Mimpi

1092 Words
Malam itu, Wijaya tertidur dengan nyaman. Walaupun, akan memberikan efek di keesokan harinya. Saking merasa nyaman, waktu tidurnya terasa begitu cepat. Wijaya terbangun sekitar pukul lima pagi. Melepas selimut yang tersampir di badannya. Meletakkannya di ranjang lalu membersihkan diri. Beberapa jam kemudian, Wijaya duduk di ruang makan untuk menikmati sarapan. Duduk di sebelah kanan Ratih yang sedang menikmati air teh hangat. “Sebentar, ya, nanti Mama ambilkan,” kata Ratih meletakkan gelasnya. “Enggak perlu,” jawab Wijaya dengan singkat sembari mengambil satu porsi makan. Kemudian, berniat untuk meninggalkan ruangan itu. “Oke, Mama akan menceritakan semuanya. Silakan duduk,” kata Ratih menunduk dalam beberapa detik. “Mama sama Papa kamu berpisah karena ada sebabnya. Ada masalah besar yang tidak bisa diselesaikan, kecuali perpisahan. Walaupun begitu, Mama tetap merawat kamu dengan rasa penuh kasih sayang. Mama minta maaf, jika menurutmu Mama telah gagal,” sambungnya dengan posisi masih menunduk. “Masalah? Apa masalahnya? Kenapa, sih, selalu begitu jawabannya. Tidak jelas!” jawab Wijaya sembari mengambil piring yang sempat diletakkan di atas meja makan. “Papa kamu dulu main tangan. Kalau hanya masalah selingkuh, Mama bisa memaafkan. Tapi, kalau sudah main tangan, Mama tidak bisa untuk bertahan. Mama ... selalu berdoa supaya kamu tidak seperti ayahmu. Tapi, ternyata .... “ “Ternyata, Wijaya jauh lebih parah. Wijaya sudah menyakiti hati Mama bertahun-tahun,” timpal Wijaya meletakkan piringnya lalu meraih tubuh ibunya dalam pelukan terhangat. Air matanya menetes dengan sendirinya. “Terima kasih untuk pengorbanan Mama, terima kasih untuk selimut semalam,” sambung Wijaya masih memeluk Ratih. “Lepas, ih, masa kamu enggak malu, sih,” celetuk ibunya. “Maaf, Ndoro, Wijaya sudah salah membenci orang,” kata Wijaya sembari duduk di tempatnya. Menikmati satu porsi makanan yang sudah tersedia di piringnya. Wijaya meneguk air minumnya ketika telah selesai menikmati makanannya. Masih duduk di sana bersama Ratih. Sebuah mimpi yang tidak terasa akan terwujud. Wijaya bisa akur lagi dengan ibunya. Sejujurnya, Wijaya memang sayang dengan Ratih dari dulu. Hanya saja, rasa kecewa yang belum tuntas membuatnya merasa tidak suka. “Ma, pertama kalinya, Wijaya mau cerita sama Mama,” kata Wijaya sembari menyandarkan diri. “Ada apa?” tanya Ratih sembari membuang napas. “Ma, semalam Wijaya mimpi. Tapi, mimpinya itu agak aneh. Bertemu dengan seorang gadis berpakaian kuno, dengan rambut sepinggang diikat dua. Masalahnya, memang ada di zaman sekarang, gadis berpakaian kuno?” “Banyak, Wijaya. Tapi, kalau lagi memperingati hari Kartini,” jawab Ratih sembari tertawa ringan. “Mama, ih, kenapa bercanda. Wijaya serius. Semalam mimpi itu, terus tempatnya itu asing banget. Rumah-rumahnya juga masih kayu dan bambu gitu.” Wijaya mengalirkan air putih dari teko ke gelas. Tenggorokannya masih membutuhkan banyak air putih. “Mimpimu terjun terlalu jauh, bangkit wes bangkit,” goda Ratih yang menganggap kalau mimpi hanya semu. Hasil imajinasi sebelum tidur semata. “Mama mah meremehkan terus. Ini mimpi kalau kenyataan, Wijaya bisa tersesat,” kata Wijaya. Semalam, Wijaya tanpa sengaja memimpikan seorang gadis desa yang cantik jelita. Kecantikannya tidak tertandingi dengan perempuan-perempuan zaman sekarang yang terlihat putih oleh produk kecantikan. Sedangkan, perempuan yang memasuki ruang mimpinya adalah gadis desa yang anggun dengan kesederhanaan dan naturalnya. Dalam mimpinya, Wijaya tidak berada di dalam desa yang biasa. Dia berada di sebuah tempat dengan suasana mirip perdesaan di pedalaman pulau. Tapi, ada beberapa hal yang terasa janggal. Seperti, masyarakat setempat yang berpakaian aneh. Rumah dengan atap daun padi yang mengering. Tidak hanya itu, banyak pula wanita yang mengenakan pakaian kebaya kuno dan tapih selendang saja. “Amit-amit, mungkin, kamu sebelum tidur berimajinasi. Makanya, menyibukkan diri sama tugas, jangan kebanyakan meng-halu cewek,” jawab Ratih berlalu. Ratih pergi ke arisan ke rumah temannya. Dasar wanita, tidak bisa mengerti pria. Apalagi, Ratih seorang ibu. Tapi, benar, sih, tidak mungkin jika bisa mimpi tentang orang-orang yang aneh. Padahal, ketemu saja tidak. Wijaya kembali ke kamarnya. Hari ini, dia tidak ada jadwal kuliah. Jadi, bisa sedikit santai di rumah. Padahal, banyak tugas juga yang belum terselesaikan dengan sempurna. Wijaya membuka laptop. Memutar lagu yang sedang ia sukai. “Aja nangis ... Sing uwis, ya, uwis ...!” teriak Wijaya mengikuti lirik yang terucap dari bibir Happy Asmara. “Dih, kok jadi galau,” lirihnya menggaruk kepalanya. Wijaya mengganti lagu lainnya. Tapi, tetap saja kebanyakan yang muncul lagi-lagu berbahasa Jawa yang cocok untuk orang patah hati. Jarinya memencet sebuah lagu yang ada di beranda. Lagi-lagi, lagu Jawa. “Pinginku siji nyanding kowe selawase,” Wijaya menepuk jidatnya. “Dahlah, bikin pusing. Mana kaga paham, padahal orang Jawa,” sambungnya mematikan laptopnya. Wijaya duduk di balkon kamar sembari menyesap rokoknya. Menikmati pemandangan ibu kota dengan tenang. Tapi, pikirannya masih saja memikirkan perihal mimpinya semalam. Aneh, tapi mimpi itu terasa begitu nyata. “Ah, gadis itu bikin ... ingin menemui. Cantiknya melebihi Aura,” lirihnya sembari senyum-senyum tidak jelas. Matanya melihat ke arah bawah. Terlihat salah satu tetangganya sedang beraktivitas. Gadis itu sedang membersihkan halaman rumahnya. Wijaya tersenyum, bisa menikmati perempuan cantik. Hitung-hitung, Wijaya mencuci mata agar lebih segar lagi. Dasar laki-laki bermata jelalatan. Membuang rokok yang tersisa sedikit ke asbak. Setelah itu, Wijaya kembali masuk ke kamar. Matanya telah merasa puas dengan pemandangan yang ada di luar sana. Kembali duduk di depan laptop. Mengerjakan tugasnya kembali. Walaupun, dirinya masih pusing dengan mimpi. Padahal, hanya mimpi semalam saja, tapi begitu dipikirkan. Apalagi, kalau perempuan yang ada untuknya. Apakah akan dipikirkan melebihi segalanya? “Wijaya,” panggil Ratih yang telah berada di belakangnya. Wijaya memundurkan kursi dengan dorongan sedikit keras. Sampai tidak sengaja membuat Ratih tersungkur. Wijaya bukannya membantu malah tertawa keras. Ratih tidak terima dengan perlakuan putranya. “WIJAYA! INI MAMA, BUKAN TEMANMU!” teriaknya sembari berusaha berdiri. Wijaya pun mengulurkan tangan untuk membantu. Mereka duduk di tepi ranjang. “Sakit, tahu. Dasar durhaka,” celetuk Ratih. “Maaf, Ma. Lagian kenapa juga harus berdiri di belakang kursi,” jawab Wijaya mengambil ponsel yang ada di meja belajarnya. “Kamu enggak pergi?” tanyanya. “Oke, sekarang pergi, kan, diusir,” kata Wijaya beranjak dari duduknya. “Mama enggak ngusir. Biasanya kan kamu pergi.” “Enggak ada teman pergi. Mau ngerjain tugas, tapi pusing.” Wijaya kembali duduk karena kakinya terasa linu berlama-lama berdiri. “Ya, sudah. Mama turun ke bawah. Sudah jam sebelas. Mau masak buat makan siang,” katanya sembari beranjak keluar. Wijaya membuka ponsel untuk memutar lagi lagu Jawa. Pikirnya, bisa untuk self healing. Setidaknya, suara kendang bisa membuatnya sedikit membuat pikirannya jauh lebih tenang. Beberapa lagu yang dibawakan Happy Asmara dalam video itu telah diputar dengan baik. Sampai tak terasa, lagu itu membuat Wijaya tertidur nyenyak di siang hari. Byur!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD