23

2348 Words
'Semenjak menangkap kupu - kupu kesayangku ini, aku merasa lebih bahagia dan lengkap. Salahkah aku mengurungnya?' - Ares Pratama . . . Langkah demi langkah menggema di ruangan gelap itu, orang yang berada di situ langsung berpaling kala mendengar suara langkah itu. Mereka sangat ingin tahu siapa dan kenapa mereka ada di sini. Tak lama, sosok yang melangkah mendekat kepada mereka dan terlihatlah siapa dia. “Ares!” gumamnya melihat sosok itu.             Mendengar namanya disebut dengan nada penuh keterkejutan, Ares langsung saja menyeringai dan terus melangkah dengan gaya angkuhnya. Pria yang menjadi tahanan di ruangan gelap itu ingin sekali berlari dan memberi pelajaran kepada Ares. Hanya saja tidak bisa. Kakinya diborgol seperti seorang tahanan. “Bagaimana kabarmu di sini Adinata?” tanyanya dengan nada mengejek.   Sementara itu…             Mikaela baru saja terbangung tanpa mendapati seseorang yang harusnya ada di sebelahnya. Wanita itu langsung terduduk dan bingung sendiri. Dia bertanya- tanya dalam hati kemana pria yang dia kira suaminya itu pergi. Tak ingin ambil pusing, Mikaela langsung menurunkan kakinya dan mencoba untuk melangkah. “Ukhh! Rasanya sudah lebih baik dibanding kemarin. Apa yang kualami sampai aku kesulitan bergerak ya?” dia bertanya- tanya pada dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama tenggelam dalam kebingungan, Mikaela langsung beranjak ke kamar mandi. Dia tentu saja ingin membersihkan dirinya yang sudah berhari- hari tidak mandi dengan benar. Namanya juga orang sakit, dia hanya cuci muka saja.             Saat membuka pintu kamar mandi, Mikaela agak terperangah dengan kemewahan arsitektur kamar mandi ini. Perhatiannya terarah pada suatu ukiran yang dibuat dari emas. Sebuah ukiran ketopong yang sangat detail membuat Mikaela menatapnya dengan penuh selidik. “Ini… lambang Dewa Ares,” gumamnya saat mengetahui lambing itu biasanya digunakan untuk menunjuk salah satu Dewa perang mereka yaitu Dewa Ares. Mikaela pernah mempelajari beberapa mitologi Yunani dan Dewa Dewi mereka. ‘Kenapa… Willy membuat ukiran seperti ini di rumahnya. Dan juga… tidak ada salib atau lambang Kristen lainnya yang dipajang di rumah ini. Aku hanya melihat ukiran patung dan lukisan mitologi. Rasanya… aneh!’ batin Mikaela mulai merasa curiga.             Dia sangat mengenal seorang Willy. Dia tahu, apa yang disukai Willy, bahkan apa yang selalu menjadi pajangannya. Mikaela sering berkunjung ke apartemen Willy sewaktu kuliah dulu. Pria itu biasanya memasang lambang Salib atau lukisan perjamuan kudus dan juga gambar Tuhan di rumahnya. Kali ini, rasanya sangat seperti bukan dirinya. “Haissh!! Apa yang kau pikirkan Mikaela! Mungkin saja, ini peninggalan keluarganya! Ingat kalau dia bilang ini adalah mansion keluarganya!” Mikaela mengenyahkan kecurigaannya. Da sama sekali tak ingin berpikir yang aneh- aneh. Kepalanya akan terasa sangat sakit kalau dia mulai memikirkan sesuatu yang berat- berat.             Dia pun mandi dan setelahnya dia mengambil baju untuk dia kenakan. Mikaela merasa semua yang ada di sini sangat mewah, bahkan semua bajunya disusun di sebuah ruangan yang sangat luas. Dia bukannya tak suka, hanya saja dia adalah tipikal orang yang sederhana. Dia juga agak bingung kenapa Willy berubah menjadi orang yang sangat mencintai kemewahan. Terlalu banyak hal yang membingungkan semenjak dia kehilangan ingatannya.             Dia langsung melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya lalu beranjak menuju ruang makan. Dia melihat para pelayan sudah bersiap di depan pintu sembari menungguinya. Mereka semua menunduk dan terlihat begitu menghormati Mikaela. “Selamat pagi, Nyonya!” sambut mereka hanya dibalas anggukan oleh Mikaela. “Jam berapa sekarang?” tanyanya pada pelayan itu karena tak sempat melihat jam di kamarnya. “Hampir… pukul sebelas, Nyonya.”             Mendengar itu, Mikaela terbelalak! Ternyata dia bangun kesiangan dan pastilah pria yang dia kira Willy sudah pergi bekerja. Mikaela merasa semakin heran kenapa Willy (palsu) tidak membangunkannya. Padahal biasanya, pria itu selalu mengingatkannya soal waktu. Mikaela kembali didera kebingungan. Sembari melanjutkan langkahnya ke ruang makan, Mikaela masih terus berpikir tentang semua keanehan di sini. Dia memang tak merasa tinggal dengan Willy yang dia cintai dulu. “Nyonya, apakah anda ingin minum su.su? Itu baik untuk kesehatan anda,” saran salah seorang pelayan membuyarkan lamunan Mikaela. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Tiba- tiba sebuah ide masuk ke dalam pikirannya. “Sudah berapa lama… kamu bekerja di sini?” tanyanya kepada pelayan itu. “Saya Nyonya?” tanya sang pelayan balik. “Ya!” balas Mikaela. “Sudah dua tahun,” jawabnya jujur. “Bagaimana selama ini saya memperlakukan kamu?” tanya Mikaela lagi dengan nada menyelidik. “Bagaimana nyonya memperlakukan saya? Bukannya nyonya…” “Selamat pagi, Nyonya Simon!” Helios langsung memotong jawaban sang pelayan itu. Untung saja dia datang di waktu yang tepat. Kalau tidak, rahasia tuannya bisa segera ketahuan. “Kau… yang selalu menemani Willy di rumah sakit? Ada apa datang ke sini?” tanya Mikaela bingung kala melihat kedatangan Helios yang menurutnya agak tiba- tiba. “Saya ditugaskan Tuan Simon untuk memastikan keadaan anda selama beliau bekerja!” jawab Helios meyakinkan sembari tersenyum kepada Mikaela. “Kenapa keadaan saya harus dipastikan? Saya merasa lebih baik! Oh iya, bagaimana tadi kamu bilang soal saya? Apa selama ini saya berlaku baik kepada kalian semua?” tanya Mikaela lagi pada pelayan itu. Helios sedikit melotot seakan memberi kode kepada pelayan itu untuk menjawab sesuatu yang sebaliknya. Helios sengaja menjatuhkan sebuah kertas dan pelayan itu langsung mengambilnya. Dia membaca tulisan yang ada di dalam kertas itu. ‘Katakan kalau selama ini Nyonya Simon memperlakukan semua pelayan dengan sangat baik!’ “Anda sangat baik, Nyonya! Oleh karena itu, kami sangat senang saat mendengar anda keluar dari rumah sakit!” jawabnya berbohong.             Sebenarnya, kedatangan Helios ke sini adalah untuk memastikan semua pelayan bisa berakting dengan benar. Ares sudah menugaskannya sementara dia sedang bermain dengan para tahanannya di ruang bawah tanah. Helios berusaha untuk tak pernah gagal dalam setiap tugasnya. ‘Kalau sampai aku terlambat sedikit saja, habis sudah!’ batinnya bersyukur karena tadi dia tak terlambat. Dia berhasil mengelabui Mikaela untuk kali ini. “Begitu ya, terima kasih ya. Aku lupa semuanya karena kecelakaan yang menimpaku. Aku hanya ingin tahu, bagaimana aku bersikap selama ini di mansion ini,” ujar Mikaela sambil melanjutkan sarapannya. Dia memilih untuk percaya kepada para pelayan di rumah itu. Dia sama sekali tak merasa curiga walau tadi dia merasa sedikit aneh dengan tempat tinggal ini.   Di ruang bawah tanah… “Apa kau… menikmati rumah barumu ini?” tanya Ares. “Cih! Apa maksudmu? Kenapa kau mengurung kami!?!” Adinata mendecih tak suka mendengar pertanyaan Ares. Dia sudah berminggu-minggu dikurung di sini. Bahkan, sia sama sekali tak melihat sinar matahari di sini. Dia hanya diberi makan sekali sehari dan diperlakukan sedemikian rendah. Ternyata, pelakunya adalah Ares dan memang dia sudah menduganya. “Apa ini… di luar ekspetasimu? Kau berpikir aku akan memberimu kematian begitu saja? Oh, tidak! Aku lebih suka kalau kau yang minta mati padaku!” ejek Ares lagi sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya. “ARESSS! Apa maksudmu dengan semua ini, HUH! Kau tak tahu berurusan dengan siapa?!” teriak Heinry dari sel sebelah melihat Ares terus- menerus mengejek ayahnya. Ya, Adinata dan Heinry dikurung di sel yang berbeda namun berhadapan. Ares tak mungkin membiarkan mereka bersama karena ada kemungkinan mereka bisa bebas. Walau sedikit sih! “Kenapa ya? Suara anjing