KCK 8

513 Words
Khanza menarik napas dalam dan menghembuskan dengan berat. Keringatnya yang menetes seolah berbicara bahwa dirinya sangat lelah. 'Rasanya pengin hidup seperti Ceu Salamah. Disayang Ibu, selalu santai, pasti bahagia,' pikir Khanza.   Khanza kembali meletakan kain pel di tempatnya, membawa ember berisikan air bekas mengepel dan menyiramkan air tersebut pada tanaman di depan rumahnya. Gadis itu menyapukan lengan kanan pada keningnya yang tertutup keringat. Wajah putih meronanya mulai terlihat pucat menggambarkan bahwa ia sudah benar-nemar sangat lapar.   Khanza memasuki rumahnya, Ibu Masito pun berkata, "Khanza, makan, Neng. Sekalian suapin Yusuf juga," ujar Ibu Masito.   "Khanza nggak bisa bikin makanan bayi, Bu," ungkap Khanza.   "Ibu udah siapain kerokan pisang, ada di samping bakul nasi," ujar Ibu Masito.   "Oh, ya udah. Khanza makan sama apa, Bu?" tanya Khanza.   "Itu, Ibu masak telur ceplok. Tadi cuma ada dua telur, jadi Ibu masak dua. Tapi satunya sudah dimakan sama kakak kamu. Sisanya satu, itu dibagi-bagi aja yah sama adik-adik yang lain juga," ungkap istri sah dari Abah Jaelani.   "Berarti dibagi dua aja sama Rahayu?" Khanza memastikan.   "Bukan, sama Hasanah juga atuh," ujar Ibu Masito.   "Loh, bukannya Hasanah udah makan bareng Ceu Salamah?" Khanza merasa heran.   Hasanah nggak mau, katanya mau makan bareng Rahayu sama kamu juga. Jadi, telur ceploknya dibagi tiga aja ya," ucap Ibu Masito yang masih duduk ditemani kitab kuningnya.   Khanza menarik panas berat dan menghembuskan secara perlahan, ia mendengarkan perkataan ibunya dengan baik dan segera menuju dapur. Tetapi, hatinya tak bisa dibohongi, gadis itu tetap merasa sedih.   'Anak Ibu bukan hanya Ceu Salamah. Khanza juga anak Ibu!' Khanza membatin.   Gadis berkulit putih bersih dan bersinar itu mengambil telur ceplok dan sekotak garam untuk makan dirinya serta kedua adik-adik yang sejak tadi menunggunya selesai membersihkan ruangan. Perlahan, Khanza membela selembar telur ceplok menjadi tiga dan meletakannya di atas nasi yang ada di dalam masing-masing piring adik-adiknya.   "Ini buat Rahayu." Khanza memberikan nasi pada adiknya.   "Ini piring Hasanah," ujar Khanza mendorong sepiring nasi dengan potongan telur ceplok.   "Dan ini untuk si Ganteng, Yusuf," ungkap Khanza menyuapi adik paling kecilnya yang baru berusia lebih dari empat puluh hari.   "Nuhun, Ceu," ungkap Rahayu dan Hasanah berbarengan.   Khanza menunda laparnya lagi, ia lebih memilih menyuapi Yusuf terlebihdahulu. Gadis itu pun menghabiskan makanannya dengan lahap setelah selesai mengenyangkan perut si kecil Yusuf yang berwajah tampan seperti abahnya. Ia bersyukur masih diberi nikmat makanan walau hanya sepotong telur ceplok dengan taburan garam dapur.   Ibu Masito memang istri seorang kiai, bahkan istri pewaris pesantren. Tetapi kehidupannya sangat sederhana dan nyaris tak punya apa-apa kecuali iman di d**a.   Mediang mertua Ibu Masito berpesan agar menggratiskan pesantren yang dikelola suaminya sekarang. Seluruh santri di pesantren Al-Hasan Akmad ini gratis, mereka tidak pernah mengeluarkan biaya sepeser pun untuk menuntut ilmu di tempat ini. Wajar, bila Ibu Masito tak punya banyak harta untuk menikmati dunia. Terlebih, Abah Jaelani tidak memiliki pekerjaan, hanya menjadi kiai di pesantren ini dan sesekali memenuhi undangan ceramah di luar pesantren.   Gadis lain seusia Khanza di luaran sana, tentu tidak akan mampu jika dihadapkan kenyataan pahit seperti ini. Merasakan perbedaan kasih sayang yang begitu nyata dengan kehidupan keluarga yang serbah kekurangan. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD