Part 5

1140 Words
Mereka telah mendapatkan cincin yang inginkan dan sekarang tengah makan malam bersama. Dinar tak henti-henti menatap jarinya manisnya. Rasanya bahagia sekali, berasa gadis desa yang dilamar oleh bos kaya. Sedangkan Kirana sebal sendiri melihat tingkah Dinar. Dia yang cewek, malah Dinar yang lebih berjiwa romantis. “Cantik sekali ... sekarang aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia.” “Cola-nya kurang es, coba disajikan lebih dingin.” “Dan tak lama lagi kita bakal pakai pakaian pengantin, diselamati banyak orang. Senangnya! Rasanya tak sabar.” “Kulit ayamnya kurang crispy, ini yang original ya? Perasaan tadi pesan yang crispy.” Dinar berhenti berseru kegirangan, balasan Kirana ditambah tampang bosannya membuat semangat Dinar berasa tersedot. Dia menatap tak puas, rampas ayam Kirana. “Yang serius dong. Dari tadi kamu begitu terus. Masih merajuk ya?” “Siapa yang merajuk. Kamu tuh yang lebay banget dari tadi ngoceh nggak jelas. Harinya udah dekat tuh, kapan mau kenalkan aku sama keluargamu?” Jangan sampai nanti keluarga Dinar yang menolak, tambah pusingkan. Malah bapaknya belum keluar dari rumah sakit ... Kirana tuh banyak pikiran, nggak kayak Dinar yang semua hal ditanggapi dengan enteng. Mereka belum dapat tempat buat resepsi, belum dapat pakaian, belum pesan undangan dan Dinar malah seenak jidatnya mau pernikahan super cepat biar bisa bersaing dengan Elard. Kirana bilang persiapan butuh enam bulan, Dinar malah main menjanjikan dua bulan pada bapaknya. Gimana dia tak emosi. Kirana suka semuanya dipersiapkan dengan baik, jadi waktu yang singkat membuat rencananya kacau-balau. “Jadi inginnya dikenalkan sama calon mertua dulu? Bilang dong dari kemarin! Mas Dinar jadi gemas deh!” Dinar malah menanggapi setengah bercanda, colek dagu Kirana sambil cengar-cengir bikin emosi. “Kamu bisa ambil cuti berapa hari? Punya paspor?” Setelah itu bicara tak jelas, tanya-tanya soal curi dan paspor seakan mau ajak berlibur. “Aku nggak ajak kamu liburan, Dinar.” Kirana tarik pipi Dinar. “Tadi katanya mau dikenalkan sama orang tuaku. Mereka pindah ke Jerman setelah pensiun.” Dia lepaskan lagi pelan-pelan, merasa tak enak sudah curigaan. “Mau pergi nggak? Aku bayarkan ongkosnya deh.” Dinar menangkap tangan Kirana, meremasnya sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Kirana. “Mana bisa, aku baru mulai kerja. Nggak bisa ambil cuti lama. Lagian mau jaga Bapak juga. Mbak sama Mas tinggalnya jauh. Mau bolak-balik ke rumah sakit kasihan.” Tadinya Dinar mau menggombal lagi, tapi karena Kirana jawabnya serius, dia ikut serius. “Kalau begitu ketemuan di acara nikahan kita aja.” Keseriusan Dinar patuh dicurigai sih. Mana ada anak mau nikah, orang tuanya tahu datang aja. Emang tamu! “Serius sedikit, Dinar. Kalau mereka nggak suka sama aku gimana.” “Aku serius kok. Ini hidupku sendiri, mereka nggak bakal terlalu ikut campur.” Nggak semua keluarga sedekat keluarga Kirana. Keluarga Dinar agak kurang akrab. Mereka nggak pernah mencampuri pilihan hidup Dinar. Inilah kenapa Dinar mendambakan keluarga hanya hangat, karena dia tidak ingin selalu merasa kesepian lagi. “Nggak usah terlalu khawatir, mereka akan datang memberikan selamat kok. Aku sudah kirim surat kemarin.” Dinar bisa diandalkan kok, dia sudah mengabari keluarganya. “Kirim surat? Video call, kan lebih gampang.” Dinar serius nih kirim surat? International pula. Kapan sampai? Balasannya sampai dulu atau tanggal pernikahan mereka? “Kirana, video call tuh nggak romantis. Surat itu lebih mendalam, niatnya kesampaian dengan baik.” Kirana yakin hanya Dinar satu-satunya cowok yang peduli pada keromantisan sebuah surat di era modern seperti ini. “Terserah kamulah. Cepat habiskan makananmu. Aku mau pulang. Besok pagi mau ke rumah sakit.” “Mau nginap di tempatku? Jalan kaki lima menit dari rumah sakit lho.” “Nggak! Pasti kamu cari kesempatan!” Dinar tertawa, niatnya ketahuan sekali. “Kan bentar lagi udah sah.” Tapi Dinar belum menyerah dong. Dia masih ingin menikmati malam bersama dan bangun pagi melihat Kirana di sampingnya. “Ya udah, tunggu sah sekalian.” Kirana mana mau. Di banyak kesibukan. Menginap dengan Dinar pasti ujung-ujungnya waktu dia dari pagi sampai siang tersita dengan sia-sia. “Nggak ngapa-ngapain deh, peluk doang.” Dinar mulai merengek, tarik baju Kirana seperti anak kecil. Yang begitu mana mempan, Kirana, kan cewek tegaan. Dia lanjut makan seakan tak mendengar apa pun rengekan Dinar. “Aku kesepian tidur sendirian terus,” sambung Dinar. Tampangnya memelas sekali, membuat Kirana merasa kayak orang jahat kalau mengabaikannya. Kirana meletakkan ayamnya kembali, menyingkirkan tangan Dinar dari bajunya. “Iyalah, tapi aku mau ambil baju dulu. Terus besok pagi kamu jangan banyak tingkah, aku mau pergi ambil mobil. Lalu nanti sekalian temani aku cari tempat resepsi yang serius. Awas kalau manja-manjaan tak jelas!” Akhirnya Kirana luluh, tapi syaratnya banyak. “Makanya aku bilang pakai jasa WO, nggak bakal terlalu repot nggak mau.” Dinar misuh-misuh deh. Percuma kalau bersama, tapi seluruh waktunya tersita dengan berbagai kesibukan. “Sayang uangnya, Dinar. Lagian acara sendiri ditentukan orang lain itu nggak ada artinya. Aku mau pernikahan yang benar-benar kusiapkan sendiri.” Kalau ini alasannya bisa diterima, tandanya Kirana ada niat menjalin rumah tangga dengan serius bersama dengannya. “Ehehe ... akan kutemani kamu ke mana pun besok.” Senyuman merekah di wajah Dinar. Cara menatapnya begitu hangat, membuat Kirana jadi sedikit terpengaruh. Reaksi begini jarang ditunjukkan oleh seorang cowok. Gimana Kirana jadi tak ikut senang, saat tahu pasangan hidupnya nanti memiliki kepedulian yang besar padanya.  “Jangan cuma janji. Besok ditepati,” balas Kirana. Pura-pura kesal, padahal dalam hati senang. “Iya, Kirana.” Dinar tahu kok, dia peka dong. Cewek kayak Kirana mah harus diikuti maunya, biar mulus kayak jalan tol. Jadilah mereka ke kost Kirana dulu, ambil keperluan menginap Kirana. Setelah itu baru bawa ke tempat Dinar. Rumahnya Dinar ternyata sebuah apartemen. Tempatnya luas, bersih dan rapi, membuat Kirana merasa akan betah. “Pemandangannya bagus.” Tempat pertama yang Kirana cek adalah ruang keluarga. Di sana ada sofa di dekat beranda, juga rak buku penuh bacaan menarik. Dia bisa membayangkan gimana rasanya bersantai di akhir pekan sambil menikmati pemandangan indah. “Kamu bisa lihat setiap hari setelah pindah ke sini.” Dinar seperti biasa cari kesempatan. Lihat Kirana terlihat senang, dia memeluknya dari belakang, bicara manis sambil berharap Kirana tak sabaran pindah ke tempatnya. “Pindahnya boleh kapan aja, nggak usah tunggu habis nikah masih lama.” Tangannya juga mulai gerak-gerak, mengelus pundak Kirana, turun ke lengannya. Lalu cium lehernya, lupa soal janji nggak bakal melakukan apa-apa. Kirana sih ingat janji Dinar. Jadi dia berbalik tiba-tiba, tinju perut Dinar. “Enam minggu lagi nggak lama. Yang sabar ya.” Habis itu dia tersenyum manis, elus pipi Dinar sok perhatian. Dinar sampai terbengong-bengong, baru sadar kalau Kirana diam-diam punya jiwa sadis. Bisa senyum manis setelah memukulnya. “Kamu mau menunggu, kan?” Dia menelan ludah, mengangguk mengiyakan perkataan Kirana. Lagian nggak sakit kok. Tinjuan Kirana kayak nggak pakai tenaga, hanya mengejutkan tanpa menyakiti. Dinar tak tahu saja, Kirana sengaja tak pakai kekuatan. Dia bukannya tak mau disentuh Dinar, hanya nggak mood. “Jadi kamarmu di mana? Aku mau mandi.” Dengar yang begini semangat Dinar balik lagi, dia berjalan cepat mendahului Kirana menunjukkan letak kamarnya. “Mau mandi sama-sama?” Mulut Dinar jujur amat, nggak pakai basa-basi. Kirana putar bola mata, ini cowok nggak bosan-bosan mendekatinya. Makin ditolak makin menjadi, mungkin Kirana biarkan saja. Siapa tahu nanti bisa bosan sendiri. “Ya sudah. Ayo, tapi jangan harap yang tidak-tidak. Mandi doang.” “Siap! Mandi doang kok.” Kalau ada kesempatan boleh lanjut yang tidak-tidak, sambung Dinar dalam hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD