Alex menyentakkan pinggulnya dengan keras disertai lenguhan panjang mengerang. Ia mendorong punggung wanita yang sudah memuaskannya. Tanpa peduli, Alex dengan santai berjalan ke kamar mandi. Ia langsung menyalakan shower dengan kecepatan besar dan memejamkan mata. Sambil terengah mengambil napas di bawah kucuran air, Alex membuka kembali matanya.
Setelah membersihkan diri, Alex keluar dari bilik kamar mandi. Ia hanya mengenakan bathrobe hitam dengan rambut basah yang masih meneteskan air. Kakinya berhenti di depan wanita yang hari ini menjadi penghangat di ranjang.
Wanita itu sudah berpakaian tapi wajahnya masih menekuk tak berani menatap Alex.
“Aku sudah mengirimkan bayaranmu. Pergi dari sini.” Alex memerintah dengan dingin. Wanita itu mengangguk cepat dan berusaha berdiri. Ia kesulitan berjalan tapi Alex tak peduli.
Alex lalu menghubungi room service yang akan membereskan kamar yang berantakan. Pihak hotel yang menjadi langganan Alex sudah paham yang diinginkannya. Selama beberapa bulan setelah menikah, Alex tidak bisa lagi melakukan kebiasaannya di rumahnya karena Luna. Luna tidak mengetahui apa pun soal Alex dan kesukaannya bermain perempuan.
Saat pelayan sedang membereskan kamar, Alex memilih untuk menunggu di ruang tengah. Ia duduk di sofa masih menggunakan bathrobe untuk meminum air mineral. Tenaganya cukup banyak habis dan membuatnya haus. Salah satu pengawalnya datang untuk memberitahukannya sesuatu.
“Tuan, Nyonya Luna berusaha pergi ke rumah sakit. Dia meminta ijin ....” Alex dengan cepat mengangkat sebelah tangannya dan pengawal itu langsung berhenti bicara.
“Mau apa dia ke rumah sakit?” tanya Alex disertai suaranya yang berat dan dingin.
“Nyonya bilang, Tuan Muda Arsenio sedang demam.”
Kening Alex sedikit mengernyit lalu menoleh pada pengawalnya tersebut. Ia menggelengkan kepala tanda melarang.
“Dia tidak boleh keluar rumah sama sekali,” ujar Alex tanpa ekspresi. Pengawal itu sempat tertegun mendengar perintah tersebut. Padahal anaknya masih bayi tetapi Alex tidak mengizinkan Luna membawa Arsenio keluar.
“Baik, Tuan.” Pengawal itu pun berbalik pergi meninggalkan Alex yang menghabiskan minumannya sembari beristirahat. Petugas kebersihan masih terus membersihkan kamar Alex saat pengawal yang sama kembali lagi untuk melapor.
“Maaf, Tuan. Nyonya Luna tetap memaksa ingin agar Tuan Muda dibawa ke rumah sakit.”
Alex mencebik kesal lalu mendelik pada pengawalnya. Sedianya Alex ingin beristirahat setelah ini. Akan tetapi, gara-gara telepon dari Luna, ia terpaksa menunda semuanya.
“Bodoh sekali kamu gak bisa mengatasi hal sekecil ini!” hardik Alex sembari berdiri dari sofa. Ia memarahi anak buahnya itu.
“Maaf ....”
“Dasar tidak berguna!”
Alex tidak punya pilihan selain pulang ke rumah. Ia masuk ke kamar dan kembali membentak dua petugas kebersihan yang masih berada di sana.
“Keluar sekarang!”
Dua pelayan itu terpaksa keluar dari kamar sebelum Alex membanting pintu cukup keras. Keduanya buru-buru pergi setelah diminta oleh pengawal Alex. Kamar presidential suite yang seharusnya akan didiami Alex malam ini, terpaksa dikosongkan tanpa penghuni meski sudah dibayar.
Alex pulang ke rumahnya karena istrinya, Luna memaksa untuk membawa Arsenio ke rumah sakit. Padahal Luna tidak diizinkan keluar rumah sama sekali. Semenjak melahirkan beberapa bulan lalu, praktis Luna hanya tinggal di rumah. Ia tidak diizinkan sama sekali bahkan untuk ke halaman depan.
“Ada apa?” tanya Alex ketus dan dingin pada Luna yang sedang menenangkan Arsenio yang terus menangis. Luna pun meletakkan Arsenio di dalam boks bayinya lalu menemui Alex yang berdiri di depan pintu kamar.
“Arsen sakit, Mas. Badannya panas,” jawab Luna dengan raut sangat cemas.
“Kamu kan Ibunya. Harusnya kamu bisa mengatasinya!” Alex malah balik menghardik Luna. Luna sampai terperangah tak mengerti. Alex sampai mengabaikan kesehatan Arsenio dan cenderung tak peduli. Luna lantas menggelengkan kepalanya.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit.” Alex langsung menggeleng. Wajahnya masih sama saja, tak terpengaruh atau terlihat cemas sama sekali.
“Atasi masalah ini. gak perlu ke rumah sakit.” Alex menunjuk pada Luna tanpa belas kasihan. Suara tangisan Arsenio jadi makin kencang dan itu membuat Luna sempat menoleh ke belakang.
“Mas, kalau ada apa-apa sama Arsenio bagaimana?” Luna masih memohon seperti akan menangis tapi Alex tak peduli.
“Ya itu tanggung jawab kamu sebagai Ibunya. Aku menikah sama kamu buat ngurusin Arsenio, paham!”
Luna hanya bisa diam saja mendapat hardikan seperti itu. Ia menelan ludah berat dan tidak bisa berbuat apa pun. Alex hanya sedikit menoleh ke arah boks bayi di belakang Luna tanpa melangkahkan kakinya ke dalam untuk sekedar melihat bayinya.
“Diamkan dia. jangan sampai dia malah kejang. Kalau ada apa-apa sama Arsen, kamu yang akan tanggung jawab,” ancam Alex lagi dengan tatapan mata tajamnya. Luna menahan keras air matanya agar tidak tumpah. Hatinya makin membenci Alex Hendrick yang tidak pernah mau memikirkan darah dagingnya sendiri.
Luna pun berbalik meninggalkan Alex untuk kembali menggendong Arsenio. Di usianya yang sangat muda, Luna tidak memiliki pengalaman apa pun untuk mengatasi masalah seperti ini. Sedangkan Alex yang tidak peduli lantas keluar dari kamar.
Luna tidak mau memedulikan Alex sama sekali lagi. Ia kebingungan dan panik. Luna lalu ingat untuk terus menyusui bayinya saja. Mungkin jika Arsenio kenyang dia akan cepat beristirahat lalu tidur.
“Sayang, Mama pasti akan terus menjaga kamu. Cepat sembuh ya, Sayang. Ayo kita minum s**u dulu, hhm,” ujar Luna dengan lembut tersenyum pada bayi Arsenio yang kemudian perlahan diam karena menyusu. Ia hanya bisa menggunakan metode sederhana dengan mengompres kening Arsenio dengan air hangat lalu memeluknya di atas d**a yang terbuka.
“Bapa di Surga, lindungilah Arsenio. Dia adalah pengganti bayiku. Sembuhkan dia, aku mohon. Oh anakku,” ujar Luna berdoa seraya memeluk Arsenio yang mulai tenang. Luna sampai kelelahan dan akhirnya tertidur dengan Arsenio masih di pelukannya.
Di luar, Alex sesungguhnya tidak masuk ke kamar melainkan di lantai bawah menunggu keadaan jadi lebih baik. Alex ingin pergi saja tapi entah mengapa ia tidak tega. Seorang anak buahnya diminta naik ke atas untuk mendengar jika tangisan Arsenio masih terdengar.
“Sudah sepi, Tuan. Gak terdengar suara apa pun,” ujar anak buahnya. Alex berdiri dari sofa lalu berkacak pinggang. Ia tidak bisa membiarkan Luna keluar membawa Arsenio. Alex selalu merasa jika Luna pasti akan kabur.
“Panggil dokter sekarang. Suruh spesialis sekalian datang kemari!” perintah Alex tiba-tiba. Anak buah Alex mengangguk cepat dan mengambil ponsel untuk menghubungi rumah sakit milik perusahaan keluarga Henrick.
Dua dokter dan beberapa perawat datang ke rumah Alex tak berapa lama kemudian. Alex hanya memberitahu singkat jika anaknya yang masih bayi sedang demam. Dokter itu pun bergegas naik ke lantai dua didampingi oleh Alex yang memimpin rombongan.
Begitu Alex masuk ke dalam, ia langsung terbelalak melihat posisi Luna. Seketika Alex berbalik dan memerintahkan dokter untuk keluar.
“Kalian keluar!”