KCK 1
Bangunan megah bersejerah itu masih menjulang tinggi. Pondok Pesantren besar bernama Al-Hasan Akmad, berdiri kokoh di Garut - Jawa Barat. Pesantren yang didirikan sekaligus peninggalan Kiai Haji Akmad Gozali ini telah diteruskan dan dikelola oleh kedua putranya.
Kiai Haji Akmad Gozali sendiri adalah suami dari Syarifah Siti Maryam Al-Hasan yang sanadnya sampai ke Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Sanad Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam tersebut terputus karena Syarifah Siti Maryam menikah dengan orang biasa, bukan habib (keturunan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam).
Dari pernikahan Syarifah Siti Maryam Al-Hasan dengan Akmad Gozali, mereka memiliki dua orang anak laki-laki yaitu Akmad Jaelani dan Akmad Jaenudin.
Dengan penuh perjuangan, Akmad Jaelani bersama Akmad Jaenudin membesarkan pesantren Al-Hasan Akmad sejak kepergian Kiai H. Gozali. Dua bersaudara tersebut begitu tulus memakmurkan pondok, demi menjalankan wasiat mendiang ayahnya. Hingga mereka tumbuh dewasa dan menjadi kiai besar di pesantren Al-Hasan Akmad.
Saat ini, Kiai Akmad Jaenudin atau biasa disebut dengan Abah Jaenudin, memiliki istri bernama Fairuzhidah dan satu orang putri bernama Faridah. Sedangkan, Kiai Akmad Jaelani, yang kerap dipanggil Abah Jaelani, memiliki istri asal Tasikmalaya bernama Siti Masito.
Pasangan Abah Jaelani dan Ibu Masito menghasilkan enam buah cinta. Putri pertama adalah Siti Salamah, ke dua Nur Adibah Khanza Azzahra, ke tiga Siti Rahayu, ke empat Siti Hasanah dan ke lima adalah satu-satunya putra di keluarga ini, bernama Akmad Yusuf. Terakhir ada Siti Jubaedah.
Di antara keenam anaknya, Ibu Masito istri dari Abah Jaelani, berasumsi, bahwa Nur Adibah Khanza Azzahra adalah satu-satunya anak paling baik, pendiam, penurut dan sempurna dibanding kelima anak lainnya.
Kisah Naluri, Ujian dan Rizki ini, akan menceritakan sosok Nur Adibah Khanza Azzahra, putri ke dua dari pasangan Abah Jaelani dan Ibu Masito, tak lain adalah putri dari Kiai di Pesantren Al-Hasan Akmad sekaligus cucu dari pasangan Syarifah Siti Maryam Al-Hasan dan Kiai Haji Akmad Gozali.
Kiblat Cinta Khanza dengan jelas akan memaparkan kehidupan Nur Adibah Khanza Azzahra yang penuh dengan suka, duka, tangis juga derita. Hingga ia tak tahu, apa itu bahagia?
"Naluri berkata, mengapa selalu saja ada Ujian dalam hidup. Sedangkan, diri ini sulit menyelesaikannya. Hingga aku tak mengenal, apa itu bahagia?"
-Nur Adibah Khanza Azzahra-
***
Subang, 10 Oktober 1996
Ketika suara sayup azan bergema, memecah sepinya subuh hari. Kehidupan, baru saja dimulai. Seorang bayi laki-laki lemah, yang hanya bisa menangis karena takut menghadapi kehidupan, baru saja lahir dari rahim seorang wanita bernama Nur Adibah Khanza Azzahra.
Detik mengalir tak begitu lambat, sementara paraji membersihkan tubuh Khanza yang berlumuran darah. Sinar Abizar telah sibuk menggendong dan mengazani bayi laki-laki yang baru lahir tersebut.
Bayi mungil itu putih dan bersih, Sinar tak kuasa menahan bibir yang terus melebar kesamping. Hati pria berkulit sawo matang itu berbunga-bunga merasa bahagia, ia tak percaya bahwa yang digendongnya sekarang tak lain adalah anaknya sendiri.
Sinar meletakan wajahnya tepat di samping kanan putra sulungnya. Perlahan azan itu dikumandangkan dengan suara khasnya yang begitu merdu.
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.... Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.... Asyhadu allaa illaaha illallaah. Asyhadu allaa illaaha illallaah... Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah... Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah... Hayya 'alashshalaah... Hayya 'alashshalaah... Hayya 'alalfalaah. Hayya 'alalfalaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar... Laa ilaaha illallaah...." Tak terasa butiran bening pun menetes di atas permukaan pipi Sinar.
Pria yang baru saja menyandang gelar ayah itu tak hentinya memandangi wajah bayi mungil di hadapannya. Sinar mengecup kening putra sulungnya, ia duduk di atas kursi yang tak jauh dari ruangan tempat Khanza melahirkan.
"Nak, kamu begitu indah. Matamu memancarkan ketulusan. Insya Allah, kelak kamu akan mejadi anak yang saleh. Ini Abah, Nak. Ini Abah!" ujar Sinar yang terus menciumi putranya.
Sinar menengadakan kepalanya, ia berkata, "Terima kasih, ya Allah. Engkau telah mengaruniakan hamba seorang putra yang begitu sempurna. Terima kasih, Engkau telah memberi hamba sebuah kepercayaan untuk mengemban amanah sebesar ini," ungkap Sinar mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Saat memandang wajah mungil putra sulungnya, ingatan Sinar membawanya pada masa enam tahun lalu, saat dirinya baru saja menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliah.
***
Bersambung...