mereka sejajar atau lebih rendah Nina. “Gala pinjam hape, Mama.” “Untuk apa, Sayang?” “Mau video call Papa,” lirihnya sendu. Nina terdiam. Sejak hari ulang tahunnya yang kelima, nyaris setiap hari Gala merajuk seperti ini. Ada saja permintaannya yang membuat Nina harus menebalkan kesabaran. Rasanya, stok jawabannya pun kian mengikis dan hanya menyisakan emosi. “Tadi Papa Killian tidak bisa menjemput. Tapi dia telpon Nanny. Video call, Mama. Papa Killian di Berlin. Berlin itu jauh kan Mama? Kenapa Papa Killian bisa telpon Nanny? Papa Killian ngomong sama Killian. Gala juga mau ngomong sama Papa Gala!” Di kalimat terakhir, Gala menangis histeris. “Gala ….” “Gala ngga mau ngomong sama Mama! I want my father!” tangisnya lagi seraya berlari menaiki anak tangga. ‘Ara ….’ *** Dua bulan kemudian. Sungguh, Gala tak seriang sebelum-sebelumnya. Saat Rio menunda kepulangan ia dan Nina ke Jakarta, hati kecilnya merasa terkhianati. Mereka bilang saat umur Gala lima tahun, mereka akan pulang. Lantas mengapa harus ditunda? Sayangnya, jawaban yang Nina dan Rio kerap berikan tak ada yang bisa diterima logika bocahnya. Hari itu hari Minggu. Mereka baru saja selesai menikmati sarapan. Gala beringsut ke depan televisi, duduk di posisi favoritnya. Ia meraih pengendali jarak jauh, menekan tombol nyala. Jemari kecilnya lincah membuka salah satu aplikasi media sosial. Dengan akun fake sang ibu, Gala langsung meluncur ke channel milik Ara. Mereka bertiga sudah biasa mendengar suara Ara. Bagi Nina, channel itu sungguh pengobat rindu. Dan bagi Gala menjadi media untuk mengenal sang ayah lebih dekat. Bahkan, banyak lagu yang dinyanyikan Ara bisa ia ikuti. Dua lagu yang Ara nyanyikan pun usai. Dan autoplay yang ter-setting membawa ke video terbaru. Bukan nyanyian lainnya melainkan rekaman podcast yang belum lama Ara ikuti. “Lo tuh salah satu penyanyi cover Indonesia yang fans-nya banyak banget lho, bro! Dan lo viral sejak lagu?” “Bawalah daku bersama. Ke dalam setiap langkahmu. Di mana pun engkau berada. Kangen aku pada dirimu. Tiada akan dapat kuobati. Tanpa kubelai rambutmu. Kucium pipimu. Dan kunikmati. Senyummu …” dendang Ara. “Woohoo! Ngga salah emang lo viral, bro!” puji sang host. “Itu ngomong-ngomong lo kangen sama siapa?” “Mau tau aja lo!” “Asseek! Jadi gosip yang beredar bener ya?” “Namanya gosip mana ada yang bener, bro? Abu-abu semua!” “Pengalaman banget sama gosip nih kayaknya! Ngeles aja lo, bro!” kekeh host itu lagi. “Terus, awal mulanya lo seriusin hobi lo ini gimana ceritanya?” “Sebelumnya, gue pengen nekanin dulu ya … gue itu IT expert, bukan penyanyi. Main gitar dan nyanyi tuh hobi aja. Kalau yang udah lama subscribe gue, pasti tau banget perkembangan suara gue. Dari yang sering kayak tikus kegencet pintu, sampai kayak sekarang, better-lah.” “Oke, bro.” “Dan awal mulanya gue serius ngebangun channel gue ….” Ara menghempaskan napasnya keras. Nampak raut wajahnya menyimpan kegetiran. “Are you ok, bro?” “Yup! I’m ok,” jawab Ara. “So … gue cuma pengen diperhatiin aja sih,” kekehnya kemudian. “Kayaknya seru gitu kan ada yang merhatiin.” “Bukannya udah ada?” Kedua pria itu sontak tergelak bersama. Nina yang mendengar siaran itu terduduk lesu di kursi makan. Rio pun turut kelu. Sementara Gala melirik ke Nina dan Rio, memastikan tak ada yang memerhatikan gerak-geriknya. Kedua ibu jarinya bergerak lamat-lamat, menuliskan satu kata yang seharusnya terpecah menjadi empat. PinkTulips: hipapaimgala
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD