25

1626 Words
' Kupu - kupuku masih terus hidup dengan menghisap nektar dari bunga yang selalu kuberi padanya. Aku tidak jadi merasa bersalah dengan apa yang sudah kulakukan sejauh ini' - Ares Pratama . . . ‘Kenapa aku jadi ragu seperti ini? Kenapa aku marah ketika menyadari kalau dia sangat mencintai Simon? Harusnya, aku memanfaatkan semua ini!’ Aku membatin kembali berfokus untuk memilikinya. Aku harus ingat bahwa memiliki dirinya adalah yang terpenting, tak peduli dia menganggap diriku siapa! Justru, aku harus memanfaatkan situasi ini. “Terima kasih untuk semuanya, Baby! Bagaimana kalau kita melihat pemandangan dari rooftop?” Aku mengalihkan perhatiannya. Aku bisa melihat kalau dia hanya tersenyum seakan mengabaikan sikapku yang sedikit aneh tadi.             Kami berjalan menuju rooftop mansionku sambil melihat pemandangan dari atas. Mikaela hanya tersenyum mengagumi indahnya pemandangan yang dilihat dari sini. Aku bisa melihat wajah tersenyumnya yang semakin menambah kecantikannya dan juga rambut ikalnya yang diterpa angin. Saat- saat bersama Mikaela, adalah saat di mana diriku benar- benar bisa tersenyum dengan bahagia. Setiap detik dalam hidupku bersamanya akan selalu kusimpan dan kuingat sampai aku mati nanti.             Ternyata, walau aku adalah orang yang sangat buruk, aku masih punya kesempatan merasakan yang namanya kebahagiaan. Jadi ini kebahagiaan? Saat di mana rasanya hati begitu tenang dan membuat kita tak mengawatirkan apa pun. Pantas saja, Simon dulu menyuruhku untuk mencintai. Ternyata, cinta benar- benar membuat seseorang bahagia. ‘Maaf adikku! Dulu aku mengucilkan dirimu dan mengejek dirimu sebagai b***k cinta. Sialnya, sekarang aku juga adalah b***k cinta! Dan kita adalah b***k cinta dari wanita yang sama. Kebetulan yang sangat lucu ya!’ batinku merasa agak bersalah selalu mengucilkan Simon yang dulu selalu mencintai Mikaela dengan sepenuh hatinya. Ternyata, wanita ini sangat layak untuk dicintai. Dia tidak boleh disakiti oleh siapa pun. “Aku sangat suka tempat ini! Bodohnya, kenapa aku sampai lupa tinggal selama bertahun- tahun di sini. Willy, aku sudah merasa lebih baik. Bagaimana kalau kita ke Indonesia melihat makam papa?” pintanya membuat aku sedikit terkejut. Ah, aku harus membuat alasan lagi kalau sudah seperti ini. “Kita akan ke sana kalau kondisimu sudah benar- benar baik, Mikaela. Aku takut selama perjalanan panjang ke Indonesia terjadi sesuatu padamu. Kumohon, mengertilah!”             Aku mengusap kepalanya sambil menatap hangat dirinya untuk mencoba meyakinkannya. Semakin lama di sini, aku akan memastikan kalau akan melupakan keluargamu, Mikaela. Karena mulai sekarang, hanya aku yang menjadi keluargamu. Tak ada yang lain! Kamu hanya akan membutuhka diriku, bukan yang lain. “Begitu ya? Baiklah!” Dia akhirnya mengangguk walau wajahnya agak kecewa. “Jangan merengut gitu, Baby! Percaya saja kepadaku ya?” Aku berusaha membujuknya dan akhirnya dia mengangguk. Ah, mudah sekali membujuk wanita yang satu ini. Dia sangat naïf dan sikapnya yang beginilah yang membuatku semakin jatuh cinta. “Wil, aku lapar dan ingin makan di luar! Aku pingin keluar bersama kamu, boleh ya?” ajaknya untuk makan di luar. “Baiklah! Ayo kita makan di luar!” Tentu saja aku mengiyakan permintaannya untuk makan di luar. Kami langsung berjalan menuju bagasi untuk mengambil mobil. Sesampainya di sana, Mikaela malah terdiam melihat isi bagasiku. “Sejak kapan, kamu mengoleksi mobil sebanyak ini? Ada mobil berbagai jenis mobil sport, BMW dan Mercy. Seingatku, mobil kamu cuma yang Ford itu?” tanyanya penuh selidik soal mobil- mobilku. ‘Sial! Aku lupa kalau Simon bukan tipikal pengoleksi mobil sepertiku?’ keluhku dalam hati. “Ya… kamu cuma ingat yang sering aku pakai sewaktu kuliah. Setelah memimpin perusahaan, aku menamah koleksiku satu per satu,” jawabku berusaha memberi jawaban yang masuk akal buatnya. “Iya ya! Kan aku yang lupa ingatan! Yuklah, aku mau naik Buggati!” Mikaela langsung menunjuk Buggati berwarna hitam itu untuk dia naiki. Ah, aku tahu kalau dia agak tertarik soal mobil sport. Baguslah kalau begitu! Langsung saja, aku mengambil kunci mobil yang dia pilih dan kami pergi menuju Restoran terbaik di kota ini.   L’Espaller Restaurant, Boston                                        Aku memilih sebuah restoran termahal dan terbaik di kota ini. Tempatnya juga sangat mewah dan aku langsung mereservasi tempat VVIP. Mikaela terlihat cukup menyukai pilihanku dan aku senang melihat ekspresinya saat ini. Segera saja, kami memesan makanan untuk makan malam kami. “Bagus sekali! Apa kita sering ke sini dulu?” tanyanya sambil menyantap makanannya. “Tidak juga, hanya saja aku tertarik untuk mencoba wine yang ada di sini. Wine di sini cukup terkenal,” jawabku membuatnya memasang ekspresi bingung lagi. Aku baru teringat, pasti Simon tak pernah membicarakan soal wine atau minuman yang memabukkan. Dia adalah anak terang dan pasti jauh ari hal yang seperti itu. “Wine? Kamu selama ini melarangku minum, tapi kamu sendirinya minum?” tanyanya tak percaya. Sudah kuduga, dia pasti bertanya seperti ini. “Begini, aku hanya meminum wine asli dan tidak sampai mabuk. Aku melarangmu, karena sikapmu yang agak gelojoh dan hal itu membuatku takut kalau kamu jadi suka mabuk- mabukan. Kalau dalam pengawasanku, aku takkan melarangmu minum.” Aku berusaha memberikan penjelasan yang semasuk akal mungkin. “Benarkah? Kalau begitu, aku juga mau segelas wine!” Dia memesan segelas wine untuk dirinya. Aku tak melarang, karena bagaimanapun aku juga mengonsumsi minuman itu. Terkadang bahkan aku sampai mabuk karena ingin melupakan semua masalah yang membebani pikiranku. “Cheers!” Mikaela mengangkat gelasnya dan aku pun mengikutinya. ‘Ting!’             Kami bersulang untuk meminum wine bersama. Aku memerhatikan caranya minum dengan sangat anggun dan elegan. Aku menyeringai melihat dirinya yang begitu cantik walau hanya meminum wine dengan gaya seperti ini. Ini pasti pertama kalinya dia meminum wine karena selama ini adikku melarangnya. Dan hebatnya, dia mau saja dilarang begini dan begitu oleh adikku. Dia adalah wanita yang lucu dan penurut. “Umhh.. rasanya aneh!” katanya setelah meminum seteguk wine asli itu. “Hahahaha!” Aku hanya tertawa melihat wajahnya yang kecut setelah meminum wine. Dia memang sama sekali tak pernah menyentuh yang seperti ini. “Apa yang lucu?” Dia mengerucutkan bibirnya sambil menatapku kesal. “Ini alasanku dulu melarang kamu! Kamu kelihatannya tidak cocok dengan minuman yang seperti ini. Kamu lebih cocok minum s**u atau teh,” ujarku membuat wajahnya semakin kesal. Oh, sekarang dia menggembungkan pipinya. Aku jadi semakin gemas saja! “Aku bukan bayi!” balasnya merasa tak suka dibilang tak cocok dengan minuman beralkohol. “Aku tidak bilang kamu bayi, mana mungkin aku mau menikahi bayi. Kamu lebih cocok punya bayi!” ucapku membuat dia terdiam seketika. “Bayi… punya… bayi? Aku… kenapa aku merasa kalau aku pernah memiliki seorang bayi?” gumamnya bertanya- tanya kembali membuat aku menyesal karena mengucapkan sesuatu yang salah lagi dan lagi. Sialnya, aktingku sepertinya sangat jauh dari kata sempurna. “Dari dulu, kamu sangat menginginkan seorang bayi. Tenang saja, Baby! Kita akan memiliki bayi kita!” kataku sambil menggenggam tangannya. “Mungkin hanya perasaanku saja ya? Aku memang merasa ingin segera memiliki seorang anak. Willy, ayo kita pulang.” Dia meminta pulang karena sudah merasa cukup berada di sini.             Sepanjang perjalanan, dia hanya diam seakan memikirkan sesuatu yang sulit untuk dia ingat. Naluri seorang ibunya pasti sedang bekerja sekarang! Dia memiliki seorang putri yang kini berada jauh darinya. Cepat atau lambat, dia memang akan menyadari ini. Aku harus memanipulasi pikirannya sehingga dia tak mengingat semua soal masa lalu dan keluarganya lagi. “Baby, kamu mau langsung istirahat?” tanyaku sesampainya di mansion. “Willy? Kapan kita akan memiliki bayi- bayi yang lucu?” tanyanya sambil bergelanyut manja padaku. “Kapan pun kamu mau!” jawabku dibalas senyuman bahagia olehnya. “Hei!” Dia agak terkejut karena aku langsung menggendongnya ala bridal style menuju kamar kami. Mungkin inilah waktunya! Waktu yang kutunggu- tunggu untuk memiliki dirimu Mikaela. Aku meletakkannya dengan lembut ke ranjang yang akan menjadi saksi dari keberhasilan Ares memiliki Sang Aphrodite sepenuhnya. “Aku sangat mencintaimu… Willy,” bisiknya membuatku langsung membola.             Aku melepas pelukanku padanya dan menghindar darinya. Tiba- tiba, aku sama sekali tak menginginkan ini. Dia menyebut nama orang lain dan menegaskan kalau dia mencintai orang lain. Aku tak bisa menerima itu. “Kenapa?” tanyanya dengan tatapan bingung. “Aku lupa, kalau ada beberapa pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Mandi dan ganti bajulah. Aku harus pergi sekarang,” ujarku membuat alasan langsung meninggalkan dirinya yang memandangku dengan tatapan bingung dan bertanya- tanya.             Aku langsung pergi ke ruang kerjaku dan duduk kursi kebesaranku. Aku memijit pangkal hidungku berusaha mencerna semua kejadian hari ini. Aku sadar, kalau aku sudah terlalu mendengarkan kata hatiku saat bersamanya. Harusnya, aku abaikan saja dan terus melakukan hal  yang aku inginkan bersamanya. Sialnya, hatiku menolak karena dia menyebut nama orang lain walau itu adalah adikku sendiri. ‘Ceklek!’ Pintu ruang kerjaku terbuka dan menampilkan Helios yang sedang masuk ke sini. “Tuan? Anda belum tidur?” tanyanya. Dia sebenarnya sudah biasa keluar masuk ke ruang kerjaku. Dia adalah orang kepercayaanku dan aku sama sekali tak mencurigainya, walau terkadang aku mengancamnya saat dia memberi saran kepadaaku. “Seperti yang kau lihat!” jawabku singkat. “Kebetulan, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan mengenai masa lalu Tuan William dan Nyonya Mikaela.” Dia langsung menyampaikan sesuatu yang memang ingin kudengar saat ini. “Beri tahu semuanya kepadaku!” perintahku tanpa basa- basi. Dia langsung berjalan ke hadapanku dengan sebuah tas yang kemungkinan isinya adalah beberapa barang milik Simon yang diambilnya dari apartemen pribadi adikku itu. “Sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Apa anda tidak menemani nyonya di kamar?” tanyanya mulai mengurusi urusan pribadiku. “Kau sangat penasaran soal hidupku sekarang ya? Kau terlalu mendalami peran sebagai bayanganku saampai mengurusi sampai sebegininya, Helios.” Aku memberikan sedikit peringatan kepadanya supaya tidak mengurusi urusan pribadiku lagi. Walau aku percaya padanya, aku tidak pernah memberi tahu urusan pribadiku padanya.  Tidak pada siapa pun! Aku selalu berpikir untuk menyelesaikan urusan pribadiku sendiri. “Maafkan kelancangan saya, Tuan!” Dia langsung meminta maaf seperti dugaanku. Sikap itulah yang kusuka darimu, Helios. Dan inilah alasanku memungutmu dulu dari jalanan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD