Bab 2. Bukan Ayah Sempurna

1308 Words
Mata Luna terbelalak kaget saat mendengar Alex. Tanpa bersalah, Alex menunjuk ke bayi itu dan menyatakan jika Luna adalah ibunya. Luna tidak mengerti dan menggeleng. “A-Apa maksudnya ini?” tanya Luna dengan suara lembutnya. Ia masih syok dan kebingungan. “Kamu akan mengurusnya seperti anakmu. Sekarang kamu adalah ibunya. Apa masih kurang jelas?” Alex makin semena-mena meletakkan tanggung jawab pada Luna yang bahkan tidak mengerti apa yang terjadi. “J-Jadi ... kamu punya anak?” tanya Luna lagi terbata-bata. Ia tak percaya jika pria seperti Alex ternyata menyimpan bayi di rumahnya. Bagaimana dia bisa berbohong dan mengatakan bahwa dia masih lajang? Sekarang pada malam pertama setelah pernikahan, Alex malah menunjukkan bayinya kepada Luna. “Aku pikir kamu masih lanjang!” Luna menyebut dengan gumaman pelan. Alex malah membalas dengan kekeh sinis tanpa malu. “Aku memang masih lajang tapi aku memiliki anak di luar nikah. Asal kamu tahu. aku menikahimu karena aku gak mau reputasiku rusak karena memiliki anak haram!" Alex mendesis seraya sedikit mendekat pada Luna yang masih syok. Namun begitu mendengar kalimat jahat yang dikeluarkan Alex dari mulutnya, Luna langsung berdiri. Ia seperti sedang menantang Alexander Henrick dengan tubuhnya yang jauh lebih kecil. "Kamu gak boleh menyebut anakmu dengan sebutan jahat seperti itu. Dia gak berdosa,” sahut Luna mulai marah. “Bagaimana dengan kamu? Apa kamu kira aku gak tahu kalau kamu sedang hamil?” balas Alex tak kalah sadis. Luna langsung diam seketika. Alex menaikkan ujung bibirnya menyeringai kemenangan. tidak ada yang lepas dari pemantauan Alex termasuk Luna. Alex lalu sedikit membungkukkan dirinya agar wajahnya bisa sejajar karena Luna lebih imut darinya. Matanya yang tajam menatap garang pada mata indah Luna yang berkaca-kaca murung diterpa kesedihan dan air mata. Jejak air mata pada mata indah itu membuat Alex terpaku. Akan tetapi, nuraninya mengabaikannya cepat. “Dengarkanlah aku! Kamu mungkin bisa menyembunyikan dari semua orang termasuk ayahmu soal kehamilanmu, tapi aku bukan orang bodoh. Aku sudah memata-mataimu selama beberapa hari terutama saat kamu datang ke klinik memeriksakan kandungan. Aku tidak memilih sembarangan wanita untuk menjadi ibu dari anakku. Aku tahu kamu sedang hamil.” Alex mendesis dengan suara beratnya mengumbar seluruh aib yang ditutupi Luna. Luna membeku terpaku menatap Alex. Dia tidak bisa mengucapkan satu kata pun. "Kamu tetap bisa menjalani kehamilanmu sampai melahirkan karena aku bukan seorang pembunuh. Tetapi setelah kamu melahirkan bayimu, dia harus keluar dari rumah ini. Dia akan masuk panti asuhan!” sambung Alex lagi. Luna langsung menggelengkan kepalanya menolak perintah Alex yang begitu kejam hendak memisahkannya dengan bayinya nanti. “Gak, kenapa aku gak boleh merawat anakku sendiri, Mas?” Luna mulai terisak lagi serta meneteskan air matanya. “Karena itu bukan milikku!” Alex menjawab dingin dan kejam. Luna hanya bisa membeku dengan air mata yang terus tumpah. Alex tak peduli dan berbalik meninggalkan Luna begitu saja. Luna yang terisak kebingungan berbalik perlahan dan matanya menatap bayi laki-laki yang baru saja terbangun dan mulai menangis. Entah mimpi buruk apa yang sedang menimpa Luna kini. Ia mencoba memejamkan mata erat-erat lalu membukanya berharap semuanya hanya mimpi. Tangisan bayi milik Alex segera menyadarkan Luna jika itu semua bukan mimpi. Sejak malam itu, Luna mengurus bayi milik Alex yang diberi nama Arsenio. Alex sendiri tidak pernah mau mengatakan siapa ibu kandung dari Arsenio. Ia memaksa Luna mengakui jika Arsenio adalah anaknya. Beberapa bulan berlalu dan kehamilan Luna semakin terlihat. Alex kemudian membuat acara di rumahnya untuk mengumumkan kehamilan Luna. Di depan keluarga serta kolega bisnis, Alex bersikap seperti seorang suami. Ia merangkul Luna dan tersenyum. sedangkan Luna hanya bisa diam saja. Ia tidak memiliki kuasa untuk melawan Alex. “Sangat cepat waktu berlalu, Alex. Rasanya baru beberapa bulan lalu kamu menikah dan sekarang istri kamu sedang hamil tujuh bulan,” ujar Om Bob yang merupakan salah satu anggota keluarga besar Henrick. Alex hanya menanggapi santai seraya tersenyum. “Om Bob kayak gak ngerti aku aja. Luna itu kan sempat jadi pacarku,” jawab Alex masih sombong. “Lalu kalau kamu memang pacaran sama Luna, berarti kamu berselingkuh dari Fianora? Bukankah kalian seharusnya menikah? Apa karena itu kalian membatalkannya dan tiba-tiba kamu menikah dengan Luna?” sahut Om Bob seperti sedang menyudutkan Alex. Raut wajah Alex langsung berubah kesal. Alex paling tidak suka jika ada seseorang yang mengungkit kisah cintanya dengan Fianora yang sudah berakhir. Gara-gara kesalahan memiliki anak di luar nikah, wanita yang sesungguhnya dicintai Alex pergi begitu saja. “Jangan cari masalah denganku, Om. Nikmati saja pestanya!” Alex berbalik pergi meninggalkan Om Bob yang menyeringai kemenangan. Ia memang paling suka membuat Alex naik darah. Kali ini ia menyinggung hal paling sensitif pada Alex. Alex meletakkan gelasnya dan melirik pada Luna yang sedang duduk di kursi mengobrol dengan beberapa tamu. Wajahnya yang ramah dan teduh membuat anggota keluarga Henrick gampang menyukainya. Perut Luna semakin membesar dan beberapa bulan lagi dia akan melahirkan. Alex membuang lagi pandangannya. ia sudah harus menyiapkan tempat tinggal baru untuk anak kandung Luna. Bayi itu tidak boleh berada di rumahnya karena Luna sudah memiliki Arsenio. Luna yang mulai terbiasa dengan kehadiran Arsenio, kerap menyusup masuk ke kamar untuk melihat keadaan bayinya. Seorang perawat menunggui Arsenio yang disembunyikan dari semua orang. “Sayang, kenapa kamu menangis? Sini sama Mama,” ucap Luna saat mendengar tangisan bayinya dari kamar. Ia segera menggendong Arsenio meski sedang hamil besar. Segala kasih sayang Luna ditumpahkannya pada bayi Arsenio yang tampan dan lucu. Arsenio pun langsung tenang begitu digendong oleh Luna. Rumah Henrick yang semula adalah neraka kini memiliki setitik cahaya yaitu Arsenio. Saat Luna menghitung detik-detik waktu yang akan berlalu sampai ia akan berpisah dengan bayinya sendiri. Waktu itu tak lama, tiga bulan kemudian, Luna pun melahirkan. Setelah melahirkan bayinya, Luna hanya punya waktu dua jam untuk menggendongnya sampai satu perawat mengambilnya. Luna harus berpisah dengan memberikan bayinya ke panti asuhan malam itu juga. Dari sisi luar, Alex hanya menatap Luna dingin tanpa emosi atau satu kata pun. Ketika Luna menoleh pada Alex yang berdiri melalui dinding kaca di luar ruang perawatannya, dia tidak melihat makhluk selain iblis. Jika seorang pria bisa memersonifikasikan diri sebagai iblis, maka Alex adalah gambaran yang tepat. Sepanjang malam, Luna menangis termasuk selama waktu pemulihannya dengan Arsenio di pelukannya. Tapi bayi itu sangat tenang dan pengertian. Arsenio kerap tersenyum pada ibu palsunya seolah ingin menyembuhkan patah hatinya. Sejak saat itu, cinta untuk putranya yang ditinggalkan diberikan kepada Arsenio oleh Luna. Luna bahkan memberikan air susunya untuk Arsenio meski tetap memerah asinya untuk disimpan. Luna tidak menyadari jika persediaan air susunya sering berkurang karena seorang perawat yang rutin mengambil untuk mengantarkannya ke panti asuhan. “Jangan sampai ada yang tahu,” ucap Alex menatap dingin pada perawat yang bertugas mengambil asi dari tempat penyimpanan di rumahnya dan dibawa ke panti asuhan. Perawat itu mengangguk dan segera pergi. Dari balik dinding, Luna memperhatikan suaminya, Alex sedang berbicara dengan perawat yang sering datang ke rumah. Perawat itu membawa sebuah tas lalu sedikit menunduk dan berbalik pergi. Entah mengapa, hati Luna jadi penasaran. Alex yang memiliki insting kuat lalu menoleh ke belakang. Ia menangkap bayangan Luna yang buru-buru bersembunyi. Alex pun berjalan mendekat dan memergoki Luna yang masih menempelkan punggungnya di dinding. Napas Luna seperti tercekat. Ia ketahuan Alex sudah memata-matainya. Luna pun menoleh perlahan dengan raut ketakutan. “Ngapain kamu di sini?” Alex separuh menghardik. Luna menggeleng cepat tidak berani menjawab. “Masuk ke kamar dan jaga Arsen. Lakukan tugas kamu dan jangan coba-coba mengikutiku lagi,” imbuh Alex memerintah dingin. Ia tidak menunggu Luna pergi dan langsung berbalik seraya mengambil ponselnya. “Apa barangnya sudah ada?” Alex berbicara lewat ponsel dengan Luna masih menatapnya dari belakang. Ia segera berjalan sambil masih berbicara tentang sesuatu. Alex nyaris tidak pernah berada di rumah. Ia selalu pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui Luna. Sama seperti malam ini, Alex pergi begitu saja. Ia masuk ke mobilnya dan Luna hanya bisa menatapnya saja. “Barang?” sebut Luna pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD