09: RENCANA UNTUK PULANG

1262 Words
Nina baru saja hendak memarkir sepedanya saat Gala nampak melarikan diri dari ruang bermain. Ara kecil itu menempelkan wajahnya di jendela kaca yang berhadapan dengan Nina, mencengir lucu, hidungnya bahkan sampai pesek karena tertekan. Nina tak mungkin menahan tawa, bertambah hari tingkah kesayangannya itu memang semakin menggemaskan. “Mama! Mama!” seru Gala riang seraya berlari menghampiri Nina yang baru saja masuk ke lobi kinderdagverblijf. Nina gegas bersimpuh, menangkap sang putra yang melompat ke pelukannya. “Mama!” “Hai, Gala. Anak Mama senang tidak hari ini?” “Ja!” “Sebesar apa senangnya?” Gala melepaskan pelukannya lalu membentangkan kedua tangan mungilnya, menunjukkan pada Nina jika ia teramat senang. “Mama juga senang kalau begitu. Apa Gala baik hari ini?” “Ja!” “Gala sopan hari ini?” “Ja!” “Pintar sekali anak Mama! Terima kasih Gala.” “Ja, Mama.” “Ayo kita pulang?” “Sepeda. Ayo!” “Gala mau jalan-jalan dulu naik sepeda?” “Ja! Sepeda!” “Oke.” “Oke!” “Gala selalu baik, kau dan abangmu luar biasa mendidiknya,” ujar pengasuh Gala. “Apakah dia menangis?” “Hanya sebentar saat teringat mama atau pamannya. Setelahnya ia bermain dengan riang lagi.” “Baik kalau begitu, dank je wel,” ujar Nina, mengutarakan terima kasihnya. Seperti hari-hari biasanya, sepulang kuliah Nina akan menjemput Gala. Berhubung Gala masih teramat kecil untuk terlalu lama ditinggal, Rio tak mengizinkan Nina mengambil pekerjaan paruh waktu. Cukuplah Nina sibuk dengan menuntut ilmu dan mengasuh Gala, sementara Rio yang bertugas memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sesekali, saat pesanan desain yang sifatnya mandiri Rio terima, ia baru melibatkan Nina. Sore itu, di musim gugur, Nina mengayuh sepedanya perlahan menyusuri jalur tepi kanal. Gala duduk di depan, di kursi kecil yang memang disediakan untuknya. Pemandangan Jordaan semakin cerah menjelang matahari terbenam. Barisan Willow trees yang dedaunannya berubah oranye menyatu dengan jingganya cakrawala dan pantulan air. Nina berhenti di pinggir sebuah jembatan, menatap keindahan lanskap kota. Dan sama seperti hari-hari sebelumnya, setiap kali ia terdiam, di mana pun itu, senyum Ara selalu terpatri di benaknya. ‘Ara … Nina kangen. Ara apa kabar?’ Nina melaju lagi, mengayuh pedal perlahan. Ia lalu berhenti di sebuah toko sayur dan buah, membeli beberapa jenis. Begitu keranjang sepedanya penuh terisi, Nina dan Gala melaju kembali menuju kediaman mereka. “Gala?” panggil Nina. Tadi, ia sibuk memposisikan sepedanya lebih dulu sementara Gala nampak menaiki anak tangga menuju kamar mereka. “MAIN PAPA!” pekik sang putra. Tanpa melepas berbagai atribut di tubuhnya, Nina menyusul Gala. Dan sama seperti hari-hari biasanya, Nina akan terdiam memerhatikan sang putra yang tengah berceloteh pada foto Ara. Nina tak pernah mengajari itu, namun entah bagaimana, di usianya yang baru akan menginjak 18 bulan, Gala bahkan sudah paham siapa ayahnya. “Buka Mama,” pinta Gala seraya mengangkat-angkat sweater-nya. Nina bersimpuh, membantu Gala melepas baju hangatnya. “Papa pulang Mama?” “Papa masih sekolah.” “Mama sekolah. Ayah kerja.” “Iya. Betul sekali.” “Papa sekolah. Gala main ya?” “Iya, Gala main di kinderdagverblijf sama Nanny. Oke?” “Oke. Papa pulang?” Sesak rasanya setiap kali bocah kecil itu menanyakan perihal Ara. Ditambah tatapan Gala yang begitu persis dengan cara Ara menatap. Rasanya ingin sekali Nina menyerah, kembali ke Indonesia, membeberkan semuanya pada Ara. Tapi, apa yang bisa Nina dan Gala dapatkan jika niat impulsifnya itu ia wujudkan? “Nanti, kalau Gala sudah … five years old, kita ke Indonesia, ketemu Papa. Oke?” “Ja, Mama.” “Gala pintar.” “Mama nangis tuh.” Nina terkekeh. Ia menarik putra kecilnya untuk ia rengkuh erat. Sudah dua tahun lebih berlalu, namun rindunya pada Ara tak pernah mengikis sedikit pun. *** “Gala sudah tidur, Mas?” tanya Nina saat mendapati Rio yang menjejakkan kaki di anak tangga terakhir menuju lantai dasar. “Sudah. Pulas.” Rio lalu beranjak ke dapur, merapihkan area itu. Sementara Nina tengah membereskan living room mereka dari mainan Gala yang berserakan. Selesai beberes keduanya duduk nyaman sambil menyeruput secangkir seduhan rempah dan madu yang Nina buat, serta menikmati apple stroopwafels yang Rio bawa saat pulang kerja tadi. “Mas?” “Hmm?” “Mas baik-baik aja?” “Baiklah. Kenapa emangnya?” “Ngga sih. Nanya aja.” “Lo?” “Baik kok Mas.” “Eri masih mepetin?” “Mmm … nge-chat doang sih Mas. Nanya-nanya kabar Gala. Kalau dia main ke sini pas Mas belum pulang, as usual gue nerimanya di teras aja.” “Gala masih ngga mau sama dia?” “Iya, ngga mau. Kalau main dan ada gue sih ngga apa-apa. Asal jangan ditinggal aja, langsung histeris.” Rio mengangguk-angguk. “Mas?” “Apa?” “Lo ngga mau nikah?” “Sama siapa?” “Ya sama ceweklah.” “Lo pikir nikah simsalabim?” “Ya kali aja lo mau kencan buta gitu, Mas.” Rio menyesap minumannya sekali lagi, lalu meletakkan cangkir itu di atas meja sebelum akhirnya menatap Nina lekat. “Satu, gue belum ada calon. Dua, gue hanya akan menikah dengan perempuan yang bisa nerima lo dan Gala. Tiga, kalau ada yang menikah duluan di antara kita berdua, orang itu harus lo, Dek! Paham?” “Gue dan Gala jadi beban lo banget ya Mas?” “Lo berdua pintu rezeki gue!” tegas Rio. “Mas Rio … serius ih.” Rio mendengus. Ia mengulurkan tangan kanannya, mengusap lembut puncak kepala Nina. “Udah dua tahunan kita di sini. Tapi kayaknya gue belum pernah ngucapin makasih sama lo ya Dek?” “Mas Rio jangan mulai deh,” ujar Nina, sengau. “Serius, Nin. Gue bersyukur punya adik sebaik lo. Terima kasih karena sudah bertahan. Gue tau, pasti sulit banget buat lo.” Nina meletakkan cangkirnya lalu melingkarkan kedua tangannya di tubuh Rio, menenggelamkan wajah di bahu sang abang. Tak menunggu jarum jam berdetak, air mata Nina otomatis menitik. “Nina kangen sama Ara,” isaknya kemudian. Rio membalas rengkuhan itu lebih erat, membiarkan Nina menumpahkan tangisannya. Mungkin sudah terlalu lama Nina menahannya. “Gala sekarang suka nanya papanya, Mas. Nina ngga mau nutupin keberadaan Ara. Nina ngga mau Gala ngga tau siapa papanya,” jelas Nina lagi di tengah tangisnya. “Lo mau pulang?” Nina mengurai pelukannya, Rio lalu mengusap wajah sendu sang adik. “Ngga sekarang Mas. Nina harus lulus kuliah dulu, punya bekal. Nina kan ngga tau gimana nanti. Nina juga ngga mungkin tiba-tiba nuntut pertanggungjawaban Ara sementara Nina selama ini menghilang. Terlebih kalau Ara udah punya kehidupannya sendiri tanpa Nina dan Gala di dalamnya, Nina ngga mungkin menghancurkan itu kan Mas?” “Jadi, rencana lo gimana?” “Lulus master, baru Nina pulang Mas. Kalau Mas Rio?” “Hutang kita sudah lunas semua kan tahun kemarin. Cuma akhirnya kita jadi ngga punya rumah. Sekarang gua lagi nabung banget, biar nanti pas pulang bisa beli atau nyewa unit atau rumah. Sisanya untuk buka firma sendiri. Gimana menurut lo?” “Iya Mas.” “Nanti kita besarin firma kita sama-sama.” “Iya Mas.” “Kalau nunggu lo lulus master kan berarti … misal lo langsung lanjut setelah bachelor's degree, berarti sekitar tiga tahun lagi ya?” “Hmm,” gumam Nina seraya mengangguk. “Oke sih. Gala juga bisa langsung mulai SD,” ujar Rio lagi. “Iya, itu bayangan gue Mas.” “Oke kalau gitu, Dek. Kita planning sekarang. Mudah-mudahan kelak Ara masih sendiri ya? Dan inshaaAllah bisa mahamin keputusan lo dan nerima kalian berdua.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD