Part 3

1329 Words
Akhirnya Kirana bisa membawa Dinar lolos dari interogasi saudaranya. Mereka pindah tempat, ke halaman belakang rumah sakit. Di sana ada taman kecil yang biasa digunakan pasien untuk jalan pagi. Dinar dan Kirana duduk di kursi taman, bersebelahan dengan canggungnya. Dinar lirik ke samping penuh rasa penasaran. Habisnya tadi sebelum keluar, Kirana sempat menyanggupi permintaan bapaknya. Memang lebih baik disanggupi daripada membuat keadaan fisik beliau memburuk, tapi kan ... hal begini menyangkut dirinya juga. Kok Kirana putuskan seenaknya tanpa diskusi lebih dulu sih. “Kirana,” panggil Dinar pelan. Inginnya senggol Kirana agak centil sekalian, tapi tak jadi karena tampang Kirana terlalu serius. Dinar cowok perhatian gitu, jadi harus bisa membaca sikon. Kirana terkejut mendengar panggilan Dinar, dia pikir Dinar akan marah padanya. Bicara semaunya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada hidup Dinar. Dia menoleh ke samping, menatap Dinar penuh rasa bersalah. “Aku minta maaf,” ujar Kirana. “Harusnya aku nggak seenaknya bilang iya. Padahal kamu udah punya keluarga.” Terus saja dia berbicara tanpa menunggu jawaban Dinar, seenaknya juga menduga. Intinya sampai hari ini Kirana masih berpikir Dinar itu sudah menikah, jadi cowok terlalu kegatalan masih mau main dengan cewek muda. “Tunggu dulu, Kirana. Siapa bilang aku udah berkeluarga? Om Dinar masih single lho!” Dinar segera mengklarifikasi. Tadinya sudah berpikir hubungan mereka akan meningkat, eh tak tahunya Kirana masih tersangkut di garis start karena terlalu berpraduga padanya. “Jadi udah cerai?” “Masih single, Kirana ....” Heran deh, siapa sih yang kasih info palsu begini. Pantas saja dia diperlakukan buruk terus. Ternyata ini alasannya. “Oh ... kirain.” Kirana terbengong, lalu terdiam berpikir dengan keras. “Dengar dari siapa sih? Elard ya? Atau Seira?” Perasaan Dinar sudah sogok Seira biar mempromosikan dirinya, kasih info pribadi juga biar dibocorkan pada Kirana sebagai nilai jual. Kok akhirnya masih begini juga. Memang Seira ini, jadi cewek terlalu b**o. Bantu comblangkan aja tak becus. “Nggak dari siapa-siapa. Tampang kamu aja yang kayak lelaki beristri, tapi masih kegatalan mau cari simpanan.” Ini adalah reaksi terpolos Kirana yang pernah Dinar lihat. Cewek itu bisa dengan begitu terus terangnya mengungkapkan isi pikiran di depan orangnya langsung. Dinar tepuk jidat. Antara mau marah atau mau cubit Kirana saking gemasnya. Habis gimana, omongannya pedas, tapi cara menatapnya manis begini. Seperti sedang memelas dengan mata berair, Dinar, kan jadi kepicut. “Jadi kamu sungguhan masih single? Tunangan nggak punya? Pacar atau cewek yang lagi dekat?” Terus Kirana mulai tanya-tanya seperti cewek sedang jatuh cinta ke cowok taksiran. Hanya minus tatapan penuh kekaguman dan rona pipi memerah malunya. Biar begitu juga Dinar merasa agak senang melihat Kirana antusias terhadapnya. Tangan Kirana yang menyentuh dadanya seakan mau memeluk itu membuat Dinar sedikit berdebar. Dinar merasa ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Rasanya agak curang karena memanfaatkan situasi Kirana saat ini demi kepentingan pribadi, tapi salah Kirana sendiri. Dia kok yang bilang mau menikah lebih dulu. Bukan Dinar yang curi tulang, oke? “Cewek taksiran aku ya kamu. Kok nggak peka-peka sih, Om Dinar sedih lho.” Dinar menarik tangan Kirana ke belakang hingga tubuh mereka bertubrukan. Jarak tatap antara keduanya hanya sekitar tiga sentimeter, membuat perasaan ikut menjadi sentimentil. Momen itu membuat waktu terasa sedikit lambat, meningkatkan emosi yang seharusnya tak ada. Rasa lega mengisi relung hati Kirana. Sekarang penyesalannya sedikit berkurang dan dia rasa, ini adalah kesempatannya untuk mewujudkan janji yang tadinya berniat dia ingkari. Perlahan Kirana melepaskan diri dari Dinar. Sebagai gantinya dia menggenggam tangan lelaki itu. Lengkap dengan tatapan penuh harap yang menjadi serangan kedua pada hati Dinar. “Kalau begitu mau menikah sungguhan dengan aku?” Argh! Dinar teriak kesenangan dalam hati, dia lamar! “Sampai keadaan Bapak membaik aja. Nanti kita bisa cerai dan kamu bisa cari cewek manapun yang kamu inginkan. Aku nggak bakal memaksa kamu bertanggung jawab selamanya padaku.” Semenit kemudian, Dinar sakit hati. Kirana memang kejam, baru juga dilamar sudah merencanakan perceraian. “Aku nggak mau!” Dinar merajuk. Tarik tangannya menjauh, mengalihkan pandangan dari Kirana. Kirana terkejut, terdiam menerima penolakan tersebut. Dia yang salah, seenaknya menentukan hidup orang lain demi keegoisan pribadi. Dan sekarang inilah balasannya. Penolakan yang membuatnya merasa sedikit terluka. Melihat reaksi Kirana, Dinar menoleh kembali. Dia memberikan tatapan yang begitu serius. “Kirana, pernikahan bagi aku tuh sesuatu yang spesial. Hanya untuk sekali seumur hidup. Menikah dengan alasan apa pun tak masalah, tapi menikah untuk bercerai tak bisa aku terima. Mengerti?” Kemudian Dinar mengungkapkan dengan jelas bagaimana pandangannya mengenai arti sebuah pernikahan yang Kirana sepelekan. Kirana jadi malu, dia mengangguk lemah. Sudah berprasangka, memaksa dan baru sekarang menemukan sisi baik dari Dinar. “Aku minta maaf. Kalau begitu aku akan kembali ke ruangan Bapak, terus jelaskan kalau kita tak punya hubungan apa-apa.” Kirana telah membulatkan tekat, akan menerima apa pun risiko dari keputusannya. Sejak awal yang membuat kebohongan adalah dia, Dinar tak perlu ikut menutupi kebohongannya. Namun, sesaat sebelum Kirana pergi, Dinar menarik tangannya. Menuntun Kirana agar kembali duduk. Kirana terheran-heran, pasang wajah bingung saat Dinar meletakkan kedua tangannya di pundak Kirana. Gelagat Dinar seperti ingin mengucapkan hal penting dan memang itu yang akan dia lakukan. “Kamu nggak perlu minta maaf, Kirana. Kita bisa menikah dengan tujuan belajar saling mencintai. Begini lebih baik daripada pernikahan pura-pura, kan? Ayo buat keluarga yang sempurna dan menjalani hidup bahagia bersama selamanya.” Dinar bisa menolak lamaran Kirana, tapi dia juga bisa melamar kembali, mengubah kondisi yang tadinya buruk menjadi sebuah rencana masa depan yang indah. Kirana terharu, air matanya berjatuh. Cara Dinar memperlakukannya begitu baik, terlebih setelah semua yang dia lakukan pada cowok itu. Kekeraskepalaan Kirana tak ada artinya lagi dibandingkan dengan janji yang begitu indah. “Tapi ini nggak adil buat kamu. Kamu hanya melakukannya demi aku. Padahal aku bukan orang yang kamu sukai.” Hanya satu masalahnya, Kirana merasa tak pantas menerima semua kebaikan itu. Dia ingin Dinar yang begitu menghargai arti pernikahan mendapatkan wanita yang pria itu cintai. Bukan seorang wanita egois yang belum lama dikenal. Sikap Kirana membuat Dinar pusing lagi. Dia mengira bakal menerima kata ‘yes’ dan pelukan hangat yang romantis. Tak tahunya isi pikiran terlalu serius Kirana menjadi penghambatnya. Apa boleh buat, Dinar harus pakai jurus andalan, rayuan yang dibuat terdengar semeyakinkan mungkin. “Kirana, kamu kapan mau mengerti sih ... kalau cewek yang ingin aku nikahi itu memang kamu.” Dinar menaikkan tangannya, membelai wajah Kirana dengan lembut. “Pertama kali aku melihat fotomu, aku sudah suka denganmu. Dan ketika kita akhirnya bertemu dan menghabiskan waktu bersama, rasa suka itu semakin besar. Aku yang paling mengenal isi hatiku sendiri, Kirana. Dan aku tahu, rasa suka itu pasti akan segera berubah menjadi cinta. Apa sekarang kamu masih nggak bisa memercayai perasaanku padamu?” Pernyataan cinta yang terdengar begitu tulus dan manisnya senyuman Dinar akhirnya bisa menyentuh hati Kirana. Rasa yang tadinya selalu dia ragukan, sedikit demi sedikit menjadi solid. Perasaan kalau hatinya juga akan segera berubah mencintai Dinar hadir dalam benak Kirana, bagai sebuah petunjuk untuk membantunya menentukan pilihan. “Ya, ayo berbahagia bersama, Dinar.” Kirana lantas menyentuh tangan Dinar yang tengah membelainya. Dia tersenyum kecil, mengangguk dengan pasti menerima lamaran Dinar. “Nah gitu dong! Om, kan jadi senang!” Dinar bahagia sekali, langsung memeluk Kirana erat-erat. Akhirnya dia taken juga, sudah bisa ajak Elard bersaing nih! “Lepaskan dong, jangan di depan umum. Di tempat kerja kamu lagi!” Kirana mah nggak romantis, Dinar lagi bunga-bunga malah diomeli. Dia pura-pura tak dengar aja, malah mempererat pelukan. Di saat itulah, Elard kebetulan lewat. Baru saja selesai absen dan mau mulai bekerja. Pas jam kerja mereka hari ini sama. Dan hal pertama yang dia lakukan melihat rekan kerja yang harusnya pergi absen itu, tapi malah sedang menggoda cewek di halaman adalah meneriakinya. “Dinar! Jangan kegenitan goda cewek di sana! Cepat absen dan ganti baju! Udah telat kamu ini!” Mendengar teriakan Elard, Kirana putar badan membelakangi Elard. Mumpung mukanya belum kelihatan, dia akan pastikan Elard tak tahu selamanya. Malu tahu, muka mau taruh di mana. “Sana cepat pergi absen, jangan bilang Elard kamu sama aku. Awas mulut ember!” Tak lupa Kirana mengusir Dinar, bicaranya pelan penuh penekanan. “Iya, iya, istri selalu benar. Aku suami penurut.” Dinar misuh-misuh, tapi dengan patuh jalan menghampiri Elard yang menunggu dengan tak sabaran. Biarpun akhirnya dia kena omel Elard habis-habisan, Dinar tetap bahagia. Besok baru dia mau pergi beli cincin, lalu pamer pada si tukang ceramah.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD