Seperti remaja jempo pada umumnya di hari minggu, Abimanyu memilih menghabiskan waktu di rumah bersama mama dan papanya. Dia selalu memanfaatkan waku sebaik mungkin bersama kedua orang tua yang paling ia sayangi. Kesepakatan di keluarga mereka adalah tidak memperbolehkan keluar rumah di hari minggu jika tidak bersama-sama. Karena mereka satu keluarga bisa kumpul utuh hanya bisa di hari minggu saja, jika kesempatan itu tidak digunakan dengan sebaik mungkin hubungan satu dengan yang lain tidak akan bisa terjalin baik.
Setiap minggu Abimanyu selalu menolak ajakan teman-temannya untuk hang out bareng atau pun nongkrong santai di kafe, bahkan dia selalu mematikan ponselnya di hari minggu. Ini sengaja ia lakukan untuk tidak mengganggu waktu terbaik bersama keluarganya dan peraturan ini berlaku untuk papa sekaligus mamanya. Tidak ada yang asik main dengan dunia sendiri-sendiri atau bahkan lebih mementingkan orang lain ketimbang keluarga sendiri. Ifa selalu ingin yang terbaik untuk keluarga kecilnya, dia ingin membentuk kenangan manis Abimanyu bersama kedua orang tuanya dan kelak bisa ditularkan ke anak-anaknya.
Prioritas pada keluarga itu penting. Kalian loh dari senin sampai sabtu udah sama temen-temen, udah sama rekan kerja. Enam hari bersama orang lain, kita bertemu di rumah cuma beberapa jam doang sisanya udah habis kalian habiskan di luar. Jadi mama minta buat hari minggu kalian off kegiatan di luar, entah itu komunitas atau pun sekedar nongkrong sama temen. Cuma sehari aja mama minta waktu kalian full di rumah, kita cerita-cerita atau bisa piknik kecil di taman belakang. Mama sengaja buat taman itu buat kita santai sekeluarga atau kalau ada temen Manyu datang ke rumah bisa nongkrong di sana. Jadi mama pengen kalian berdua nggak ada aktivitas dalam bentuk apa pun di luar rumah pas hari minggu, pokoknya seharian harus di rumah. Ucap Ifa sekitar beberapa tahun yang lalu saat Galih dan Abimanyu ingin hang out bersama komunitas masing-masing.
Kata-kata Ifa tersebut menjadi peraturan tak tertulis di rumah yang terus dipatuhi oleh Galih maupun Abimanyu, mereka menghargai Ifa yang setiap hari berada di rumah dan mengurus semua keperluan mereka. Dan memang benar jika hari libur mereka habiskan untuk waktu berkualitas bersama keluarga, mereka semua merasakan manfaatnya. Dari semua sahabat Abimanyu, hanya keluarganya yang memiliki hubungan harmonis satu sama lain. Keluarga Mika, Gendhis dan Kinan lebih mementingkan bisnis masing-masing hingga melupakan keluarga yang memerlukan kasih sayang dari mereka. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari uang dan harta tapi sebuah waktu bersama keluarga adalah kebahagiaan yang tidak bisa dibayar dengan apa pun.
“Jadi gimana kuliah kamu, Nyu? Lancar terus kan? Papa sih percaya kalau anak kesayangan papa selalu mendapatkan nilai terbaik versi dirinya sendiri, berapa pun nilainya menurut papa itu sudah terbaik. Kamu juga jangan lupa berbagi ilmu sama teman-teman, Nyu, biar tambah berkah ilmu yang kamu dapat dari dosen selama ini. Jagoan papa emang nggak ada tandingannya sih,” ucap Galih, merangkul bahu Abimanyu sambil tersenyum lebar. Abimanyu menggelengkan kepalanya perlahan lalu terkekeh pelan.
“Jagoan mama juga dong, Pa.” Ifa datang membawa nampan berisi minuman dan juga beberapa makanan ringan untuk teman ngobrol santai mereka di bawah pohon rindang tersebut. Sengaja mereka duduk di sana agar bisa merasakan hangatnya mentari pagi dan juga merasakan hawa sejuk dengan angin sepoi-sepoi di bawah pohon itu.
“Pokoknya Mas Manyu kebanggaan mama sama papa deh. Oh iya, kamu kemarin katanya nemenin Kinan buat nunggu papanya ya? Mama jadi nggak bisa bayangin deh, Nyu, sebahagia apa si Kinan bisa dijemput papanya padahal biasanya dia selalu dijemput sopir pribadinya terus kan. Mama ikut seneng banget, Kinan udah lama nggak bisa merasakan pelukan hangat dari kedua orang tuanya pasti kemarin itu menjadi momen terbaik yang pernah ia rasakan selama ini. Udah nggak ada rasa kecewa di hati Kinan,” lanjut Ifa. Wajahnya tersenyum cerah bahkan dibandingkan cuaca hari ini masih cerah wajah Ifa. Seorang ibu bisa merasakan bagaimana bisa bertemu dan mendapatkan momen terbaik bersama orang tuanya meski cuma sebentar. Anak itu tidak pernah menuntut banyak pada orang tuanya tapi terkadang orang tua lupa, malah menuntut di luar kendali anak padahal mereka belum memberikan yang dibutuhkan pada anak-anak mereka.
Abimanyu menghela napasnya sambil menggelengkan kepalanya. “Menurut aku ya, Ma, kemarin itu adalah hari terburuk yang pernah aku dan Kinan lalui bersama. Kita berdua ketemu sama ayahnya, tapi ternyata ayahnya nggak sendirian kemarin. Ayah Kinan bawa… pacar. Katanya itu calon mama buat kinan, ayah dia ngenalin ke Kinan biar mereka bisa deket. Kalau di luar kota atau negri Kinan biar nggak sendirian. Padahal dulu kata Kinan ayahnya nggak mau nikah lagi, soalnya si Kinan melarang ayahnya buat dapat istri baru. Kalau pengen nikah lagi ya harus nikah sama mamanya kandung.”
“Beneran, Nyu? Ya ampun, pasti Kinan terluka banget sekarang. Dia juga bilang sama mama kalau nggak mau punya ibu lagi, katanya malah pengen hidup seperti ini saja daripada punya ibu tiri. Terus kemarin si Kinan beneran ikut ayahnya pulang atau gimana? Kamu kemarin pulangnya sore banget loh, Nyu, mama kira kamu mampir di rumah Kinan sekalian. Yah… mama ikut sedih deh kalau ceritanya berakhir seperti ini, Nak. Dari kecil si Kinan nggak pernah dapat perhatian lebih dari kedua orang tuanya,” tanya Ifa, wajahnya ikut sedih dan lesu seperti tidak memiliki semangat setelah mendengarkan cerita Abimanyu.
“Beneran lah, Ma, masa Manyu bohong sih. Kemarin itu belum sempet Om Lukman jelasin lengkap, si Kinan udah narik tangan Manyu buat pergi dari tempat itu. Terus akhirnya Manyu yang nganterin Kinan pulang, tapi dia pulang ke apartemen lamanya. Dia nggak mau pulang ke rumah, katanya nggak mau ketemu sama wajah Om Lukman sementara waktu. Aku jadi khawatir, Ma, kalau si Kinan itu nggak mau makan di apartemen terus malah sakit nggak ada yang jaga. Kasihan dia kan nantinya,” jawab Abimanyu. Ia menghela napasnya dengan sedikit wajah sendunya. Bagaimana pun juga perempuan tersebut adalah sahabat karibnya, sahabat terdekat yang ia punya. Wajar saja jika Abimanyu khawatir dengan kondisi Kinanthi.
Ifa menganggukkan kepalanya lalu menghela napas perlahan. “Nanti sore mama coba telpon deh, semoga aja dia nggak papa. Mama ikut khawatir, Nyu. Nggak ada yang perhatian sama dia selama ini, papanya sendiri aja nggak mau peduli sama Kinanthi. Nanti kalau dia kenapa-napa kamu harus cepet ke apartemen dia ya, Nyu.”
“Kalian kok malah ngomongin orang lain sih? Kita ini lagi piknik, bicarakan lingkup kita aja dong. Papa jadi cemburu nih nggak ditanya kemarin gimana gitu di kantor,” rajuk Galih. Ifa dan Abimanyu saling adu pandang lalu terkekeh geli melihat Galih yang memajukan bibirnya seperti anak kecil merajuk minta dibelikan es krim.
“Nggak inget umur nih si papa, Ma. Udah ih… bukannya imut malah serem, Pa. Jadi takut lihatnya, ngeri.” Abimanyu semakin menambah-nambah agar Galih semakin menggaya wajahnya lebih parah lagi. Ifa memukul lengan Abimanyu pelan melihat perubahan air wajah Galih, suami dan anaknya itu memiliki selera humor yang hampir mirip. Bersama mereka berdua rumah tidak akan pernah sepi, pasti ada saja yang dibuat lelucon. Suasana rumah akan terasa hidup jika ada Galih dan Abimanyu, namun jika hanya ada salah satu saja tidak bisa mengangkat suasana rumah menjadi rame. Karena Ifa tidak memiliki selera humor seperti ayah dan anak tersebut.
“Emang kalau Manyu itu bisanya merusak suasana aja, padahal papa pengen mengkhayati peran loh di sini. Menjadi yang paling tersakiti. Papa kan paling tersingkirkan dan tersakiti di sini, kalian berdua lebih asik sendiri udah lupa sama papa. Mana adil yang kayak gini?” tanya Galih sambil bersedekap. Menatap Ifa dan Abimanyu layaknya musuhan.
“Paling iye aja deh papa, Ma, kita musuhan aja deh sama papa. Kan kita udah nggak segrub sama papa, ya kan, Ma? Papa mah julid terus kerjaannya. Nggak asik ih.” Abimanyu terkekeh pelan lalu mengambil satu bungkus makanan ringan yang di bawa Ifa, ia menyukai sekali dengan cemilan bentuk apa pun asal bisa dimakan dan halal.
Ifa mengerutkan dahinya lalu mulai memasang telinganya lebih lebar lagi, ia mendengar suara telpon rumah berbunyi. Abimanyu mengangkat jempolnya lalu ngacir sebelum Ifa menyuruhnya untuk mengangkat telpon tersebut. Mama dan papanya hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya perlahan, fisik boleh dewasa tapi masalah kelakuan terkadang masih mirip anak kecil. Itu yang membuat Ifa maupun Galih tidak ingin merusak momen-momen penting dalam hidup Abimanyu, mereka tetap memberikan apa yang seharusnya menjadi hak Abimanyu tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka. Kasih sayang dan perhatian dari orang tua itu sangat penting sekali dalam membangun karakter anak.
Tak berselang lama Abimanyu datang dengan tergopoh-gopoh, wajahnya pun berubah panik sekali. Ifa dan Galih yang belum mengetahui apa-apa itu pun ikut khawatir dan panik melihat perubahan raut wajah Abimanyu. “Kenapa, Nyu? Ada apa? Ada masalah ya?”
“Ma, Manyu harus keluar bentar ya. Ada masalah sama Mika. Kata dia mobilnya tiba-tiba mogok, Manyu bantu Mika dulu ya. Nggak jauh kok dari jalan masuk ke rumah kita. Nanti sekalian si Mika tak ajak ke sini aja biar bisa istirahat ya. Maaf nggak bisa ikut ngobrol bareng sama mama dan papa, Manyu sayang kok sama kalian berdua.” Abimanyu memakai jaketnya tergesa-gesa. Ia benar-benar cemas dan khawatir dengan keadaan Jatmika di sana. Ifa dan Galih akhirnya menganggukan kepalanya perlahan.
“Papa ikut gimana, Nyu? Biar cepet nanti beresnya, kasihan kalau cuma kalian berdua kan? Bengkel jauh loh,” ucap Galih yang diangguki kepala oleh Abimanyu. Ifa kemudian menganggukan kepalanya setuju, tak mungkin dirinya melarang suami dan anaknya untuk melakukan hal kebaikan. Apalagi yang mereka tolong masih menjadi bagian dari keluarga mereka, Mika sudah dianggap anak sendiri oleh Ifa. Semua teman Abimanyu yang datang ke rumah sudah ia anggap keluarga sendiri bahkan seperti anak sendiri.
“Hati-hati ya kalian berdua, kalau udah selesai langsung ajak Mika ke sini aja. Pasti dia haus, kepanasan di sana. Ya udah cepetan kalian berdua berangkat,” suruh Ifa. Wajahnya masih kelihatan panik sekali, ia juga takut terjadi sesuatu hal dengan Mika di sana.
Abimanyu berjalan di samping Galih lalu menyerahkan kunci motornya ke laki-laki tersebut. Mereka memilih mengendarai motor daripada mobil, alternatif tercepat saja biar bisa mencari jalan tikus. Ifa membuntuti Galih dan Abimanyu sampai di halaman depan, ia tak ingin mereka juga kenapa-napa nantinya di jalan. Abimanyu menoleh bibirnya menyunggikan senyuman tipis lalu menghampiri perempuan tersebut. “Mama jangan khawatir, nggak ada apa-apa kok. Nggak usah khawatir ya, Ma. Aku sama papa nanti pelan-pelan kok bawa motornya, mama jangan cemas.”
“Iya, Sayang, Hati-hati ya di jalan. Langsung pulang aja nanti kalau udah selesai. Sekalian si Mika diajak mampir ya,” ucap Ifa dengan mengelus puncak kepala Abimanyu lembut. Tatapan mata perempuan tersebut teduh sekali, seolah tidak ingin kehilangan putra semata wayangnya itu.
Akhirnya Galih menarik tangan Abimanyu agar cepat naik ke atas motor, kalau sudah bersama si Ifa pasti tidak akan ada habisnya. Perempuan itu hatinya terlalu lembut sekali bahkan dia sendiri tidak berani membuat Ifa marah atau pun kecewa, perasaannya masih terlalu rapuh sekali padahal anaknya sudah sebesar ini. “Berangkat, Ma.”
Abimanyu membuka share lock yang diberikan oleh Mika padanya, mereka berjarak sekitar enam ratus meter saja. Galih mempercepat laju motor mereka, kasihan Mika jika terlalu lama menunggu mereka datang ke sana. Apalagi cuaca sudah panas sekali di luar rumah, padahal menurut Galih di halaman belakang tadi masih terasa sejuk tak sepanas ini. Ya mungkin faktor pohon juga ikut mempengaruhi semuanya.
“Ini masih jauh nggak, Nyu, kalau di maps? Kalau masih jauh papa ngebut, kalau tinggal dikit lagi papa pelan.”
“Deket, Pa, depan situ deh kalau di maps. Mungin nanti kalau ada mobil di pinggir jalan kita berhenti, siapa tau itu si Mika.” Galih menganggukan kepalanya lalu menambah kecepatan laju motornya.
Benar saja di depan sana tak jauh dari tempat mereka, ada sebuah mobil yang tergeletak di pinggi jalan. Galih cepat-cepat mengurangi kecepatan motornya. Ia langsung menepikan motornya guna untuk mengecek pemilik mobil tersebut apakah benar si Mika. Seorang laki-laki duduk di bagasi yang terbuka, wajahnya memerah karena terkena paparan sinar matahari. Ternyata benar mobil tersebut milik si kulkas, laki-laki itu sepertinya membutuhkan banyak air dan juga tempat yang lebih dingin. Kulit putihnya tak bisa menahan terlalu lama dari paparan sinar matahari.
“Ini kenapa mobilnya, Nak Mika? Kamu belum cek ya tadi?” tanya Galih yang digelengi kepala oleh Mika, laki-laki itu ikut melihat kap mobilnya yang dibuka oleh ayah Abimanyu.
Setelah beberapa saat Galih melihat kondisi mobil Mika, ia akhirnya bisa memastikan jika mesin mobil tersebut kepanasan dan air radiatornya habis. “Kamu ada air minum tidak, Mika? Air radiatormu habis ini, pantas saja mobilmu mogok.”
“Eh aku ada, Pa,” ucap Abimanyu sambil membuka bagasi motornya. Selalu ada botol air minum di bagasi kecil tersebut, karena Ifa tidak ingin anaknya merasa kehausan atau pun nanti merasa letih saat berada di perjalanan. Jadi lebih baik membawakan botol minum kemana pun Abimanyu pergi. Seperti pepatah pernah berkata, sedia payung sebelum hujan. Kalau untuk Abimanyu, sedia minum sebelum kehausan.
Galih menuangkan dengan hati-hati air tersebut, wajah Mika semakin memerah. Abimanyu sebenarnya tidak tega melihat wajah Mika yang begitu memerah, menahan panas. Begitu juga dengan Galih yang melirik wajah Mika, anak itu sepertinya sebentar lagi akan dehidrasi jika tidak dibawa ke tempat teduh dan juga harus segera diberi air minum.
“Kalian pulang dulu aja, biar mobilnya papa yang bawa. Kasihan tuh si Mika udah kepanasan banget, wajahnya merah banget. Cepet sana kamu bawa pulang dulu, Nyu. Mama kamu kan tadi udah beri pesan buat ngajak si Mika mampir, ya udah kamu ajak aja ke rumah.” Galih tersenyum lalu diangguki kepala oleh Abimanyu. Sebelum mereka pulang Mika terlebih dahulu menyerahkan kunci mobilnya pada Galih. Ia bisa merasakan keluarga sebenarnya jika berada di lingkup keluarga Abimanyu. Bahkan kedua orang tua Abimanyu sudah menganggap dirinya seperti anak sendiri.