mengong- gong terkadang nyaring didengar? Memangnya, aku berurusan dengan siapa? Manusia tak berguna?” balas Ares mengejek pada Heinry. “Akan kusobek mutut sombongmu setelah keluar dari sini!” marah Heinry kesal mendengar ejekan Ares. “Oh… mau menyobek mulutku ya? Keluarkan dia!” perintah Ares pada bawahannya yang khusus menjaga kedua tahanan itu di sini. “Tapi Tuan?” Mereka ragu dengan perintah Ares. “Keluarkan saja! Heinry, mari kita bertaruh! Kalau kau bisa melawan dan mengalahkanku, kupersilakan kau merobek mulutku dan keluar dari sini! Tapi, kalau sampai kau kalah, maka kau akan merasakan kegelapan lebih lama lagi di balik sel itu. Bagaimana?” Ares menawarkan sedikit pertarungan kecil kepada Heinry. “Ini saat yang kutunggu, sialan! Akan kurobek, kucabik dan kupatahkan tulangmu itu!” balas Heinry berapi- api sementara Ares tetap tenang seperti air. Tapi, bisa saja ombaknya menyeret dan menenggelamkanmu jika tak hati- hati. “Heinry! Jangan gegabah!” Adinata memperingatkan. “Dia harus diberi pelajaran!” Heinry sama sekali tak mendengarkan ayahnya. Dia maju tanpa perhitungan dan dengan cepat Ares menjatuhkannya.             Ares menyeringai betapa gegabahnya serangan Heinry. Kakak kandung Mikaela itu langsung berdiri dan kembali menghajar Ares. Namun sialnya, Ares dengan cepat menangkis semua serangannya dan mematahkan serangannya dengan mudah. Heinry cukup terkejut dengan kemampuan bela diri Ares yang tenang tapi hebat sekali. Heinry dulu merasa sombong karena pernah terlatih di militer. Ternyata, semua itu masih belum ada apa- apanya. “Katanya… kau pernah masuk militer? Apa hanya segini kemampuanmu?” ejek Ares sambil menendang perut Heinry yang sudah terjatuh di bawah kakinya. “Ukhh!” Heinry merintih kesakitan karena tendangan Ares. Pria itu benar- benar tahu di mana bagian vital yang bisa melumpuhkan lawannya. “Sampai kapan kau terus sombong, huh? Mau mati juga masih sombong?” tanya Ares menjambak rambut Heinry sambil menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. “Masukkan dia!” perintahnya pada para penjaganya dan mereka menggeret Heinry ke dalam sel-nya. “Kenapa? Apa salah kami padamu, Ares?” Adinata bertanya apa yang membuat Ares tega pada mereka. Mengurung dan menyiksa mereka di sini. Membuat mereka jauh dari keluarga mereka selama berminggu- minggu. “Kenapa? Kau tanya kenapa?!” Ares geram sambil meninju dinding di sebelahnya. “Kenapa kalian sama sekali tak sadar diri, huh?!” Ares sangat kesal lalu berjalan sambil meraih Adinata. Dia mencengkram kerah baju pria tua itu sambil melayangkan beberapa pukulan ke wajah Adinata. Pria tua itu hanya diam karena sadar diri kalau dia tak bisa melawan Ares. “Ukhh!” ringisnya kesakitan saat Ares mencampakannya ke lantai lagi. “Apa yang terjadi di masa lalu sepertinya sama sekali tak berarti buatmu!” Ares kesal merasa kalau Adinata tak merasa bersalah mengenai keluarganya. “Akuh… takh… melakukan apa punh!” Adinata tetap menjawab walau tersenggal- senggal. “Ya… kau memang tak melakukan apa pun, tapi bawahanmu yang melakukan semuanya! Karena kau! Hidup kami sekeluarga jadi terasa dikejar- kejar! Aku kehilangan kedua orang tuaku dan adikku harus mengidap penyakit yang akhirnya membuat dirinya meninggal dunia! Sementara dirimu, masih berleha- leha dengan harta dan kekuasaanmu! Tidak, itu tidak adil!” Ares mengungkapkan semua kemarahannya kepada Adinata.             Adinata menatapnya dengan penuh menyelidik. Dia tahu, kalau ini adalah sifat Ares Pratama yang sebenarnya. Sifat tenang dan liciknya hanya dia perlihatkan di depan umum. Tapi, dia meluapkan semua emosinya di saat dia merasa kesal. Ares sama sekali tak bisa menahan emosinya, apalagi itu berkaitan dengan masa lalu kelam keluarganya dan kematian adiknya. “Kau tak tahu apa- apa, Ares! Sayang sekali, orang sepintar dirimu bisa dibodohi!” tambah Adinata lagi membuat Ares menyipit melihatnya. “Bod.oh katamu? Hebat sekali tahananku ini menyebutku bodoh! Lantas kau apa?” tanya Ares balik sambil berjongkok menghadap Adinata. “Aku? Aku pun tak tahu! Kau… sangat berbeda dengan adikmu, William! Dia adalah orang baik dan kau adalah orang yang jahat!” jawab Adinata membandingkan Ares dan Willy. “Orang baik ya? Orang baik? AHAHAHAHAHAHAHAHA!” Ares tertawa psikopat sambil menutup setengah wajahnya. “Kenapa harus jadi orang baik? Orang baik itukan… cepat mati!” ujar Ares lagi merasa menjadi orang baik adalah kesia- siaan belaka. Setiap orang baik yang dia kenal, maka akan cepat perginya. Dia belum mau mati secepat itu karena masih banyak hal yang ingin dia kejar. “Kau salah Ares, hidup sebagai orang baik lebih tenang dibanding menjadi orang berambisi gila sepertimu!” balas Adinata merasa Ares benar- benar sudah lari dari jalur yang seharusnya. Dia terlalu dibutakan oleh dendam dan ambisi. “Ares! Kalau Marcel menemukan kami di sini, dia pasti akan membuat perhitungan yang tak pernah bisa kau lupakan! Marcel pasti bisa menjaga keluarganya!” Heinry berkata soal Marcel yang menjadi harapan mereka satu- satunya saat ini. “Marcel? Dia itu bodoh! Dia bahkan tak bisa menjaga istrinya dengan baik!” balas Ares membuat Heinry dan Adinata terkejut. “Baiklah, aku sudah cukup puas bermain dengan kalian hari ini! Aku kembali dulu!” Ares undur diri meninggalkan berbagai pertanyaan di pihak Adinata dan Heinry. “Tunggu sialan! Apa maksudmu!” teriak Heinry meminta penjelasan. “Ares! Kau boleh membunuhku! Tapi tolong, jangan sentuh anak- anakku! Terlebih lagi… Mikaela!” teriak Adinata memohon namun diabaikan oleh Ares.             Hatinya sangat terpukul kala mengetahui Mikaela juga terkena dampak belas dendam Ares. Adinata memukul- mukul dadanya yang terasa sesak tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Mikaela. Sebagai ayah, dia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi ada putri kesayangannya itu. Hatinya gundah dan perasaannya sangat susah. “Kaelaa!! Hikss…!” tangis Adinata. “Apa yang dia lakukan pada Kaela! Ayah! Bagaimana ini? Adikku dalam bahaya! A- aku tak bisa terus di sini! Kaela dalam bahaya!” Heinry juga meraung-raung sambil memukuli besi yang mengurungnya. Dia sangat mengawatirkan keadaan adik kesayangannya. Dia merasa tak berguna saat ini.             Kedua Djuanda ini merasa putus asa. Rasanya, semua anggota keluarga mereka sudah berada dalam genggaman Ares dalam waktu singkat. Adinata berpikir, hanya dia yang menjadi incaran Ares. Tapi dia salah! Kenyataannya, semua anggota keluarganya masuk dalam susunan rencana Ares. Dia tak tahu harus melakukan apa karena merasa tak berdaya. Dia hanya bisa meringkuk dan berharap Mikaela baik- baik saja di luar sana.             Ares baru saja keluar dari ruang bawah tanah tempat dia menyiksa tawanannya. Dia merasa sedikit puas setelah memberi pelajaran kepada keduanya. Dia ingin menemui wanita yang dia cintai itu. Dia merasa agak bersalah meninggalkannya tadi pagi. Dia memang sengaja bangun terlebih dahulu karena ada beberapa urusan dan ingin segera menghajar tawanannya. “Baby! Apa kamu sudah makan?” tanya Ares saat menemukan Mikaela duduk di ruang tengah sembari membaca buku- buku fashion layaknya para nyonya biasanya. “Kamu… dari mana saja?” tanya Mikaela menyelidik karena Ares kembali setelah lewat tengah hari. Harusnya, kalau dia benar- benar bekerja, maka dia akan kembali di sore hari. “Pekerjaanku tidak banyak, Baby. Hanya saja, mereka semua memintaku menyelesaikannya sesegera mungkin,” jawab Ares sambil duduk di sebelah Mikaela dan menggandeng wanita itu. “Sampai melupakanku, begitu?” tanya Mikaela penuh selidik. “Aku tidak pernah melupakanmu! Kamu adalah prioritasku! Jangan berburuk sangka begitu,” bujuk Ares sambil menatap Mikaela dengan penuh kehangatan. “Kau… memang benar-benar Willy?” tanya Mikaela penuh penekan membuat Ares terkejut lagi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD