Ara mencoba untuk menerima.
Tak memaksakan dirinya lagi untuk mencari keberadaan Nina.
Mungkin benar yang dikatakan Bimo, Ara harus merelakan kepergian Nina.
Namun, merelakan tak berarti Ara berdiam diri. Berbekal skill bergitar dan bernyanyi yang ia miliki, ia mengaktifkan sosial medianya, rutin mempublikasikan kepiawaiannya di bidang seni. Bagi Ara, jika Nina tak ingin ia menemukannya, biarlah Nina yang melihatnya, biarlah ia yang terus menyuarakan rindu hingga kekasihnya menampakkan diri lagi.
“So I'll tell you … a million tiny things that you have never known. It all gets tangled up inside. And I'll tell you … a million little reasons I'm falling for your eyes. I just want to be where you are.”
Gail bersedekap dari balik kamera yang merekam performa Ara, berusaha menatap bangga daripada memperlihatkan tatapan ibanya. Empat tahun berlalu sejak Nina pergi. Dan Gail pun tau analisa Ara ada benarnya. Bukan menghilang, Nina yang tak ingin ditemui. Dan satu-satunya cara untuk bersua kembali adalah dengan menunggu Nina memunculkan diri.
“Gimana?” tanya Ara begitu pertunjukannya rampung.
“Makin stabil suara lo,” jawab Gail.
“Jangan di-edit-lah.”
“Ngga pernah gue edit buat nyetabilin suara lo, bro. Apa adanya. Pas lagi falls juga gue diemin. As your wish!” jelas Gail.
“Sip!”
“Email kita tapi rame tuh, minta lo perform. Dari mulai ulang tahun sampe nikahan, bro. Ngga ada yang mau lo ambil?”
“Ngga!” tegas Ara.
“Serius?”
“Hmm. Kalau gue terima, pas apes taunya Nina yang nikah bisa jadi pertumpahan darah.”
“Buset!”
Ara keluar dari studio musik milik Gail, merebahkan diri di sebuah sofa. Ia lalu jatuh tertidur, entah untuk berapa lama. Ara baru terbangun saat getar ponselnya yang beradu dengan permukaan meja mendengungkan suara yang sangat mengganggu.
“Hmm?”
“Bisma! Kamu di mana sih?”
Ara membuka matanya, meletakkan layar ponsel di depan wajahnya. Tenyata panggilan video, bukan hanya suara.
“Kamu tidur?”
“Hmm.”
“Aku udah dua jam nunggu kamu, Bisma!”
“Kenapa?”
“Apa? Kan aku udah bilang, hari ini sepupuku ada yang nikah.”
“Terus?”
Perempuan itu mendengus kesal. Jika adegan itu adalah potongan film kartun, ia pasti sudah mengeluarkan asap dari kedua telinga dan hidung.
“Kamu harusnya jemput aku, Bisma! Kamu bilang iya kemarin!”
“Masa?”
“BISMA!”
“Drama banget sih, Al? Tinggal pergi aja sendiri. Ngapain nunggu aku?”
Sungguh, rasanya Alma ingin menjambak siapa pun yang berada dalam jangkauan terdekatnya saat ini. Ia benar-benar sudah tak tahan. Baru dua bulan ia berstatus sebagai kekasih Ara, rasanya umurnya memendek cepat setiap kali bersama pria itu. Ara selalu dingin, seenaknya, dan seingatnya … tak pernah tertawa jika bersamanya. Sementara saat dengan teman-temannya, Ara bisa tertawa meski mereka yang juga Alma kenal kerap mengatakan Ara adalah sosok yang dingin dan ketus. Terkadang Alma berpikir jika Ara menjadi kekasihnya hanya karena ingin menyakiti seseorang yang tidak Alma kenali sosoknya.
“Keterlaluan kamu Bisma!”
“Keterlaluan gimana? Kalau gue telat lo tinggal jalan. Sama keluarga lo kek, naik taksi kek. Lo aja yang kurang kerjaan nungguin gue. Kerjaan gue banyak, menghasilkan, nemenin lo kondangan ngga ada pitinya!”
“BISMA!”
“Apa? Ngga suka sama omongan gue? Oke! Kita jalan masing-masing.”
“Enak aja! Gue yang harusnya bilang gitu! DASAR b******k! KITA PUTUS!”
Dan akhirnya wajah Alma hilang dari titik pandang Ara.
Gail yang sedari tadi memerhatikan sahabatnya itu dari depan pintu studio hanya bisa menggeleng tak habis pikir.
“Apa lo?” sulut Ara. Ia bangun dari posisi berbaringnya, duduk tegap sembari menunggu Gail meletakkan laptop di hadapannya. “Nice. Gue lihat dulu.” Video itu berputar beberapa menit, dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Ara selalu puas dengan hasilnya. “Sip!” ujarnya kemudian seraya mengklik tombol publikasikan.
“Ra?”
“Hmm?”
“Lo ngapain sih pacaran kalau ujung-ujungnya ribut sama cewek-cewek itu?”
“Gue baru dua kali pacaran setelah Nina ngilang ya. Cewek-cewek tuh kesannya banyak banget, bro!”
“Cewek gue aja ngga ganti-ganti udah dua tahun, bro! Lo setahun aja belum ada udah dua orang lo jadiin mantan.”
“Emang salah gue apa? Kan mereka yang rese. Urusan kondangan aja gue harus ikut. Ngapain amat? Mau ngenalin gue ke keluarganya? Buat apa? Gue ngga seserius itu sama mereka. She’s not the last piece I've been looking for."
“Ngga salah yang dibilang Alma. Emang b******k lo, Ra.”
Ara malah tergelak. “Semua yang berjenis kelamin pria pasti b******k, bro. Kadarnya aja yang beda-beda.”
“Anjiiir, ngapa gue juga kena imbasnya?”
“Minimal lo pasti pernah kan ngayal nidurin cewek lo. b******k level basement itu!”
“Jurig sia!”
***
Tiga tahun masa pendidikan tinggi untuk meraih gelar sarjana rampung Nina tunaikan. Hari itu ia, Rio dan Gala merayakan kesuksesan itu di sebuah restoran, menikmati makan siang sebelum kembali pulang ke kediaman mereka.
Tiba di rumah, nampak Eri duduk di anak tangga menuju pintu utama. Ia mendekap pink tulips bouquet yang nampak begitu indah.
“Congratulations, Nada,” ujarnya seraya menyodorkan buket itu. Nina terseyum hangat sementara Rio membawa Gala masuk lebih dulu. Memberi waktu untuk artis dan fans-nya … bicara mungkin? Sepertinya, jika dilihat dari raut wajah Eri, ia datang dengan maksud tertentu.
“Makasih Bang Eri. Masuk yuk?”
Eri mengangguk lalu memberi kesempatan untuk Nina melangkah lebih dulu.
Secangkir kopi panas Nina hidangkan di hadapan Eri. Ia pun memilih menu yang sama. Tak lupa vlaaitjes – sejenis pai yang memiliki dasar kue yang lembut dan biasanya berukuran kecil – beraneka ragam rasa.
“Gimana kuliah lo, Nad?” tanya Eri setelah menyesap kopinya. Yang Eri maksud adalah kuliah master Nada yang baru berjalan beberapa waktu.
“So far so good. Bang Eri gimana kerjanya?”
“Hmm. Lumayan.”
“Syukurlah.”
“By the way, gue beli rumah akhirnya Nad.”
“Hah? Bang Eri serius mau menetap di sini?”
“Hmm. Serius. I really love this city. Lagipula gue dapat kucuran dana yang ngga tanggung-tanggung dari abang gue. Masih ingat kan yang waktu itu gue cerita?”
“Iya ingat. Jadi, ditambahin gitu buat beli rumah?”
“Hmm,” gumam Eri seraya mengangguk.
“Wah, baik banget.”
Eri terkekeh. Namun jelas terlihat jika bukan kekehan bahagia. Ada emosi yang disembunyikan Eri dan itu nampak jelas bagi Nina.
“Anyway … aku datang ke sini karena ingin ngucapin selamat atas kelulusan kamu. Dan juga … ada yang mau aku bicarakan.”
‘Aku? Kamu? Kayaknya sesuatu yang serius?’
Nina meletakkan cangkir kopi yang baru saja ia sesap. Senyum hangat ia ukir di wajahnya, lalu mengangguk. Nina memang tak memiliki banyak alasan untuk bersikap dingin pada Eri. Pria itu begitu baik. Setiap akhir pekan tak pernah ia lupa untuk melihat keadaan Nina, juga Gala. Meski Gala seringkali histeris saat Nina menjauh dan hanya tinggal dengannya, Eri selalu membujuknya dengan lemah lembut, tak ada sisa sakit hati sama sekali.
Rio bahkan sempat mengatakan pada Nina, jika saja hubungan Nina dan Ara berakhir buruk … Ara berkhianat misalnya atau mencampakkan Nina begitu saja, Rio tak akan ragu membuka kesempatan bagi Eri mendekati Nina dan Gala. Sangkin baik dan hangatnya sosok Eri.
