24

1443 Words
' Aku terus membawakan bunga dengan nektar terbaik untuk kupu - kupu kesayangku. Aku yakin, dia akan tetap hidup di dalam toples kacaku tanpa kekurangan satu apa pun'- Ares Pratama . . . Ares POV “Kau… memang benar-benar Willy?” Pertanyaan itu lagi- lagi diajukan oleh Mikaela. Apa aku terasa sebegitu asingnya, sampai dia sama sekali tak percaya? Padahal, aku dan Simon memiliki kemiripan yang luar biasa. Untuk ukuran seorang mantan kekasih, Mikaela bisa dibilang sangat mengenal Simon dengan baik. Hubungan mereka terasa sudah begitu dekat seperti sahabat. ‘Aku harus berhati- hati dalam setiap tindakanku! Salah sedikit saja, dia akan tahu semua kebohonganku!’ “Baby, kenapa kamu bertanya lagi? Apa aku… terlihat seperti orang lain di matamu?” Aku sengaja memasang wajah sedih dan memelas kepadanya. Aku menatapnya lalu meraih tangannya dan berlutut di hadapannya. Aku bisa melihat reaksinya yang agak terkejut dengan tindakanku ini. “Bukan begitu, hanya saja rasanya ada yang aneh dengan selera arsitekturmu. Dan kamu juga menyuruh Helios mengawasiku. Apa kamu tidak percaya padaku? Kamu biasanya sangat percaya kepadaku. Aku… merasa sangat bingung dengan semua ini!” Dia akhirnya memberi tahu alasan kebingungannya. Baiklah, kalau begini semuanya akan lebih mudah. “Sayang, aku hanya menugaskan Helios menjagamu, bukan mengawasimu! Dan soal selera arsitektur, ini adalah mansion peninggalan keluargaku. Kalau kamu mau diganti, juga bukan masalah!” jelasku padanya. Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kepercayaannya. Aku sudah mencuri identitas adikku. Aku takkan berhenti sampai di sini. Dan satu hal yang membuat aku sadar, ternyata Mikaela jauh lebih mengenal Simon dibanding diriku sebagai kakak kembarnya. Sial sekali, bukan? Sudah berapa banyak waktu yang kulewatkan tanpa adikku, sampai aku bahkan tak mengingat bagaimana dirinya yang sebenarnya. Yang aku tahu, dia adalah anak yang taat beragama dan bersikap baik. Dia adalah sosok yang hangat dan baik hati. Kuakui, berbanding terbalik denganku! Tapi, soal selera arsitektur dan hobinya bahkan aku sudah lupa. Ah, aku baru ingat! Dia suka memasak, hanya itu hobinya yang aku tahu. Aku harus segera mencari tahu soal masa lalu mereka agar aku tak kebingungan menjalankan peranku. “Bukan ingin mengganti sih, aku hanya ingin memastikannya saja. Sudah berapa lama kita tinggal di sini?” tanyanya lagi. “Kita tinggal di sini selama dua tahun. Kalau kamu tidak ingat, aku juga tidak masalah. Kamu bisa cerita apa saja yang kamu ingat soal kita,” jawabku sambil membujuknya agar memberi tahuku sedikit masa lalunya dengan adikku. Sedikit petunjuk akan sangat penting buatku. “Kamu tahu? Yang membuat dirimu berbeda dari orang lain adalah sikap religiusmu! Hal itu yang membuat kamu menjadi sosok yang sangat baik hati dan memiliki prinsip yang jelas! Dari awal, itu menjadi alasan aku ingin dekat dan jatuh cinta kepadamu.” Dia tersenyum sembari mengingat soal adikku. Ah, ternyata yang membuatnya begitu mencintai Simon adalah kereligiusannya. Ini akan sangat menyulitkanku! Aku bukan orang yang religius dan akan sangat berbahaya kalau dia tanya- tanya soal agama padaku. Kalau orang bertanya soal agama padaku, pasti sudah kuhabisi dia. Kenapa? Entahlah, aku sama sekali tak percaya kepada Tuhan. Menurutku, kalau dia ada, dia sengaja menutup matanya melihat penderitaan ciptaannya. Jadi, lebih baik sama sekali tak mempercayai sesuatu yang tak kelihatan. Lagipula, bukan aku saja yang seperti ini. Banyak orang menganggap ateisme adalah hal yang biasa. Apalagi ini adalah Amerika Serikat! Agama bukanlah hal yang terpenting. Aku juga selalu mengejek adikku yang terlalu rajin menjalankan ibadah. Toh juga, dia akhirnya cepat mati. Lantas, apa yang dilakukan oleh Tuhan yang dia sembah itu? Ah, sudahlah! Intinya, aku tidak pernah nyambung dengan Simon soal ke-religiusan. “Apa lagi yang bisa kamu ingat?” tanyaku lagi menggali informasi soal kenangan- kenangan mereka. Semakin banyak informasi, akan semakin bagus. “Kamu… suka bernyanyi dan membacakan dongeng padaku sebelum tidur. Kamu suka membuat cake kesukaanku! Semua tentang Willy, tak pernah aku lupakan walau hanya sedikit! Bagiku, kamu adalah hal terpenting buatku!” jawabnya sambil menatap diriku yang berlutut di hadapannya. Dia tersenyum dengan sangat indah dan melihat itu, jantungku berdebar lagi. Aku sangat bahagia melihat dia mulai mempercayai aku lagi. Aku harus semakin hati- hati dan jangan sampai dia menyuruhku untuk bernyanyi atau pun memasak. Kenapa? Sudah jelas, aku tidak bisa bernyanyi dengan benar apalagi memasak. Aku harus mengalihkan perhatiannya dari segala hal yang tak bisa kulakukan. “Terima kasih selalu mencintaiku, My Baby! Kamu… mau berjalan- jalan keliling mansion? Apa kamu sudah bisa bergerak dengan baik?” ajakku padanya. “Sudah! Aku sudah lebih baik, Wil!” Dia mencoba berdiri dan aku ikut berdiri. Aku berjalan mendahuluinya, namun dia langsung menggandeng tanganku dan bersandar di bahuku. Sikapnya begitu manja dan senyumannya yang sangat indah, membuatku semakin senang. Padahal, dulu aku sangat membenci perempuan karena mereka manja dan merepotkan. Tapi sekarang, aku malah memanjakan dan mau dibuat repot asal wanita itu adalah Mikaela. Langsung saja, kami keluar dan berkeliling mansion yang sangat luas ini. Jujur saja, aku yang sudah tinggal bertahun- tahun di sini tak pernah benar- benar mengelilingi mansion ini. Aku terlalu sibuk bekerja di luar. Bisa dibilang, para pelayang yang sepertinya menjadi penikmat dari keindahan bangunan yang sangat besar, luas dan megah ini. Aku sengaja mengajaknya ke taman mansion yang dipenuhi banyaknya bunga yang indah. Kebetulan, aku dan Simon sangat menyukai taman. Itu adalah sedikit kemiripan di antara kami selain wajah tentunya. “Tamannya indah sekali!” Mikaela langsung berlari kegirangan sambil memutarkan badannya karena sangat mengagumi keindahan taman di mansion ini. Aku memang sangat memerhatikan soal taman ini. Banyak kenangan yang kulalui dengan adikku saat kami masih kecil. Saat tidak ada paman, kami selalu bermain di taman. Aku selalu mengenalkan warna dan jenis bunga kepada Simon. “Kamu suka?” tanyaku dan langsung diangguki cepat olehnya. “Kamu pasti sangat merawat taman ini karena kamu sangat menyukainya. Di sini, ada banyak jenis bunga- bunga yang sangat cantik! Kamu bilang, kamu selalu suka taman karena banyak kenangan indah dengan keluargamu. Kalau boleh tahu, aku sama sekali tak mengingat soal keluargamu, bisa kamu mengingatkannya lagi?” pintanya padaku untuk menceritakan soal keluargaku padanya. Lidahku kelu mendengar kalau Simon menyatakan soal kesukaannya pada taman karena banyaknya kenangan indah dengan keluarganya. Aku sedikit tersenyum mengingat kenangan saat kami sekeluarga ke taman. Semuanya begitu indah waktu itu. Keluargaku dan kebahagiaannya ternyata semuanya begitu singkat bagaikan embun yang hilang sekejap di pagi hari. Betapa ironisnya kalau mengingat saat ini aku adalah seorang yatim piatu. Aku tak memiliki sanak saudara lagi! Keluarga terakhirku juga sudah meninggal dunia. Kapan ya, terakhir kali aku merenungi soal ini? Seakan, semua kebenaran ini sangat menampar habis diriku. Aku memiliki segalanya dan harta yang luar biasa berlimpah. Tapi, mau ke mana semua itu? Aku cari hanya untuk bawahanku? Ternyata aku sadar, aku memang sangat membutuhkan keluarga. Dan hanya kau, Mikaela! Hanya dirimu yang pantas untuk jadi keluargaku. Tempat di mana aku akan kembali dan pulang. “Keluargaku… mereka sudah meninggal. Aku dibesarkan oleh pamanku dan tak lama setelah lulus kuliah, beliau juga meninggal.” Aku menjelaskan sedikit soal keluargaku. Mikaela yang mendengar itu, langsung memasang wajah prihatin. Ah, aku benci dikasihani seperti ini! Tapi, aku tak bisa membencimu, Mikaela! Dia melangkah mendekatiku dan memelukku erat. Aku agak terkejut, tapi aku menerima pelukannya. Selang beberapa menit, dia melepas pelukannya dan memegang kedua pipiku. Dia menatapku dengan penuh kasih sayang, bukan rasa kasihan. Tatapannya seketika menghangatkan hatiku. “Dengarkan aku! Kamu gak sendirian! Aku adalah istrimu dan aku adalah keluargamu mulai sekarang! Kita akan saling memiliki dan saling membutuhkan! Jangan berpikir kalau kamu gak punya siapa- siapa lagi, ya. Kita keluarga dan tempat pulang satu sama lain!” Perkataan itu lantas menyentuh hatiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar- benar memiliki seseorang yang menjadi bagian dari diriku. Walau aku sudah menipumu, aku tak menyesal, Mikaela! Aku bisa menjadikan dirimu sebagai bagian dari keluargaku dengan cara seperti ini bukanlah masalah! Tak ada yang bisa memisahkan kita! Kita hanya akan memiliki satu sama lain ke depannya. “Wil, kamu menangis?” tanyanya sambil mengusap air mataku yang jatuh begitu saja tanpa sepengetahuanku. Aku tersenyum menerima segala cinta dan kelembutan dari Mikaela. Tanpa ragu, aku langsung mengecup dahinya dengan penuh kasih sayang. “Jangan pernah tinggalkan aku! Kumohon!” bisikku setelah aku mengakhiri kecupan itu. Mikaela hanya tersenyum sambil menatapku dengan penuh cinta. “Aku takkan pernah meninggalkanmu, apa pun yang terjadi! Karena aku, sangat mencintai Willy-ku!” Mendengar itu, aku langsung terkejut dan memundurkan langkahku. Aku sangat bodoh ternyata! Semua tatapan, cinta, dan rasa sayang itu ternyata bukan dia tujukan kepadaku. Itu untuk adikku! Untuk William Simon, bukan Ares Pratama. Mikaela hanya mau jadi keluarga adikku, bukan menjadi milikku! Sialnya, kebenaran ini lagi-lagi menamparku. Saat aku memberikan hatiku, aku kembali disadarkan bahwa orang sepertiku memang tidak berhak menerima cinta yang sesungguhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD