Kirana bersedekap, melotot tak senang melihat tampang Dinar di depan tempat kerjanya. Sudah datang tak bilang-bilang, ditambah bergosip ria dengan satpam yang jaga di depan. Siapa yang tak kesal coba, melihatnya?
“Eh, Kirana sudah selesai kerja. Yuk berangkat!” Begitu melihat Kirana, senyuman lebar merekah di wajahnya, seakan mereka memang sudah janjian mau keluar sama-sama.
“Berangkat ke mana? Aku nggak ingat ada bilang mau pergi sama kamu.”
“Ish, galaknya.” Dinar mah dijudesi juga masih begitu ceria. Dengan santainya datang menghampiri Kirana dengan niat mengajak gandengan tangan biar kelihatan kayak pasangan mesra.
“Beli cincin kita dong, Kirana.” Tangan Kirana diambil Dinar dan langsung dihentakkan dengan kasar oleh Kirana.
“Kok ditepis? Hati om terluka lho!” Dinar syok, pasang wajah sedih dibuat-buat.
“Usah drama. Aku mau pergi ambil mobilku di bengkel, nggak ada waktu pergi denganmu.”
“Kirana, mobil dan cincin tuh lebih penting cincin tahu nggak.”
“Nggak ada mobil nggak bisa berangkat kerja aku tuh.” Kirana alasan saja. Tadi juga dia naik ojol kok.
“Tenang, ada Om Dinar yang mengantarkan.” Rasa geram Kirana makin jadi, Dinar sudah bebal. Suka sengaja sebut dirinya om seperti sedang meledek Kirana.
“Aku nggak sudi diantarkan sama om-om,” balas Kirana jutek, buang muka.
“Ya udah, sama Mas Dinar aja.” Dinar makin genit deh, colek pipi Kirana minta perhatian.
“Cieee ... Miss Kirana pacaran sama om-om!” Ada lagi anak-anak setan yang diajar oleh Kirana. Datang-datang meledek, mendorong Kirana sampai terjatuh ke depan.
“Kamu nggak apa-apa?” Refleks Dinar menangkapnya, memeluk Kirana erat-erat. Untuk sekian detik, Kirana tertegun. Dia menengadah, terpesona saat melihat senyuman Dinar. Sedikit ruang di hatinya bergetar, mulai timbul rasa manis.
“Awww! Ditangkap lho! Pandang-pandangan serasa dunia milik berdua!” Mendengar ejekan susulan, Kirana kembali ke kenyataan. Dia segera melepaskan diri dari Dinar, berbalik berniat memarahi mereka, tapi anak-anak sudah lari masuk ke mobil orang tua yang datang menjemput. Akhirnya Kirana hanya tersenyum terpaksa saat ibu anak-anak setan itu meminta maaf.
“Kamu sih, pakai datang ke sini segala!” Dinar jadi korban. Mereka yang salah, dirinya yang dimarahi oleh Kirana.
“Aku, kan mau ajak kamu pilih cincin bareng.” Dinar merajuk deh.
“Pilih sendiri. Apa aja juga bakal kupakai.” Malah Kirana nggak peka, omongannya makin jahat.
“Kirana mah ... dingin banget. Itu, kan buat dipakai seumur hidup. Aku maunya kamu pakai apa yang kamu suka. Ya sudahlah. Besok-besok saja.”
Sekali Dinar pulang dengan patuh, Kirana yang panik. Merasa bersalah. Mau panggil, tapi gengsi. Akhirnya malah mondar-mandir di tempat tadi, bingung mau mengejar Dinar atau tetap bersikap masa bodoh.
“Miss Kirana, mendingan cepat dikejar. Mumpung ada yang mau. Kalau om itu nggak mau lagi gimana? Mau jadi perawan tua? Sifat galak begitu nggak disukai sama cowok lho.” Datang lagi satu anak setan yang lain. Kali ini nggak kekanakan, tapi omongannya sok tahu sekali. Tepuk-tepuk pundak Kirana menasihati. Padahal mau menepuk pundaknya saja harus jinjit lebih dulu.
Anak SMP zaman sekarang ... memang menyebalkan semua! Kirana jewer telinganya, kasih pelototan ala ibu tiri. “Nggak usah sok tahu. Sana pulang! Udah malam, bahaya buah anak kecil keluyuran nggak jelas begini.” Perasaan anak ini sudah selesai kelasnya dari dua jam yang lalu. Eh ... masih juga main di tempat les, ikut campur urusan pribadinya.
“Miss Kirana, main-main jewer-jeweran udah nggak zaman tahu! Itu namanya kekerasan pada anak. Mendingan samperin itu pacarnya. Dari tadi duduk di mobilnya nggak jalan-jalan. Kode minta dibujuk tuh, yang peka dong.” Dijewer malah makin menjadi, omongan ke mana-mana sambil tunjuk mobil Dinar yang masih terparkir di sana. Mesinnya nyala, tapi tak gerak-gerak.
“Nanti diselingkuhi sama cewek yang lebih perhatian baru deh nangis-nangis di pojokan,” sambungnya.
Kirana sampai tak bisa berkata-kata. Teringat akan mantan pacar yang menyelingkuhinya dengan alasan sikapnya terlalu dingin. Dia sudah mendapatkan pengalaman hidupnya sendiri. Tak perlu lagi diingatkan oleh anak bau kencur begini.
Demi menjaga harga diri, Kirana memasang wajah datar. Tersenyum begitu sinis sembari mengacak rambut anak itu. “Nggak usah khawatir, kalau diselingkuhi, Miss Kirana yang galak ini akan menghajarnya sampai masuk rumah sakit.” Bukan akan sebenarnya, tapi sudah pernah dia lakukan sebelumnya.
“Haha ... kedengarannya kayak ancaman serius.” Anak kecil pun tahu, Kirana menakutkan kalau marah. Akhirnya dia lari deh, memutuskan untuk segera pulang saja.
“Om, Miss Kirana minta dibujuk tuh. Biasa, cewek galak maunya digombali melulu!” Ups, tapi sebelum pulang mau balas Kirana dulu. Anak nakal itu sengaja berhenti di depan mobil Dinar, teriak super keras sampai kedengaran ke mana-mana.
Kirana menutup wajahnya karena malu. Orang-orang di sekitarnya secara refleks menoleh padanya karena penasaran. Dia kemudian berlari ke mobil Dinar, dorong Dinar masuk lagi ketika cowok itu keluar dengan niat membujuk saking percaya ocehan si anak setan.
“Cepat jalan. Kita pergi beli cincin!” ujar Kirana.
Kirana tak sanggup lagi berdiri lebih dalam di tempat kursus itu. Tak mau digoda oleh Dinar juga. Rasanya jadi makin emosi saja.
“Nggak jadi merajuk?”
“Kamu yang merajuk! Bukan aku!”
“Yah ... teriak lagi.”
Dinar tak pernah bisa merajuk lama-lama. Begitu Kirana duduk cantik di sampingnya, dia sudah selesai merajuk. Malah kayaknya Dinar senang diteriaki, habis tak kapok-kapok. Sudah tahu Kirana sedang kesal, dia malah sengaja cari perkara lagi.
Tangannya mendekat perlahan, merangkul pundak Kirana didekatkan hingga tersandar di pundaknya. Dia kemudian menunduk sebentar, tersenyum ceria ditatap dengan bingung oleh Kirana. “Kirana, kamu mau jenis gombalan kayak apa? Atau lebih suka manja-manjaan? Pundak Mas Dinar selalu tersedia lho.” Pastinya lengkap dengan gombalan yang membuat emosi jiwa.
“Nggak butuh! Nyetir yang benar!” Kirana segera melepaskan diri, pukul pundak Dinar dengan tamparan keras. Mau diapakan juga, rasanya kesabarannya tak pernah cukup untuk menghadapi Dinar.
“Malu-malu meong lagi. Sesekali yang jujur kenapa?” Dinar misuh-misuh, sambil mengusap pundaknya. Rasanya nyut-nyutan sedap.
“Udah jujur aku tuh! Kamu yang terlalu genit.” Mana Kirana mau mengaku, dia mah gengsian. Di luar marah-marah terus, dalam hati berharap Dinar lebih kalem menunjukkan perhatiannya. Jangan lebay banget kayak ini. Bukannya bikin senang, malah bikin eneg.