Namun, satu saat nanti, Nina tetap harus menjelaskan keadaannya pada Ara terlepas apakah Ara akan menerima atau tidak, dan terlepas dari apakah mereka akan melanjutkan hubungan kasih mereka atau berhenti begitu saja. Dan Rio sungguh meminta, hingga waktu itu tiba, hingga perihal itu jelas, agar Nina menutup hatinya dari pria lain, sekalipun itu sebaik Eri.
Bukan karena Rio tak memedulikan perasaan Nina, namun karena ada nyawa lain yang berhak untuk tau siapa ayah kandungnya. Gala tak boleh bingung, Gala harus mengenal sosok sang ayah. Ya, betul sekali, Riolah seseorang dibalik kepandaian Gala mengenali ayahnya. Riolah yang berperan besar memperkenalkan Ara pada Gala.
“Nada ….”
“Hmm?”
“It’s been three years since we first met. Sekitar segitu. Betul?”
“Betul.”
“And … sebelumnya aku minta maaf karena akhirnya memutuskan untuk mengatakan ini ke kamu.”
Nina memilih diam, meski pandangannya lekat menatap Eri.
“Aku … honestly, I'm afraid of marriage. Seingatku, aku udah pernah cerita kan ya?”
“Iya.”
“Tapi … tiga tahun belakangan, meski ngga tiba-tiba perasaan itu datang. Sekarang, aku ingin menikah. Mencoba berumah tangga. Dan … aku ingin mencobanya bersama kamu.”
“Bang Eri ….”
“Kita bisa menikah di sini. Aku janji akan menyayangi Gala seperti darah dagingku sendiri. Kita tinggal di sini. Aku pun ngga akan melarang kamu berkarir, aku akan dukung apa pun impian kamu. Hmm?”
“Gue … I’m sorry, but I can’t,” jawab Nina. Tak ada nada keraguan sama sekali.
Eri terdiam. Ia sudah menyiapkan hati untuk ini. Namun tetap saja, ditolak oleh seseorang yang dicintai, rasanya terlalu menyedihkan.
“Bang Eri?”
“Boleh aku tau kenapa?” tanya Eri kemudian.
“Mmm … jujur, gue masih sangat mencintai ayahnya Gala.”
“Aku bisa membuat kamu melupakan dia. Kamu cuma perlu membuka hati kamu untuk aku. Nada, kamu pergi dalam kondisi hamil, jikalau dia tau, atau kamu kembali, apa dia akan menerima kalian berdua?”
Kini Nina yang nampak sedih. Ia menggeleng pelan. “I don’t know.”
“Kalaupun dia menerima kalian berdua, apa Gala akan baik-baik aja? Kamu akan baik-baik aja? Kita sama-sama tau gimana cara pandang masyarakat kita kan Nada?”
“I don’t know.”
“Apa kamu berpikir untuk pulang?”
“Iya. Seenggaknya, sekali seumur hidup, Gala harus bertemu dengan dia. Itu hak dia, Bang.”
“I know. Aku setuju untuk itu. Tapi apa ngga bisa cukup sampai di situ, Nad?”
Nina menghempaskan napasnya, frustasi. Jauh di dalam hatinya ia sungguh berharap Ara masih mencintainya. Namun, Nina tak bisa memastikan itu bukan?
"Come to me if what's going to happen troubles you, doesn't meet your expectations, or especially if it hurts Gala. Promise me, okay?"
“Bang Eri ….”
“Apa ada alasan lain kamu ngga bisa nerima aku?”
Nina tertegun, titik pandangnya lekat menatap iris mata Eri.
“Apa itu Nada?” tanya Eri lagi.
Nina terkekeh pelan sebelum akhirnya menuturkan apa yang ada di dalam benaknya selama tiga tahun ia mengenal Eri. Juga alasannya mengapa ia tak bisa jatuh cinta pada pria itu. “Mmm … karena gue ngga berbahaya buat lo?”
Kening Eri sontak mengerut.
“Bukan berarti itu sesuatu yang buruk. Gue juga ngga akan memaksakan diri untuk membuat lo berpikir bahwa gue berbahaya,” lanjut Nina.
“Nada?”
“Bang Eri ngga bisa jujur sama Nada. Bang Eri cuma kepingin Nada yang bersandar sama Bang Eri. Berusaha terlihat sekuat mungkin di depan Nada. Sementara, kejujuran itu yang membuat Nada jatuh cinta. I’m strong enough, dan Nada yakin Bang Eri tau itu. I think I'm not the last piece you've been looking for."