Wijaya terbangun akibat air yang menyebabkan wajahnya basah. Ratih, tersangka pertama yang melakukan hal itu. Wijaya membuka mata sembari mengusap air yang ada di wajahnya. “Ma, kenapa sih?” tanyanya dengan perasaan yang kesal, “basah ini kasur.”
“Basah juga nantinya Mama yang beresin. Mandi gih, sudah sore. Salat jangan lupa,” jawab Ratih meninggalkan kamar dengan membawa gayung berwarna kuning.
“Lha iya, yang beresin Ibu Ratih yang terhormat, tapi efeknya ntar malam gue tidur di mana?” lirihnya mengambil handuk yang ada di kursi belajarnya.
Melenggang masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, meraih sajadah dan alat salat lainnya. Menunaikan empat rakaat di jam empat sore. Selesai itu, bergegas pergi ke lantai satu untuk bersantai. Duduk di ruang makan sembari memainkan ponselnya.
“Ndoro, itu kamar banjir, beresin,” celetuk Wijaya sembari tertawa. “Ma, kalau satu bulan liburan luar kota, bagaimana? Sekalian mau riset,” kata Wijaya sembari minum jus mangga yang ada di meja.
“Ya, gak apa. Heh, itu punya Mama,” jawabnya menunjuk gelas kosong yang ada di tangan Wijaya.
“Diminum anaknya juga. Ma, kenapa sih gayanya kaya anak muda?” tanya Wijaya tertawa dengan keras.
“Umur boleh menua, tapi jiwa tetap muda,” jawabnya sembari menyajikan masakannya. “Kamu berangkat kapan? Memang ke mana?” tanyanya duduk mengupas apel.
“Entah, itu apel buat apa? Nasi saja belum dimakan,” celetuknya meletakkan ponsel.
“Kamu kapan hari itu ngapain? Kok gaduh di kamar,” katanya memakan apelnya.
“Menggila.”
Beberapa menit kemudian, Wijaya selesai menikmati makannya. Sekitar pukul setengah tujuh, setelah melaksanakan salat tiga rakaat, Wijaya duduk di teras dengan memainkan ponsel. Tambah lagi, ditemani secangkir kopi dan rokok favoritnya. Katanya, kopi selalu berpasangan dengan rokok. Padahal, itu tidak sehat untuk dirinya.
Tidak lama kemudian, Ratih menyusul untuk duduk di teras. Membawa gorengan dan teh hangat di cangkirnya. Mengamati jalanan yang sepi dan meneduhkan. “Kamu ini, bisa gak sih gak usah merokok,” katanya.
“Halah, biasa, Ma. Anak muda,” jawabnya masih saja menyesap rokoknya.
“Biasa, sih, biasa. Tapi, itu tidak baik buat paru-paru kamu,” jawabnya meneguk teh hangatnya, “silakan kalau mau merokok, tapi jauh-jauh dari Mama,” sambungnya.
Beberapa jam kemudian, mereka kembali masuk. Menuju kamar masing-masing karena waktu telah malam. Istirahat untuk mencari ketenangan diri dan mengembalikan tubuh segar. Sampai tidak terasa waktu telah berganti hari.
Esok harinya, sekitar pukul lima pagi, Wijaya duduk di bangku yang ada di depan meja belajar.. Masih mengenakan pakaian yang semalam. Memainkan ponselnya beberapa saat. Kemudian, beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mengambil air wudu guna salat subuh.
Cukup dengan sekitar dua puluh menit, Wijaya selesai melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Kembali duduk di bangku dengan menyalakan laptopnya. Mencari referensi isi dari judul yang dipakai untuk tugasnya. Tapi, masih banyak informasi yang kurang sesuai. Jalan satu-satunya, Wijaya memang harus pergi untuk mencari semua informasi di tempat yang bersangkutan.
Wijaya malah membuka ponsel untuk bermain game online. Pagi hari yang disambut dengan sebuah rasa yang menjengkelkan. Tidak lama kemudian, Wijaya dipanggil oleh ibunya untuk sarapan terlebih dahulu. Tapi, dia menolak. Menuju dapur untuk mengambil sepatu lalu pergi membawa handuk untuk lari di sekitar perumahan. Kakinya terasa pegal saat mencapai setengah jalan. Berhenti tepat di depan halte, duduk di sana dengan meluruskan kaki. “Astaga, kelamaan ngumpet di kamar,” lirihnya sembari mengusap keringat yang menetes di wajahnya.
Baru saja hendak berdiri, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang begitu keras. Padahal, di sekitar ia duduk tidak ada kejadian apa pun. Wijaya berdiri lalu melangkah menuju asal suara ledakan itu. Ternyata, ada sebuah mobil berwarna hitam menubruk sebuah pohon sampai meledak.
“Itu korban bagaimana?” celetuk salah satu warga yang memakai kaos berwarna biru tua dan kerudung hitam.
Mendengar perkataan itu membuat Wijaya memberanikan diri. Kakinya dengan lincah berlari untuk melihat keadaan di sekitar mobil. Sebelumnya, Wijaya membasahi diri dengan air keran yang ada di tepi jalan. Membuka pintu mobil lalu melihat seorang anak kecil yang terlihat kesulitan bernapas.
“Tolong!” teriak Wijaya ke arah warga yang masih berkerumun.
Beberapa pria itu berlari ke arah Wijaya untuk membantu membawa gadis kecil itu ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian, Wijaya kembali menyelamatkan kedua orang tua gadis itu. Menyeret keluar lalu menggotong bersama beberapa warga lainnya untuk dibawa ke rumah sakit.
“Aw,” lirih Wijaya saat kakinya menempel pada badan mobil milik warga.
Matanya melirik ke arah bawah. Melihat kaki yang terlihat memerah. Apalagi, ada sedikit kulitnya yang mengelupas akibat luka bakar. Beberapa waktu kemudian, mereka telah turun dari mobil. Masuk ke rumah sakit dengan bantuan suster yang bekerja. Menunggu duduk di depan ruangan sembari menahan perih di kakinya.
“Mas, kakinya kena luka bakar?” tanya salah satu warga yang duduk di sebelah kanannya. Seorang bapak dengan pakaian warna hitam. Matanya ke arah kaki Wijaya yang mengelupas sedikit parah. “Sus, tolong, kaki Mas ini terkena luka bakar juga,” sambungnya sembari memanggil salah satu suster yang kebetulan lewat di hadapannya.
Bapak itu membantu Wijaya masuk ke salah satu ruangan yang ada. Kemudian, keluar meninggalkan Wijaya berada di dalam sana. Suster itu mengambil obat luka untuk mengobati kakinya. “Sus, pelan-pelan saja, ya,” kata Wijaya sembari membuka ponselnya. Ponsel yang basah akibat air keran tadi. Beruntung, tidak ada yang rusak.
“Iya, Mas, ini tidak sakit, kok,” jawabnya.
Lima menit kemudian, Wijaya keluar dari ruangan itu. Bertemu dengan Aura yang sedang berada di dekat ruangan itu. “Jaya,” panggilnya.
“Lo ngapain di sini?” jawab Wijaya.
“Eh, periksa aja.”
Wijaya mengangguk. Kemudian pergi meninggalkan Aura yang masih berdiri di sana. Kembali duduk di tempat semula. Bergabung dengan warga yang masih menunggu. “Pak, belum ada informasi?” tanya Wijaya.
“Belum, dari tadi dokter belum keluar,” jawab salah satu dari mereka.
Tiba-tiba Aura menghampirinya. “Kamu kenapa di sini? Mereka ini siapa, Jaya?” tanyanya dengan mata yang terlihat sinis dengan jemari yang menunjuk ke arah warga.
“Ikut gue, Ra,” kata Wijaya menyeret tangan Aura. Berjalan dengan menahan rasa perih di kakinya.
Mereka berada di luar rumah sakit. Berdiri di samping pintu masuk. “Kamu ini diajarin buat bisa menghargai dan menghormati orang, kan?” tanya Wijaya dengan tegas.
“Kenapa?”
“Kamu bicara dengan orang lain, apalagi orang yang lebih tua, enggak usah pakai menunjuk pakai jari. Bisa, kan, kalau bicara baik-baik. Kamu itu sudah dewasa juga, tidak pantas bicara seperti tadi. Apalagi ini jarimu,” kata Wijaya lalu masuk ke dalam menemui warga yang lainnya.
“Keluarga dari pasien, apakah ada di sini?” Perempuan dengan jas putih itu telah keluar dari ruangan yang baru saja digunakan untuk mengabdikan diri.