A 6 - KUIS

2364 Words
Seperti hari senin pada minggu sebelumnya aktivitas Abimanyu masih pergi ke kampus, ada kelas pagi. Si hitam sudah ia parkirkan di halaman rumah dengan kondisi bersih habis mandi, motor kesayangannya tersebut hari ini mendapatkan jadwal untuk menemani Abimanyu pergi ke kampus. Baju hitam dengan luaran kemeja flannel kotak-kotak dan juga celana hitam andalannya sudah melekat di tubuh Abimanyu, sepatu berwarna putih tak lupa ia siapkan di dekat helm full face miliknya. Penampilan Abimanyu selama ini memang tidak pernah gagal sama sekali. Selain Jatmika, dia menjadi pengisi daftar panjang sebagai laki-laki yang digandrungi mahasiswi kampusnya. Senyuman dan wajah manis nyatanya mampu menarik perhatian para kaum cewek-cewek untuk mengagumi dirinya.   “Ma… Manyu berangkat ya. Udah mau telat nih. Nanti manyu pulang seperti jam biasanya ya, jangan lupa masak yang enak buat Manyu.” Abimanyu memakai helm sebagai aktivitas akhir sebelum berangkat ke kampus tercinta. Ifa datang tergopoh-gopoh sampai tida sadar tangannya masih membawa spatula, senyumannya tidak pernahh pudar jika berhadapan dengan putra semata wayangnya. Penantian panjang mereka berdua – Ifa dan Galih – akhirnya berbuah manis, Abimanyu lahir menjadi bukti cinta.   “Semua udah masuk kan, Nyu? Botol minumnya udah masuk bagasi motor belum? Buku-buku sama tugasnya udah semua? Beneran nggak ada yang ketinggalan? Nanti jangan lupa beli makanan apa gitu buat ganjal perut ya, sarapan kamu tadi cuma sedikit banget loh. Mama takut nanti kamu kelaperan belum waktunya pulang, Nyu.” Ifa mengelus lengan Abimanyu dan senyumannya belum pudar sama sekali, masih sama. Perempuan itu menghela napasnya perlahan lalu menganggukan kepala, sebagai tanda setuju anak laki-lakinya tersebut berangkat.   “Hati-hati ya, Manyu,” lanjut Ifa dengan melambaikan tangannya. Selalu ada rasa bahagia yang menyelimuti hati melihat anak semata wayangnya sudah dewasa padahal dulu mereka harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan Abimanyu. Semua penantian panjang dan seluruh pengorbanannya kini terbayar lunas ketika melihat putranya sudah tumbuh dewasa menjadi anak yang berbakti.   Motor matic hitam merk AEROX mulai meninggalkan halaman rumahnya, sang empu mulai pergi ke rumah keduanya. Cuaca cerah dan suhu pagi ini yang tidak terlalu dingin menambah kesempurnaan awal hari setelah sarapan lezat buatan Ifa, ibunya. Semua selalu Abimanyu anggap sempurna, dia tidak membiasakan hatinya merasa sedih atau sudah terbebani masalah di waktu pagi hari karena mood buruk akan berdampak ke segala aktivitasnya seharian.   “Semoga harimu menyenangkan, Nak, mama nggak mau kamu sedih. Mama selalu berharap yang terbaik untuk kamu, anak mama yang paling mama sayangi.” Ifa mengucapkan semua itu setelah motor Abimanyu menghilang dari pandangannya, tak sadar air matanya menetes perlahan. Tak dapat ia pungkiri jika kehadiran Abimanyu merubah segala yang ada di keluarga besarnya. Abimanyu adalah penyelamatnya. Dan Abimanyu adalah segalanya untuk dia dan semua keluarganya.   Di lain tempat, ketiga orang itu tengah menanti kehadiran salah satu teman mereka yang belum menampakan batang hidungnya. Mereka tengah gundah karena tiba-tiba mendapatkan kabar akan diadakan kuis, padahal pada pertemuan sebelumnya tidak ada pembahasan pelaksanaan kuis tersebut. Bahkan materinya saja belum disampaikan semua. Definisi pagi-pagi sudah membuat mood hancur berantakan, tidak banyak hal yang dapat mereka lakukan selain membaca sekilas materi pertemuan minggu lalu. Di antara mereka yang memiliki otak encer hanya Abimanyu, setidaknya ada setitik harapan yang dapat mereka gantungka di pundak laki-laki tersebut. Mereka yakin jika hanya Abimanyu yang belajar serius di antara mereka bertiga.   “Si Manyu kemana sih kok belum datang? Jangan bilang kalau dia udah denger berita duluan, terus dia malah pilih bolos kelas hari ini. Kalau sampai bener dugaan gue, jangan harap dia masih bisa diterima dengan baik di kumpulan kita. Ini tadi kalau belum di absen pasti gue milih bolos aja, kenapa sih segala di absen duluan? Biar apa coba? Biasanya juga absen pas udah duduk di kelas kan? Ada apa dengan hari ini? Bisa-bisanya sebelum masuk kelas udah di absen,” gerutu Gendhis. Raut wajahnya sudah tidak dapat digambarkan lagi antara kesal, marah, kecewa dan sedih, bercampur menjadi satu. Bahkan ia menjadi lebih sensitif pada siapa pun, senggol sedikit saja bisa langsung dibabat sama Gendhis.   “Manyu kan kalau berangkat emang sedikit siang kadang, Ndhis. Kayak lo lupa aja sama tuh bocah. Dia kalau berangkat pagi, terlalu pagi. Kalau pas berangkat agak siang dikit, sampai sini udah hampir menit-menit mendekati masuk. Santai aja dulu, datang kok dia. Semisal dia nggak masuk pasti titip absen ke antara kita bertiga deh. Lo tenang dulu, jangan panik. Masih pagi kali ini tuh,” ucap Kinanthi sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia yakin jika Abimanyu bakalan masuk hari ini, hanya saja jam berangkat laki-laki tersebut sedikit di siangkan daripada hari sebelumnya.   Gendhis mulai tak sabaran menunggu Abimanyu, apalagi teman-teman mereka banyak yang tengah belajar atau hanya sekedar mengulang materi minggu lalu. Gerak aktivitas orang-orang di sekitarnya membuat pikiran Gendhis semakin tidak menentu, ia tambah panik. Bahkan materi sebelumnya yang masih tersimpan rapi di otaknya seakan menghilang secepat kedipan mata. Usahanya membaca atau menghapal mulai terasa sia-sia, otaknya terasa blank tidak bisa menerima hapalan lebih banyak lagi. Bisa saja nanti dia akan mengalami kesulitan saat mengerjakan kuis.   “Ini ada apa sih? Pagi-pagi udah kayak lebah mau pindahan aja suaranya, perasaan nggak ada tugas atau pun kuis kan? Apa gue yang kurang update berita ya?” tanya laki-laki yang cengar-cengir dengan terkekeh pelan. Semua temannya sedang fokus pada buku masing-masing, bahkan yang biasanya tidak pernah belajar pun untuk hari ini sampai niat hapalan. Luar biasa sekali!   “Lo emang lagi keluar dari gua ya, Nyu. Kita nanti ada kuis dadakan dari nyai, materinya sampai bab tiga. Emangnya lo udah belajar apa? Udah datang paling akhir sendiri lagi,” jawab Asep yang tengah duduk di tangga sambil memejamkan mata berusaha menempelkan semua kalimat di buku pada dinding otaknya. Abimanyu mengerutkan dahinya lalu mengangguk-anggukan kepalanya perlahan, ia lalu berjalan ke arah tiga sahabatnya yang berwajah suram sekali pagi ini.   Perasaan gue udah mulai nggak enak nih, gue yakin mereka pasti mau minta jawaban nanti. Udah bisa ditebak dari wajah si Gendhis yang tidak ada gambar masa depan sama sekali di wajahnya. Suram kali, permisa! Abimanyu memasukan tangannya ke saku lalu bersenandung kecil di setiap langkahnya, sudah seperti anak yang baru saja dapat bocoran soal dari dosen. Tidak ada kerisauan yang terpancar di wajah Abimanyu, dia seperti merasa baik-baik saja setelah mengetahui akan diadakan kuis pagi.   Abimanyu duduk di samping Kinanthi sambil tersenyum kecil. “Iya gue bakal kasih bocoran nanti. Nggak usah takut. Wajahnya biasa aja dong, panik banget sih. Ini cuma kuis doang kali, santai aja. Kalau kalian terlalu panik nanti malah nggak bisa mikir loh dan terus berdoa aja kuis kali ini soalnya mudah banget.”   “Lo kan udah belajar, Nyu, jelas aja lo santai. Otak sama hati lo udah cocok satu sama lain. Semua materi udah tersimpan rapi semua di kepala, perasaan lo lagi bahagia banget. Lah kita? Kita keburu panik duluan, Nyu. Mau bolos juga udah ke absen, kalau ketahuan bolos bakal dapat nilai D. Mau nggak mau ya harus mau, namanya pemaksaan nih kalau kayak gini sebenarnya.” Gendhis masih belum bisa menerima dengan kuis dadakan tersebut, hatinya masih dongkol. Bahkan mungkin dendam dengan Bu Retno, padahal sebenarnya tak hanya beliau yang selalu memberi kuis dadakan seperti ini.   “Malah bagus dong, jadi semuanya ikutan kuis. Nilai kalian malah jadi dapat tambahan, kalau semisal tugas nilanya kurang bagus bisa tuh ditambal dari nilai kuis. Udah lah tenang aja nggak ada yang perlu dikhawatirkan kok. Bu Retno tuh baik, dari sekian dosen yang baik cuma beliau. Mau kuis aja dikasih tau duluan, ini tadi kalau pak kumis nggak mungkin dikasih bocoran loh. Pasti langsung ngasih kuis tanpa peduli kita udah ada persiapan atau belum,” sanggah Abimanyu. Wajahnya masih memancarkan senyuman kecil, sepertinya wajah laki-laki tersebut hampir setiap hari selalu berhias senyuman. Tidak ada hari tanpa senyuman. Maka dari itu Abimanyu selalu dijuluki si murah senyum oleh semua teman-temannya, bahkan rumput di parkiran pun sudah merasakan diberi senyuman manis milik Abimanyu.   Tak berselang lama waktunya mereka masuk ke dalam medan perang, semua wajah tidak ada yang tenang. Hampir semua wajah tegang dan panik, hanya Abimanyu saja yang tenang memasuki ruang kelas. Bahkan ia masih sempat menggoda beberapa teman lainnya agar tidak terlalu tegang tapi tetap saja tidak mempan, semua terlanjur larut dalam suasana. Bu Retno pun datang juga tepat waktu untuk pertama kali dalam sejarah. Momen seperti ini jelas menambah detak jantung seperti habis dikejar anjing.   “Seperti yang sudah tadi saya katakan, kita akan melakukan kuis pagi ini ya. Tolong semua buku catatan dan ponsel di masukan ke dalam tas terlebih dahulu. Jangan panik, lihat tuh Manyu dia malah senyum. Soalnya semua pilihan ganda, karena saya yakin jika semua dibuat uraian mood kalian pasti akan bubrah sampai nanti sore. Ini soalnya mudah sekali, bahkan semuanya ada di materi kemarin. Setelah ini kalian bisa pulang, saya tidak akan menambah materi lagi. Saya yakin kalian memerlukan waktu untuk istirahat setelah mendengar berita yang begitu mengejutkan di pagi buta.” Bu Retno tersenyum sambil menatap semua wajah mahasiswa dan mahasiswi yang terlihat tegang dan panik. (Bubrah = berantakan)   “Mas Abimanyu tolong dibagikan soalnya,” lanjut Bu Retno sambil tersenyum ke arah Abimanyu. Posisi laki-laki tersebut duduk di depan pojok, jadi mudah sekali terpantau. Di belakangnya terdapat Gendhis, lalu menyusul Kinanthi di samping Gendhis dan Jatmika duduk di samping Kinanthi. Gendhis memiliki penglihatan tajam jadi dari jarak jauh pun bisa melihat jawaban milik Abimanyu dengan cepat. Taktik kerja sama yang patut diacungi jempol.   Abimanyu membagi soal tersebut dengan senyuman sumringah di wajahnya, tidak terlihat garis ketakutan di wajahnya. Ia percaya jika semua dilalui dengan senyuman dan penuh percaya diri maka hasilnya akan memuaskan. Sekteh sesat yang tidak bisa diikuti oleh semua orang, kepercayaan yang dipegang teguh oleh Abimanyu nyatanya tidak berhasil bila diterapkan pada orang lain. Si pandai memang memiliki cara sendiri dalam menenangkan hati dan pikirannya agar tetap senantiasa tenang.   “Sudah semua ya, jangan lupa berdoa terlebih dahulu sesuai agama dan kepercayaan masing-masing sebelum mengerjakan. Saya doakan semua mengerjakan dengan lancar dan mendapatkan nilai sempurna semuanya. Bu Retno yakin semua yang berada di sini adalah orang hebat,” ucap Bu Retno sambil tersenyum. Beliau duduk di kursinya lalu melihat sambil melihat suasana ruangan yang berubah hening, seperti tidak ada tanda kehidupan di sana.   Semua memperlihatkan wajah tegang setelah membuka lembar pertama soal tersebut, sebenarnya tidak terlalu susah namun mereka sudah terlanjur panik duluan. Jadi pikiran tidak bisa fokus dan tidak bisa memahami dengan baik apa yang diinginkan soal tersebut. Berbeda dengan Abimanyu yang tanganya terus menjawab setiap soal yang sudah disediakan, semua ucapan Bu Retno bisa dipegang dengan baik olehnya. Nyatanya ia merasa semua soal ini sudah pernah diberikan pada pertemuan sebelumnya. Pertanyaan ada tiga puluh lima dan kurang dari tiga puluh menit sudah selesai Abimanyu kerjakan.   Ia tinggal menunggu ketiga temannya yang nampaknya masih kesulitan memahami setiap soal. Gendhis selalu memanfaatkan keadaan, matanya selalu menyipit tajam jika Abimanyu bergerak memberikan ruang padanya untuk melihat jawaban. Sesekali ia menggunakan kode jari tangan untuk memberitau jawaban pada perempuan tersebut.   “Nyu, nomor tiga empat sama tiga lima. Tinggal itu doang yang belum,” bisik Gendhis saat Bu Retno melihat arah lain. Abimanyu menganggukan kepalanya lalu memberikan jari telunjuk dan setelahnya adalah jari telunjuk dan tengah.   “A sama B?” Abimanyu menganggukan kepalanya perlahan. Akhirnya keempat anak tersebut selesai mengerjakan kuis, bukan keempat lebih tepatnya Abimanyu sendiri. Mereka mengumpulkan lembar jawaban dan soal bersamaan ke depan lalu mengambil tas kemudian pergi meninggalkan kelas.   Mereka memutuskan untuk stay di kampus terlebih dahulu, karena masih terlalu pagi untuk pulang. Lagi pula mereka belum ada satu jam di sini, waktu mereka hanya habis untuk perjalanan.   “Parah sih, gue lupa semua. Untung otak lo encer ya, Nyu, gue heran sama lo kok bisa mikir terus sih? Mana masih ingat dengan jelas apa yang dijelaskan Bu Retno pas pertemuan minggu lalu lagi. Hebat banget. Gue salut sama lo,” ucap Gendhis dengan meregangkan ototnya. Mereka tengah duduk santai di tangga sambil menikmati hamparan rumput hijau di taman depan. Setiap sudut kampus masih sepi, semua masih berada di dalam kelas karena memang belum waktunya pulang.   “Gue bangga sama lo, Nyu. Selalu bisa kita andalkan dalam waktu sesulit ini. Gue curiga kalau lo sebenarnya nggak punya kekurangan deh, Nyu. Hampir semua lo bisa, mantab banget. By the way, makasih ya udah bantu tadi. Untuk makan siang gimana gue yang traktir?” tanya Kinanthi. Ia merangkul bahu Abimanyu yang kebetulan duduk di sampingnya sedangkan Gendhis dan Jatmika duduk di belakang mereka.   “Gue nggak bisa. Gue harus pulang.” Jatmika menolak ajakan Kinanthi dengan raut wajah datarnya. Suasana hati laki-laki tersebut sebenarnya tidak bisa ditebak sama sekali. Mau senang, susah, sedih, kecewa atau pun bahagia tetap saja wajahnya datar.   “Yah… lo kenapa nggak mau? Jangan bilang lo cemburu sama si Manyu ya, Mik. Biasanya kalau habis kuis gini terus lo jealous pasti ada hubungannya sama si Manyu. Ngaku lo,” ledek Gendhis dengan memandang Jatmika lebih tajam.   “Nggak. Gue nggak cemburu. By the way, makasih ya, Nyu. Gue harus pulang duluan.” Jatmika menepuk bahu Abimanyu lalu melenggang pergi meninggalkan mereka semua. Belum sempat Abimanyu menjawab tapi laki-laki tersebut sudah berlari menjauh.   “Ini nih yang nggak gue suka dari si Mika, selalu aneh. Dia kadang tuh ngerasa tersaingi sama Manyu, apalagi tadi pas jawab kuis dia cuma minta jawaban beberapa doang. Gue yakin sih dia emang nggak suka sama Manyu yang lebih unggul ketimbang dia di bidang akademik,” ucap Gendhis. Mereka bertiga menghela napasnya perlahan.   “Gue padahal bukan mau pamer kepinteran loh. Sebagai sahabat yang baik, gue pengen kalian semua juga dapat nilai bagus seperti yang gue rasakan. Tapi kadang si Mika salah tangkap. Gue harus gimana dong?” Abimanyu menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak mengerti lagi dengan jalan pikiran si Jatmika terhadap dirinya.   “Udah santai aja, Nyu. Ntar si Mika juga balik lagi kayak biasanya kok, namanya iri itu wajar kok. Lagian semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Si Mika nggak jago di akademik tapi di non akademik dia oke. So, nggak ada yang perlu berkecil hati kok. Lo jangan terlalu berpikiran macam-macam,” ucap Kinanthi dengan tersenyum kecil sambil menepuk bahu Abimnayu.   Jatmika, selain kulkas dia juga seorang yang memiliki ambisi untuk menjadi lebih, lebih dan lebih dari orang di sekitarnya. Dia tidak ingin ada orang lain yang melebihi dirinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD