Bab Empat - Makan Bersama

1262 Words
Apa aku sungguh, jatuh cinta lagi? ***            Kanaya menatap lengan Keral yang masih setia memegang tangan perempuan itu, ya wajar sih Keral yang baru datang ke kantornya bisa seenaknya berpikir untuk makan dan tidak jadi masuk ke dalam kantornya, secara ini kantor dia, siapa yang berani melarang kan?            “Hem tawaran yang mengiurakan,” jawab Kanaya bertele-tele. Kanaya juga tertawa geli saat melihat bibir Keral terangkat sebelah, laki-laki itu menyinggungkan senyum sinis, Kanaya rupanya tengah memancing Keral.            “Kalau tidak mau ....”            “Bawahan tidak mungkin menolak atasannya kan? Lagi pula ini diteraktir kan?” potong Kanaya dengan cepat.            Keral tidak tahu ia harus berekpresi bagaimana, satu kalimat dari Kanaya tadi mampu membuat Keral kesal sekaligus geli sendiri, Keral tidak menganggap Kanaya menjadi bawahannya saat ini, harusnya Kanaya tahu itu, walau Kanaya sudah sah bekerja di perusahaannya bukan berarti Kanaya menjadi bawahannya setiap saat, tapi benar juga sih Kanaya kan bekerja di perusahaan di mana atasannya itu adalah Keral, ya benar dirinya adalah atasan Kanaya, dan kalimatnya yang terakhir, tentu dengan senang hati Keral akan meneraktir perempuan itu, asalakan Keral kembali mendapatkan senyum yang sekarang didamba oleh Keral setiap saat itu.            “Ayo,” kata Keral yang membuat Kanaya semakin melangkah membelakangi Keral, loh? Kan mau makan bareng kenapa Kanaya malah berjalan berlawanan langkah dengan dirinya? Batin Keral saat melihat Kanaya berjalan melawan arah bersama dengannya. “Mau kemana?” kata Keral kembali mengejar dan menangkap tangan Kanaya lagi.            “Ke mobil, kan mau pergi?” jawab Kanaya dengan tautan alis mehiasi wajahnya yang mulai memerah karena berada di bawah sinar matahari.            “Naik mobil barengan aja,” ajak Keral.            “Terus mobilku?” tanya Kanaya lagi.            Keral mengangkat bahunya acuh, dia tidak peduli, mau Kanaya apakan mobilnya, tapi yang pasti Keral ingin Kanaya satu mobil dengan dirinya dan memakai mobilnya, tangan Keral yang tak lepas dari tangan Kanaya pun menarik tangan Kanaya untuk berjalan ke arah mobilnya.            “Enggak bisa dong Keral,” sanggah Kanaya lagi.            Keral menautkan alis, kenapa Kanaya malah seribet perempuan pada biasanya? Lagian mereka kan mau ke tempat tujuan yang sama, kenapa harus berpisah mobil, jangan bikin macet jalanan dong. Kanaya akhirnya hanya mengikuti Keral yang masih mengaitkan tangannya ke lengannya, laki-laki itu membawa dirinya ke mobilnya, kenapa Keral tidak hanya bicara saja mereka akan satu mobil, kenapa harus pakai tarik-tarik begini, Kanaya kan bukan tarik tambang tujuh belasan.            “Sakit ya?” sedari masuk ke dalam mobil, Keral melajukan mobil itu, Kanaya tak lagi bersuara, perempuan itu duduk dengan anteng di samping Keral, merasa tak ditanggapi, Keral memegang tangan Kanaya, yang membuat Kanaya akhirnya menatapnya.            “Kenapa, Keral?”            “Sakit?” tanya Keral membalas tatapan mata Kanaya.            Sakit? Oh tangannya maksudnya sakit? Tidak, Kanaya tidak apa-apa hanya saja....            “Kay, ayo, sorry yang tadi.”            Kanaya terlalu sibuk dengan lamunannya, ia terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak sadar, teman lamanya sekaligus atasannya itu malah sudah membukakan pintu mobil untuknya, tangan Keral juga terulur untuk membantu perempuan itu. Setelah sadar dengan dunianya, Kanaya hanya mengangguk, sambil menyipitkan mata ia menerima uluran tangan itu, seolah menjadi putrri yang turun dari kereta kuda dan langsung disambut oleh sang pangeran, ah kenapa siang-siang bolong begini Kanaya malah menghayal?            Kanaya menyipitkan mata saat Keral malah mengajaknya ke ruangan makan khusus berdua, Keral tidak bermaksud apa-apa kan, ia hanya tidak ingin suatu kesalahan yang dibuat karena suatu kecerobohan akan terjadi dalam hidupnya, salah satunya ia takut kalo saja Nayla tahu ia sedang makan dengan perempuan lain.            Tentang Nayla, tentu Keral masih mengingat perempuan itu, bagaimana pun, Nayla tidak mungkin tidak ada di kepalanya, sekali pun itu Keral tengah bersama dengan wanita lain.            “Jangan amcam-macam ya, kamu Keral,” akhirnya setelah beberapa menit mereka duduk sambil menunggu makanan datang Kanaya mulai mengeluarkan suara lagi, helaan napas terdengar dari arah mulut Keral, akhirnya Kanaya berusara, diamnya Kanaya membuat perasaan Keral aneh, dia kan mengajak Kanaya ke sini untuk melihat senyum Kanaya, kenapa malah Kanaya diam saja sedari tadi.            Kanaya juga menghela napas, ia tidak tahu bahwa restoran yang dituju dirinya dan Keral melewati makam Ibu dan Adiknya, padahal sudah enam tahun dua orang kesayangannya itu menyatu dengan tanah, tapi rasa sesak itu tak pernah berkurang sedikit pun.            “Macam-macam gimana?” setelah menaruh ponsel di mejanya, ia kembali menatap Kanaya, perempuan itu sudah menatapnya dengan selidik, matanya ia sipitkan, seolah menjadi pistol yang dengan sekali kedip maka Keral akan terbunuh dengan tatapan itu.            “Ya ini kenapa kita di tempat begini?”            “Ya makan,” jawab Keral apa adanya, yang semakin membuat Kanaya melonggo tidak mengerti dengan jawaban yang diberikan oleh Keral.            Enggak, bukan begitu maksud Kanaya, Keral sayang, Kanaya hanya takut, ia di sini hanya berduan dengan keral, kalo Keral khilaf bagaimana?            Seakaan gregetan dengan sikap Keral yang entah kenapa ia benar-benar bodoh, atau hanya pura-pura bodoh, Kanaya tanpa mau menyuarakan isi hatinya. “Ya kali aja kamu mikir aku w************n, bukan hanya karena aku kemarin bales pelukan kamu, terus kamu bisa ajakin aku macam-macam ya, Keral,” peringati Kanaya penuh dengan takanan di setiap katanya, Kanaya tentu was-was sendiri, dia adalah perempuan dengan Keral laki-laki, kalau Keral berani macam-macam padanya, Kanaya juga tak akan tinggal diam, Kanaya bisa saja menendang masa depannya Keral pada saat ini.            Mengerti dengan maksud yang dikatakan Kanaya, Keral menarik bibirnya dengan senyum miring, ah ini yang Keral tunggu-tunggu.            “Memangnya kamu mau?” dengan gerak menaruh gelas yang baru saja menempel di bibirnya, Keral menatap perempuan itu yang tentu membuat Kanaya bergedik ngeri sendiri.            Kanaya juga kenapa sih, kenapa dia bisa mengatakan hal yang seharasia itu padahal ia tahu ia dan Keral hanya berduaan di sini, Kanaya seolah menyerahkan diri di dalam kandang macam.            “KERAL!” Kata Kanaya sambil memukul lengan Keral yang membuat Keral tertawa, menggoda perempuan itu ternyata mampu membuat Keral bisa tertawa begini, mengingat dirinya yang stress karena pekerjaannya yang tak kunjung selesai, sebagai arsitek Keral juga butuh inspirasi, dan entah kenapa saat melihat Kanaya tersenyum, melihat cemburutnya wajah Kanaya menimbulkan sensasi tersendiri, padahal mereka baru saja bertemu dua kali, memang ya kalau bertemu teman lama tuh rasanya, berasa kenal lama, berasa menemukan rumah baru yang hangat.            “Habis ini kamu kemana?” tanya Keral saat melihat wajah Kanaya terlihat lebih tenang.            Kanaya terlihat berpiki sedikit, wajahnya kembali lesu, ia benci harus merasakan kesedihan dan sesak lagi, terlebih bila ia sendirian di rumah, “Ke makam,” cicit Kanaya, “tadi kita lewat makan, aku mendadak kangen Ibu sama Kevand,” lanjutnya lagi yang membuat Keral paham, bahwa raut wajah sedih yang ditampilkan Kanaya tadi karena ia merindukan dua orang yang sudah mendahuluinya itu.            “Yaudah biar sekalian aku temenin, aku juga mau ngajak kamu jalan,” kata Keral setelah menculupkan daging yang berada di garpunya ke dalam saus pedas yang dialasi oleh piring kecil berwarna putih.            “Jalan?” sahut Kanaya yang masih dalam keadaan bingung, aura yang dikeluarkan Keral mendadak mengeglap, entah kenapa pikiran Kanaya malah pergi kemana-mana, perempuan itu menatap Keral juga semakin intens, memberi tahukan bahwa ia bukan wanita sembarangan yang percaya dengan laki-laki hanya karena tampan saja.            “Aku tidak akan berbuat macam-macam, kalau kamu tidak percaya, yasudah, tidak jadi.” Keral juga cukup muak, kenapa hari ini Kanaya slealu menatapnya dengan tatapan penuh curiga, Karel tak akan berbuat apa-apa dengan perempuan itu, Kanaya adalah temannya, anak yatim pula, mana mungkin keral melakukan hal yang tidak-tidak dengan dirinya?            “Janji dulu,” kata Kanaya yang membuat Keral semakin mengelengkan kepala, tapi ia tetap mengulurkan jari kelingkingnya, untuk mengaitkan di jari kelingking Kanaya, sialan perempuan ini semakin membuat hidup dan perasaan Keral aneh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD