Wijaya menatap warga secara bergantian. Tiba-tiba Aura mengatakan sesuatu yang tidak terduga. Dia tidak mengaku keluarganya, memang bukan. Tapi, dia menjanjikan untuk menanggung biaya perawatan korban meledaknya mobil itu.
“Baik, Mbak. Tapi, saya mau mengabarkan jika pasien telah meninggal. Anak kecil yang juga turut menjadi korban, masih terselamatkan. Walaupun, masih belum menyadarkan diri,” katanya sembari melepas kacamata. “Apa bisa dicarikan keluarganya? Ini saya mendapatkan ponsel yang ada di dalam sakunya. Beruntung, ponsel ini tidak ikut meledak,” sambungnya lalu berlalu.
Aura menerima ponsel itu. “Mas, dia siapa?” tanya salah satu warga.
“Bukan siapa-siapa. Dia teman saya,” jawab Wijaya mengambil ponsel yang ada di genggaman Aura.
Beberapa waktu kemudian, keluarga dari korban sudah tiba. Artinya, waktunya untuk mereka kembali ke kediaman masing-masing. Wijaya berjalan keluar mencari taksi. Ternyata, Aura masih saja mengikutinya dari belakang.
“Ngapain?” tanya Wijaya berhenti dari jalannya.
“Jaya, bareng gue aja,” ujarnya menarik lengan Wijaya ke arah mobilnya.
Mereka masuk ke dalam mobil. Tetap, Aura yang mengendarai mobilnya. Bukannya ke arah rumah Wijaya, melainkan pergi ke sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. “Jaya, makan dulu, ya,” katanya melepas sabuk pengamannya.
Wijaya menyusul Aura yang telah masuk ke dalam kafe. Duduk di depan Aura yang sedang memainkan ponselnya. Terlihat dari wajahnya yang menunduk itu sedang tersenyum-senyum dengan manisnya. Tapi, tidak juga membuat Wijaya luluh akan dirinya.
“Wijaya, kamu tahu enggak, kenapa aku tidak mencari laki-laki lain, selain kamu?” tanya Aura menyimpan ponsel ke tasnya.
“Apa,” jawab Wijaya dengan cueknya.
“Begini, jangankan aku mencari laki-laki lain, kalau hati dan pikiranku selalu ada namamu. Jangankan aku melayani laki-laki lain, kalau nyatanya kamu begitu menarik di mataku. Jaya, kamu kenapa tidak peka sama sekali? Aku cinta sama kamu, Jaya,” jawabnya dengan tingkah yang sedikit serba salah.
“Ra, gue ... terima kasih atas semua itu. Tapi, aku sama sekali tidak ada rasa sama kamu. Kamu itu teman kelas saja, tidak lebih,” jawab Wijaya beranjak ke arah meja yang ada di depan sana. Memesan nasi goreng untuk mengisi perut di tengah terik matahari.
“Oke, aku tungguin kamu, kok,” jawabnya setelah Wijaya kembali duduk di tempat semula.
“Tungguin? Memang mau ke mana?” celetuknya memainkan ponsel.
“Tungguin kamu melamar aku. Ya, meng-percaya diri aja dulu,” jawabnya tertawa lalu menikmati teh yang baru saja dihantarkan oleh pelayan yang bekerja di tempat itu.
“Dih, perlu dibawa ke ustaz,” jawab Wijaya tanpa melihat wajah Aura.
Satu jam kemudian, Wijaya pergi meninggalkan tempat. Pergi dengan menaiki taksi ke arah rumahnya. Dia merasa muak dengan Aura yang selalu mengejarnya. Seperti, tidak memiliki rasa malu. Wijaya masuk ke kamar. Mencuci tangan, kaki, dan wajahnya. Kemudian, duduk di balkon sembari membawa baskom warna biru berisi air. Mengompres daerah tepi luka yang sudah ditutup dengan perban.
“Lekas sembuh kaki,” lirihnya sembari menyesap rokok yang baru saja dinyalakan.
Asap rokok yang mengepul keluar dari mulut dan hidungnya itu terhempas perlahan oleh angin. Pergi menjauh dari hadapannya. Berharap, kehadiran Aura segera menghilang dari hidupnya. Bukan tidak menghargai, tapi Wijaya merasa terganggu dengan sikap perempuan itu yang selalu mencari perhatian.
Menyeduh air minum dari botol yang selalu ada di kamarnya. Menghilangkan sisa-sisa rokok yang mengendap di kerongkongannya. Walaupun, entah berhasil ataupun tidak. Paling jelas, memperbanyak minum air salah satu cara untuk menjaga zat mineral untuk tubuhnya.
“Sudah dibilang jangan suka merokok,” celetuk Ratih yang tiba-tiba muncul di hadapan Wijaya.
“Hm.”
“Kaki kamu kenapa?” tanya Ratih sembari menyentuh kaki Wijaya dengan lembut. Terlihat dari wajahnya begitu khawatir terhadapnya. “Jatuh?” sambungnya sembari menatap ke arah mata.
“Tadi ada kecelakaan. Terus mobil sampai terbakar, terus aku menyelamatkan mereka. Akhirnya, kaki bisa jadi kaya begini.”
“Mereka selamat?” tanya Ratih.
“Enggak tahu, tadi terus pergi.”
“Mama ambilkan makan dulu. Mama bangga sama kamu, selalu membantu orang lain, walaupun tahu bakal terjadi hal seperti ini,” kata Ratih beranjak pergi ke lantai satu. Mengambil satu porsi nasi dengan sayur bayam, tempe goreng, dan ayam bakar spesial. Tidak lupa menyiapkan jus mangga kesukaan Wijaya.
Tidak lama kemudian, sebuah nampan telah diletakkan di atas meja balkon kamar Wijaya. “Terima kasih,” katanya mengambil jus mangga spesial.
Selesai makan, Wijaya kembali membuka laptop. Mengerjakan tugasnya yang tidak kunjung mendapatkan hasil. Berkali-kali mencoba untuk merangkai kata yang sesuai dengan hasil riset dari internet. Tiba-tiba, Aura meneleponnya.
“Astaga, masih siang juga sudah mengganggu,” lirihnya mengangkat teleponnya.
“Apa lagi?”
“Jangan marah dulu, kenapa. Nih, ada uang yang ketinggalan,” jawabnya.
“Ambil saja,” jawab Wijaya lalu mematikan sambungan teleponnya.
Wijaya memutar sebuah film terbaru. Tapi, tidak begitu membuatnya merasa tertarik. Kembali menutup laptop lalu duduk di ruang tamu. Menyalakan televisi untuk mencairkan suasana hatinya. “Jaya, antar Mama sebentar,” kata Ratih yang baru saja selesai berdandan. Beliau telah siap untuk pergi belanja bulanan.
“Sendiri saja, ya, kaki masih perih,” jawabnya memakan camilan yang terbuat dari singkong.
Dua jam kemudian, Wijaya pergi ke sebuah angkringan yang tidak jauh dari rumahnya. Duduk di sana sembari menunggu pemilik angkringan menyiapkan dagangannya. Walaupun kaki masih terasa perih, dia tetap menongkrong bersama teman-temannya.
“Dasar anak ganteng, disuruh antar emaknya enggak mau. Eh, sekarang enggak ada di rumah,” kata Ratih melalui sambungan teleponnya.
“Suntuk, Ma,” jawab Wijaya lalu menutup sambungan telepon.
“Ya, lo udah baikan sama emak lo?” tanya salah satu pria yang memakai pakaian berwarna hitam sedang meneguk air kopi dari gelasnya.
“Hm,” jawabnya mengambil satu tempe mendoan. “Bagaimanapun, dia itu emak gue,” sambungnya.
Mereka terdiam sembari menikmati kopi masing-masing. Tidak lama kemudian, Rino—teman Wijaya saat masa SMP—mengambil sebuah gitar milik pedagang angkringan. Dia mulai memainkan nada-nada lagu yang sedang diminati banyak orang.
“Ri, lagunya ganti, galau banget,” celetuk Wijaya sembari menyentuh pelan lukanya. Kakinya terasa nyeri kala angin malam mulai menyeruak ke dalam tulang. “Lanjut saja, sih, gue balik,” sambungnya.
Wijaya mengendarai motor ke arah rumahnya sekitar pukul setengah tujuh malam. Membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk menelusuri jalanan. Masuk ke rumah yang sudah ditunggu oleh Ratih, tepat di belakang pintu.
“Bagus, ya,” katanya dengan tangan terlipat.
“Loh, memang Wijaya bagus, badan pun oke,” jawabnya sembari melangkah duduk ke sofa yang ada di ruang tamunya.
“Mama itu mau marah, tapi kamunya bikin gini,” katanya menyusul duduk di sebelah kanan anaknya. “Kakinya masih nyeri?” tanyanya yang melihat Wijaya tengah mengelus lukanya. Sakit, tapi tidak sesakit kala cintanya tak sampai. Cinta pada seseorang yang hampir setiap hari menyelimuti mimpi tidurnya.
“Mama jangan marah .... “