Tertunda

1097 Words
Terbangun dari tidurnya karena ayam yang berisik di luar sana. Beranjak membersihkan diri. Beberapa jam kemudian, dia telah duduk di meja makan dengan pakaian yang telah rapi. Dirinya telah siap untuk pergi ke Sumatera. Bersemangat menyantap masakan ibunya. “Makan yang banyak, biar nanti enggak tumbang.” Ratih meletakkan segelas s**u putih untuk anaknya. Segelas s**u yang begitu spesial dan terakhir kalinya sebelum putranya pergi dalam beberapa waktu dari dekapannya. Mengikuti sang anak untuk menyantap sarapan bareng. “Terima kasih, Ma,” jawab Wijaya sebelum menyeduh minuman putih itu. Beberapa menit mereka menghabiskan waktu untuk memenuhi nutrisi di pagi hari. Kemudian, mereka menyempatkan untuk duduk di teras, mencari sinar sang surya yang bisa memberi vitamin untuk kulitnya. “Jaya, berangkat jam berapa?” “Masih nanti siang, sekitar jam sepuluh,” jawab Wijaya yang tidak melupakan rokoknya, walaupun hanya tinggal setengah. Menikmati sejuknya pagi hari dengan cahaya yang berhasil masuk ke teras rumah, walaupun telah terhalang dengan tumbuhan yang memenuhi halaman rumah. Tidak lama kemudian, ada tetangga yang datang untuk meminta bantuan. Wijaya memilih cuek dengan tetangganya yang sedang mengobrol dengan ibunya di ujung kanan. “Halah, giliran ada maunya saja, sekarang datang, ya, Bu,” celetuknya sembari mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. “Wijaya ... bisa, kan, untuk bersikap sopan,” lirih ibunya yang menengok ke arah Wijaya duduk di ujung kiri dengan tatapan yang tetap ke arah ponsel yang ada di genggamannya. Lima menit kemudian, tetangga itu telah pergi. Ratih kembali duduk di sebelah Wijaya. Katanya, tetangga tadi meminta bantuan untuk meminjami sejumlah uang. Ratih ingin membantunya, tapi ternyata nominal yang sedang dibutuhkan begitu fantastis. Sedangkan, Ratih dan Wijaya sendiri pun membutuhkan uang itu. “Ma, mending uangnya buat beli kamera saja,” kata Wijaya memainkan ponsel tanpa menatap ibunya. “Buat makan, kali Ya,” celetuk Ratih. “Kamera itu penting buat vlogger,” kata Wijaya beranjak masuk ke kamar. Menyiapkan semua barang-barangnya. Mengangkati ke ruang tamu agar bisa mempersingkat waktu, nantinya. Ibarat kata, seperti anak kecil yang tidak sabar untuk pergi liburan ke tempat paling indah. Tapi, berbeda dengan Wijaya. Pergi ke luar pulau untuk mencari informasi demi tugasnya. “Astaga, Jaya, ini masih pagi,” kata Ratih sembari membawa selang berwarna hijau. Ratih meninggalkannya dengan wajah herannya. Melangkahkan kaki ke halaman rumah untuk menyirami berbagai tanaman yang juga membutuhkan mineral dan nutrisi. Setelah selesai menyirami, Ratih mencabuti rumput yang tumbuh liar di sana. Akibat dari rumput yang tumbuh dengan lebat membuat tanaman kekurangan zat air dari dalam tanah. “Wijaya enggak usah bantu, ya, sudah ganteng ini,” ujarnya dengan kedua tangan yang dilipat dengan nyamannya. “Mentang-mentang sudah cakep. Biasanya juga waktu seperti ini masih kucel bau jigong,” kata Ratih sembari tertawa. “Coba saja, ya, kamu tidak mau pergi, Mama pastikan kamu belum bangun dari kasur,” sambungnya masih fokus dengan rumput liar. “Heleh, kaya Mama tidak pernah muda saja.” Wijaya mengambil selang. Mengguyur halaman rumah yang terlihat gersang karena kering. Padahal, beberapa waktu lalu sudah ada hujan yang membasahi. Tapi, begitu cepat tanah menjadi gersang. Seperti hati Wijaya yang kering belum juga menemukan pasangan yang diidamkannya. “Jaya, gabut banget kamu jadi orang,” ledek ibunya, “makanya, cari pasangan, biar enggak terlihat begitu mengenaskan,” sambungnya masih berjongkok menghadap ke arah pot bunga. “Mama yang aneh. Kebanyakan orang tua itu melarang anaknya pacaran, ini malah memojokkan anaknya hanya karena menjadi jomblo yang terhormat,” jawab Wijaya dengan tertawa tipis. Beberapa waktu kemudian, mereka telah berada di mobil untuk menunu ke bandara. Tapi, di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi mengalami gangguan. Ban yang semula tidak ada masalah, harus bocor akibat terkena paku yang berceceran di jalanan. Terpaksa, mereka harus menunggu pegawai bengkel yang sudah dipanggil untuk memperbaiki. Sebab, mereka tidak membawa ban ganti. Rasanya, Wijaya ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Mengingat waktu tinggal lima belas menit lagi pesawat yang akan ditumpangi berangkat. “Ma, nanti terlambat kalau kelamaan,” kata Wijaya sembari membuka ponselnya. Matanya tertuju pada jalanan untuk mencari kendaraan yang melintas agar bisa menumpang sampai di bandara. Tapi, apesnya, tidak ada kendaraan roda empat yang melintas selama lima menit. “Jaya, bisa pakai taksi online gak?” tanya Ratih yang tiba-tiba teringat dengan sebuah aplikasi. “Sebentar, Ma,” jawab Wijaya membuka ponselnya kembali. Tapi, jaringan di ponselnya tidak bisa berfungsi dengan baik. Tiba-tiba menghilang, tiba-tiba hadir. Begitu selama dua menit. Membuatnya kesal lalu mematikan ponselnya. Tidak lama kemudian, pegawai bengkel panggilannya telah sampai di tempat. Mengganti ban dengan yang baru. Sama saja, waktu telah mepet untuk digunakan dalam perjalanan. Dengan waktu yang tinggal delapan menit, membuat mereka terpaksa mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Benar saja, sampai di bandara, Wijaya telah tertinggal pesawatnya. Mereka duduk di bangku panjang yang ada di depan. Wijaya menunduk meratapi ketertinggalannya yang tidak bisa diubah lagi. Tidak lama dari itu, mereka kembali. Daripada berlama-lama berada di tempat itu malah membuatnya semakin terpuruk. Terpaksa, harus membuat jadwal baru lagi. “Jaya, mampir makan siang, dulu, ya,” kata Ratih sembari menunjuk salah satu warung pinggir jalan. “Oke,” kata Wijaya menyetir mobilnya ke arah warung yang ditunjuk. Mereka menikmati makanan yang sudah dipesan. Setelah selesai, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah. Duduk di sofa untuk melepaskan segala rasa kecewa yang ada di dalam hati. Ditemani dengan sebuah bantal sofa yang bisa digunakan untuk melampiaskan kekecewaannya. “Bantalnya jangan dilempar-lempar,” ujar Ratih membawa air putih dalam gelas. “Kesel,” katanya sembari beranjak. “Ini minumnya?” lirih Ratih mengamati punggung Wijaya. “Enggak jadi, Ma,” jawabnya. Duduk di balkon kamar sembari membuka jaket denimnya. Menatap langit biru cerah yang disertai awan putih. Memang, di atas sana sedang berbahagia, tapi kenapa hatinya harus dipatahkan kembali dengan sebuah kekecewaan? Wijaya mengambil rokok dari sakunya. Menikmati rokok sembari bersantai. “Tiga hari lagi saja,” lirihnya sembari membuka ponselnya. Menuliskan jadwal keberangkatannya. Lalu melanjutkan untuk melihat sosial media agar menghilangkan rasa kesalnya. “Langit, beruntung hari ini kamu cerah. Andai saja mendung, benar-benar menantang emosi,” sambungnya dengan mata ke arah atas dengan terpejam. Sepuluh menit kemudian, Wijaya meletakkan rokoknya di asbak yang ada di meja. Kemudian, masuk ke kamar. Mengganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai. Keluar menuju dapur untuk mengambil satu botol air dari dalam kulkas. Kembali duduk di balkon kamar untuk menikmati udara yang sejuk sekaligus suhu yang terasa panas di kulit. “Alhamdulillah,” katanya setelah merasa puas dengan tenggorokan yang telah menemukan belahan jiwanya, air putih. “Tidur siang saja,” sambungnya meninggalkan rokok yang telah habis di dalam asbak dan air putih yang tinggal setengah. “Aduh!” teriaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD