Semu

1070 Words
Wijaya menyentuh dahinya yang terbentur kaca jendela. Kemudian, merebahkan diri di kasurnya. Wijaya melihat kepulan asap di sudut paling belakang kamarnya di sebelah kanan. Beranjak mendekat untuk melihat kejanggalan yang terjadi. Berusaha mencium aroma asap itu, tapi tidak tercium apa pun. Aneh, tapi begitu terlihat nyata. Wijaya berusaha untuk menghancurkan kumpulan asap dengan jemarinya. Tapi, bukannya melebur, malah semakin menggelembung besar. Tidak lama kemudian, Wijaya merasakan sesuatu yang aneh. Kakinya berdiri di sebuah tempat yang asing. Seperti berada di sebuah pedalaman suatu pulau yang masih rimbun dengan pepohonan. Bertemu dengan salah satu warga yang mengenakan pakaian tradisional. Sedangkan, Wijaya sendiri mengenakan pakaian modern. Merasa asing dan aneh, tapi dia pun tidak bisa berbuat banyak. Kembali melangkahkan kaki ke arah depan menyusuri jalan. Walaupun, dia merasa canggung dengan tatapan warga yang sedang beraktivitas. Kakinya berhenti di sebuah rumah dari kayu. Duduk di teras yang disediakan sebuah bangku panjang dari kayu tanpa dicat. Meluruskan kaki yang terasa pegal, lalu kembali menatap ke arah depan. Masih tidak mengerti dengan kondisi saat ini. Wijaya mendengar suara pintu yang ada di sebelahnya. Secara otomatis, Wijaya melirik ke arah sumber suara. Ternyata, ada seorang gadis yang begitu manis berdiri di sana dengan menatap Wijaya sama anehnya. Mereka saling menatap beberapa saat. “Kamu siapa?” tanya gadis itu dengan wajah polosnya. “Kamu yang selama ini masuk ke mimpi malamku,” lirih Wijaya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Mimpi?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut. “Lupakan, saja. Oh iya, kalau boleh tahu, aku berada di mana?” tanya Wijaya yang telah merasa tidak nyaman dengan suasana asing di sekitarnya. “Aneh , ya, kamu,” jawab gadis yang tengah mengenakan kebaya berwarna hitam itu. “Duduk dulu,” sambungnya sembari pergi meninggalkan Wijaya yang tengah duduk di teras rumahnya. Wijaya melihat ke sekitar tempat itu. Terlihat asing, seperti berada di tengah hutan. Tiba-tiba dia tersadar oleh sebuah suara yang terdengar manis. Wijaya menatap ke arah gadis yang tengah membawa nampan berisi teko dan dua cangkir dari batok kelapa. “Silakan dinikmati,” katanya sembari tersenyum. “Kamu siapa?” tanya Wijaya. “Gendis,” jawabnya masih tersenyum dengan manis. Tidak lama dari itu, Wijaya tersadar jika semua itu hanya mimpi semata. Mimpi di siang bolong. Lagi-lagi, dia bermimpi bertemu dengan gadis itu lagi. Walaupun, terasa sakit karena harus menerima kenyataan bahwa semua itu hanya mimpi semata. Membuka matanya, Wijaya melihat Ratih tengah membawa gayung berisi air. Tangannya telah siap untuk mengguyurkan air ke tubuh Wijaya. “Untung sudah bangun,” kata Ratih membawa gayungnya kembali ke kamar mandi. Membuang air yang ada di dalamnya lalu kembali ke kamar Wijaya untuk membersihkan ranjangnya. “Ma, Gendis di mana?” tanya Wijaya dengan tiba-tiba. Tangannya sibuk mengusap wajah untuk menghilangkan ilernya. “Gendis? Ngehalu kamu,” jawabnya melangkah pergi. Wijaya bangun lalu melepas napas panjang. Melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak lama kemudian, dia telah duduk di ruang makan bersama Ratih. Duduk menikmati makanan untuk mengisi perutnya kala sore hari. Beberapa menit setelah selesai menyantap makanannya, mereka duduk di sofa ruang tamu sembari melihat tayangan televisi. Wijaya menatap koper yang masih ada di sana. Teringat dengan kejadian tadi. Kepergiannya ke pulau sebelah harus ditunda sesaat. Artinya, tugasnya pun mengalami kendala dalam penggarapan. “Sudahlah, Ya, besok juga berangkat lagi,” kata Ratih yang mengerti tatapan mata anaknya. “Nyesek tahu, Ma,” katanya dengan wajah yang dibuat sedih. “Lebih sakit ini daripada ditinggal kekasih,” sambungnya mengambil air putih. “Sok-sokan, padahal pasangan saja belum pernah punya,” jawab Ratih sembari tertawa meledek. Beberapa saat kemudian, Wijaya kembali ke kamarnya. Duduk di balkon, tempat paling ternyaman untuk melepas segala keluh kesah yang ada. Matanya menatap langit sekilas lalu memejamkan. Berusaha untuk menikmati senja yang tidak bertahan lama. Cukup dalam beberapa menit saja. Dia berdiri dan melangkah satu langkah kaki ke depan. Merentangkan kedua tangannya dengan kepala menghadap ke arah langit. Memejamkannya kembali sembari menuturkan doa dalam hatinya. Setidaknya, dengan cara itu mampu membuatnya merasa lega atas rasa kecewa dan lainnya. Pikirannya melayang terbuai angin yang semilir. Dalam hatinya masih terukir jelas nama dari gadis yang hadir dalam bayangan semu. Sebuah mimpi yang hanya terjadi dalam beberapa jam saja. Tapi, hak itu terkenang dan tersimpan dengan nyata dalam memori Wijaya. Kembali duduk di bangku. Tersenyum dengan manis sembari mengingat mimpi yang hadir beberapa waktu yang lalu. Begitu manis, bahkan kadarnya melebihi gula. Aneh, hatinya terasa bergetar kala mengingat mimpi itu. Tapi, memang itu yang ia rasakan. Apa mungkin rada cinta juga bisa tumbuh untuk seseorang yang hadir dalam sebuah kata semu saja? Wijaya mengusap wajahnya yang berbahagia lalu mengambil rokok yang ada di atas meja dekat pintu balkon. Menyalakan rokoknya. Sembari menikmati kumpulan asap, bibirnya bersenandung kecil. Sebuah lagu yang sedang naik daun di kalangan anak muda. Aku nemu widodari Bibirnya berhasil menyanyikan sepatah kalimat untuk sosok Gendis yang figurnya saja belum ditemukannya. Tapi, gadis secantik Gendis memang cocok diberikan sebuah lagu yang begitu istimewa. “Jaya, kamu mau makan enggak?” tanya Ratih dari balik pintu kamar yang terkunci. “Makan, soalnya kalau enggak makan, bisa mati,” jawabnya sembari tertawa dengan suara yang begitu terdengar keras. Ratih tertawa lalu kembali ke dapurnya. Melihat nasi yang tinggal satu sendok saja. Berpikir untuk memasak nasi lagi, tapi sudah nanggung. Apalagi, hanya untuk makan berdua saja. Akhirnya, Ratih kembali ke kamar Wijaya yang masih terkunci rapat. “Jaya, kalau mau makan, keluar!” teriaknya. Wijaya pikir, ibunya telah selesai memasak. Sehingga, bisa langsung menikmati makam malamnya. Ternyata, sama sekali tidak ada masakan yang tersaji di meja. Justru, Wijaya melihat Ratih yang sudah rapi dengan pakaian ala anak remaja. “Mama, ih, gak pantas pakaiannya,” lirih Wijaya, “Ma, makanannya mana?” sambungnya sembari meletakkan tudung makanan yang ada di tangannya. “Makan di luar saja,” jawabnya. Wijaya hanya mengangguk pasrah. Kembali ke kamar mengambil jaket dan ganti celana panjang. Pergi mengendarai mobil mencari warung makan. Mereka menepi di salah satu jalan. Masuk ke warung tenda yang menyediakan menu bakmi goreng, nasi goreng, dan lainnya. Memesan nasi goreng dua porsi dan es jeruk dua gelas. “Jaya, kamu tadi kan menyebut nama seseorang, memang siapa Gendis?” “Tokoh yang masih semu di dalam sini,” tunjuknya ke arah dadanya. Entah apa yang membuatnya bersikap sepeti itu. Wijaya merasa jatuh hati dengan nama dan sosok gadis yang sering masuk di dalam mimpinya. “Astaga, bisa enggak, sih, enggak usah .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD