Beberapa jam kemudian, mereka telah sampai di rumah. Duduk di ruang televisi dengan ditemani hujan deras di malam hari. Sebuah rasa dingin yang menusuk ke kulit pun membutuhkan sebuah kehangatan. Ratih berjalan ke dapur untuk membuat dua cangkir teh hangat dicampur madu serta tempe mendoan. Sedangkan, Wijaya dengan santainya rebahan di sofa. Tubuhnya diselimuti dengan kain tebal berwarna abu-abu.
Layar televisi yang menayangkan sebuah acara musik itu dengan nyamannya membuat hati terasa riang. Padahal, Wijaya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Ibarat sebuah kipas, hati dan pikirannya berputar beberapa kali. Tapi, dia harus bisa mengembalikan jiwa tenangnya demi sebuah tujuan yang baik. Harapnya, semoga tidak ada lagi sesuatu yang mengganggu pikirannya beberapa hari ke depan. Semisalnya, Aura yang dengan beraninya menjadi pengganggu di setiap waktu.
Merasa bosan dengan acara televisi, Wijaya memainkan ponselnya tanpa mematikan televisi. Membuka akun sosial media untuk mencari informasi terbaru yang ada di berbagai bidang. Tapi, tidak juga membuatnya tertarik untuk mengulik lebih dalam. Apalagi, kebanyakan yang muncul di halaman berandanya, sebuah isu yang berhubungan dengan sepasang penyanyi yang sedang renggang dalam urusan percintaannya.
“Dasar, tahu aja kalau hati gue lagi belok kanan kiri,” lirihnya meletakkan ponsel ke meja.
Matanya kembali tertuju pada televisi. Sama saja, di sana masih juga tentang isu itu. Bukan karena Wijaya yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Tapi, Wijaya merasa tidak seharusnya masalah pribadi dijadikan asumsi publik. “Wijaya, tolong Mama, belikan garam di warung depan,” kata Ratih yang membawa baskom berisi adonan gandum.
Wijaya menerima uang kertas berwarna kuning untuk dibawa pergi ke warung. Melangkahkan kaki menunggalkan rumah. Membeli garam dengan uang yang pas. Padahal, niatnya ingin menggunakan uang milik ibunya guna membeli rokok.
“Wah, Bu, enggak bisa, ya, kalau ditambah sama rokok satu saja,” kata Wijaya menerima kantong plastik berwarna hitam.
“Enggak, Mas. Uangnya saja pas,” jawabnya.
“Kalau tambah rokok satu, saya tambah lagi, bisa?” tanya Wijaya sembari tersenyum manis.
“Ya ... bisa. Kan, tambah uang, masa enggak bisa,” katanya sembari merapikan bungkus-bungkus roti yang berantakan.
“Bukan, aku tambah dengan sun ping telu.” (Bukan, aku tambah dengan cium tiga kali) Wijaya tertawa mencoba mengganggu pemilik warung. Bohong, kalau laki-laki seperti Wijaya tidak tertarik dengan pesona perempuan itu.
“Duh, sudah, kan?” tanyanya dengan menunduk.
Wijaya tertawa lalu pergi meninggalkan warung. Kembali ke rumah lalu menuju dapur milik ibunya. Melakukan perintah ibunya untuk menaburkan garam ke adonan gandum.
“Jaya, sudah, kan? Mama goreng dulu,” katanya sembari menyalakan kompor untuk memanaskan minyak. “Di luar dingin enggak?” tanya Ratih.
“Enggak, hujan saja jadi hilang seketika,” jawab Wijaya dengan asal.
“Aneh-aneh, saja, sih.”
Ratih kembali melanjutkan untuk menggoreng tempe mendoan. Sedangkan, Wijaya kembali ke ruang televisi. Membenarkan posisi selimutnya kembali sembari rebahan manja di sofa panjang. Melihat tayangan televisi, walaupun sedikit membosankan. Hatinya tergerak untuk memainkan ponselnya kembali. Terdapat beberapa notifikasi dari Aura. Entah, apa yang diharapkan oleh Aura.
“Kenapa?” tanya Wijaya menghubungi Aura kembali. Wijaya merasa takut jika ada informasi penting yang disampaikan olehnya. Bukan karena benar-benar ingin melayani sambungan telepon darinya yang tak terjawab beberapa kali. Padahal, dia saja paham dengan tujuan Aura. “Ra, lo masih dengar, kan?” lanjutnya saat telinganya tidak menerima suara sama sekali dari Aura.
“Iya, dengar, kok. Kenapa enggak diangkat dari tadi, Ya?” tanyanya dengan suara yang bergetar. Benar saja dugaan Wijaya, sedang ada sebuah drama baru yang ia lakukan. Tapi, bukan Wijaya kalau tidak bisa membedakan antara drama dan nyata.
“Sibuk.” Wijaya mematikan sambungan teleponnya.
Tidak lama kemudian, Ratih kembali ke ruang tamu dengan membawa dua cangkir teh beserta hasil karyanya. Menyajikan di atas meja lalu duduk lesehan dengan alas karpet bulu berwarna abu-abu. Berdua menikmati tayangan yang ada di layar televisi.
“Jaya, kamu taruh garam seberapa?” tanya Ratih yang meludahkan kembali gigitan tempe mendoannya.
“Lupa, Ma. Cek aja di dapur. Sisa garamnya seberapa,” jawabnya dengan memainkan ponsel miliknya.
Ratih penasaran dengan banyaknya garam yang dituangkan ke dalam adonan. Melangkah ke arah dapur kembali hanya untuk mengecek bungkus garam. Mengambil bungkus garam, membawanya ke ruang televisi. “Jaya, keren loh, bikin mendoan yang tidak seberapa, tapi dikasih garamnya tiada tara,” kata Ratih sembari tersenyum, meletakkan bungkus garam ke meja. Ternyata, tidak tanggung-tanggung, Wijaya menuangkan garam setengah bungkus. Pantas saja, saat Ratih mencicipi mendoan rasanya asin yang paling kebangetan.
“Salah Mama itu, kenapa tidak dicicipi dulu tadi. Kenapa juga harus asal goreng?”
“Buang saja, deh. Takutnya, nanti malah jadi sakit perut,” jawab Ratih sembari membawa piring ke dapur. Membuang mendoan ke dalam tempat sampah. Padahal, rasanya mubazir. Tapi, rasa yang berantakan membuatnya harus tega membuangnya. “Dasar, anak cowok tidak pernah beres,” lirihnya mencuci piring.
“Ma, kok dahinya agak aneh, ya,” kata Wijaya yang membuat ibunya menyentuh dahinya sendiri. Perasaannya tidak ada yang aneh. Hanya ada beberapa helai rambut yang berantakan. Tapi, tidak ada kotoran atau apa pun. “Dahi, Jaya yang aneh,” sambungnya sembari memegangi dahinya.
Ratih menyentuh dahi anaknya dengan pelan. Tidak ada masalah apa pun. Tapi, kenapa dirinya mengeluh sedari tadi. “Manja kali,” celetuk Ratih pergi kembali ke ruang televisi.
“Gagal, kan, mau ngerjain. Ma, mendoan boleh gagal, tapi Wijaya bukan produk gagal, kan?” tanyanya sembari memainkan ponselnya.
“Kalau bicara itu yang baik. Harapan Mama ya kamu menjadi produk unggulan. Tidak pernah gagal dalam hal apa pun. Tapi, terkadang kamu juga suka bikin gagal,” kata ibunya. “Bikin gagal Mama buat konten,” sambungnya dengan tertawa tipis.
“Itu, mah, karena Mama malu-maluin,” Wijaya tertawa.
“Oh iya, Aura itu pacarmu?” tanyanya.
“Bukan. Mana mau Wijaya sama Aura yang awur-awuran,” ujarnya dengan bibir yang tertawa lebar.
“Hati-hati, awalnya bilang kaya begitu, nanti tiba-tiba jadi jodoh, bagaimana?” godanya.
Wijaya beranjak kembali ke kamar. Teringat dengan perlengkapannya yang belum sepenuhnya dikemas. Mulai mengemas pakaiannya ke dalam koper. Tapi, ternyata masih ada beberapa barang yang terlewat. Alat mandi yang dibutuhkan lupa belum dibelinya.
“Kenapa jadi ribet kaya anak cewek, sih,” katanya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Besok beli di sana saja. Terpenting bawa uang banyak, mah, gampang,” sambungnya.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya tertidur dengan tenang di atas ranjangnya. Bertemu lagi dengan seorang gadis itu. Sebuah mimpi yang membuat Wijaya merasa bahagia. Mimpi-mimpi indahnya harus pupus akibat suara ayam yang berkokok.
“Huft, bisa enggak sih, tidur lagi,” katanya sembari mengambil handuk yang ada di belakang pintu kamarnya.