Seperti yang Ervan ucapkan tadi pagi, kini dokter tampan itu sudah stay di depan pintu ruangan Divisi Keuangan, sambil menatap Reva yang masih fokus pada pekerjaannya sesekali menggerutu melihat Ervan di depan sana.
Segala macam gerutuan keluar dari bibir pulm berwarna pink milik Reva. Merutuki kebodohan dan ketidakwarasan dokter yang sayangnya tampan itu. Reva tau Ervan tak main-main dengan ucapannya yang menyuruhnya, ah tidak, lebih tepatnya memaksanya untuk tinggal di rumahnya. Tapi tidak dengan cara seperti ini juga, Reva jadi menahan malu karena dokter gila itu.
"Rev, udah kali kerjanya. Kasian tuh cowok lo nungguin dari tadi," ucap salah satu rekannya.
"Tau nih si Reva. Dokter cinta lo udah dateng tuh," sambung yang lainnya.
Lalu mereka tertawa mengejek membuat Reva semakin malu.
"Diem deh, Kak. Gak usah ikut-ikutan," kesal Reva menatap Celin yang cekikikan di samping mejanya.
"Makanya pulang aja sono. Lagian bentar lagi udah jam pulang. Kerjaan lo bisa di kerjain besok juga, gue bantu deh nanti. Kasian cowok ganteng gitu lo anggurin." Celin menggoda menaik turunkan alisnya.
Reva memutar bola matanya malas dan menoleh ke arah Ervan yang sedang bersandar di kusen pintu dengan satu tangan di masukkan ke dalam jas dokternya dan tangan satunya memainkan ponsel canggih milik sang dokter itu sendiri.
Yaa, itu juga salah satu dari sekian banyaknya hal yang membuat Reva malu. Walaupun Ervan tampak lebih tampan dan keren memakai jas dokter itu, tapi apa Ervan tak bisa berpenampilan seperti biasa saja? Sangat mencolok sekali jas putih dan stethoscope yang menyumbul dari saku jas itu.
"Bodo amat lah. Biarin dia nunggu sampai malam juga aku gak peduli. Dasar cowok gila," gumam Reva kembali mengerjakan pekerjaannya.
15 menit berlalu dan Reva masih mendapatkan Ervan yang berdiri di sana, dengan posisi yang sama. Hanya saja sekarang Ervan tengah menatap tepat ke arahnya membuat Reva dengan cepat mengalihkan tatapannya.
"Dek, mendingan kamu pulang aja. Kasian juga dia lama-lama," ucap Melin.
"Nanggung Kak. Lagian aku gak nyuruh dia nunggu di sana," jawab Reva tanpa mengalihkan tatapannya dari komputer di depannya.
"Yaa, terserah kamu sih," balas Melin mengedikan bahunya acuh.
10 menit kemudian barulah pekerjaan Reva selesai, bertepatan dengan jam pulang. Reva meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Lalu beralih merapikan meja kerjanya.
"Reva ayo pulang."
Atensi semua orang yang ada di sana beralih pada yang bersuara. Bukan apa-apa, tapi mereka mendengar dua suara yang berbeda di sana.
"Pak Devin," gumam Reva melihat sang atasan berdiri di samping Ervan.
Ervan dan Devin saling melempar tatapan tak suka, mengarah pada tatapan tajam. Tinggi mereka hampir sama, dengan Ervan yang memang sedikit lebih tinggi di banding Devin.
Lagi, mereka menatap dua dewa tampan saling mengibarkan bendera perang lewat tatapannya masing-masing. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Itulah yang sedang di nanti-nanti oleh mereka di dalam sana.
"Ada urusan apa lagi, Anda, di sini?" tanya Devin memulai.
"Yang penting tidak untuk menemui Anda," jawab Ervan kemudian berjalan menuju Reva.
Reva yang sudah siap dengan tas yang tersampir di pundaknya hanya menatap polos pada Ervan yang menariknya untuk pergi. Masih butuh waktu baginya mencerna apa yang sedang terjadi.
Sampai di depan Devin, mereka terhenti karena Devin mencekal satu pergelangan tangan Reva yang bebas.
Baiklah, Reva berada di antara mereka sekarang. Tolong, siapapun selamatkan Reva dari pria dewasa yang tampan bak Dewa Yunani ini. Selamatkan jantung Reva!
"Reva pulang bersama saya," ucap Devin menatap tajam pada Ervan.
Ervan membalasnya dengan tatapan datar.
"Dia tinggal bersama saya," balas Ervan membuat Devin dan yang lainnya kecuali Reva dan Melin terkejut mendengarnya.
Reva memejamkan matanya, semakin merutuki kebodohan Ervan. Dia akan menjadi bahan gosip sebentar lagi. Apalagi mendapati Devin yang menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.
"Saya hanya tinggal sementara sampai saya mendapatkan apartemen baru, Pak," jelas Reva pada Devin.
Entahlah, Reva merasa Devin menatapnya meminta penjelasan akan hal itu.
"Kalau begitu, kau juga bisa tinggal di tempat saya." Balasan yang sungguh di luar dugaan itu keluar dari mulut Devin membuat mereka semua kembali terkejut untuk yang kedua kalinya, kali ini termasuk Reva dan Melin.
Sedangkan Ervan semakin menatap tak suka pada atasan Reva yang sejak awal bertemu sudah dia klaim menjadi saingannya, masuk ke dalam daftar hitam miliknya.
"Bos, mereka sebentar lagi akan sampai. Sebaiknya Bos cepat pergi dari sana," ucap seseorang di balik earpiece yang menempel di telinganya.
Ervan maju beberapa langkah sampai berhadapan dengan Devin.
"Kau tak perlu ikut campur dalam urusanku," ucap Ervan seraya melepas tangan Devin dari pergelangan tangan Reva.
"Cukup menjadi atasan yang baik baginya. Dan bersikap sewajarnya padanya," lanjutnya menarik Reva lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Reva.
Menoleh sebentar pada Reva lalu kembali menatap Devin sambil mengeluarkan smirk andalannya.
"She's mine," ucapnya pelan.
Sebelum mendapat protesan dari Reva, Ervan dengan cepat membawa Reva pergi dari sana meninggalkan Devin yang menatap kepergian mereka dengan tangan terkepal kuat menahan amarah.
*****
Selama perjalanan menuju manssion Ervan, tak ada yang Reva lakukan selain menggerutu, lalu diam, menggerutu lagi, lalu diam lagi sesaat, dan kembali menggerutu sampai dia lelah sendiri karena Ervan tak pernah menanggapi gerutuannya.
Ervan menoleh ke samping kirinya lalu terkikik geli. Lihatlah, Reva sampai tertidur saking lelahnya menggerutu sendiri.
"Kau terlihat seperti bayi kucing ketika tidur," ucap Ervan sesekali menoleh pada Reva.
"Dan berubah menjadi induk singa betina ketika bangun," lanjutnya dan tertawa pelan karena perkataannya sendiri.
"Bagaimana situasi di sana?" tanya Ervan pada seseorang di seberang sana.
"Mereka berhasil kami alihkan. Kediaman Anda aman Bos," jawab Baza, sang tangan kanan.
"Bagus. Alihkan mereka ke markas__" Ervan menjeda ucapannya lalu menoleh menatap Reva dan tersenyum.
"Lakukan selanjutnya," lanjut Ervan kembali menatap jalanan di depan sana.
"Baik Bos," jawab Baza.
"Kau cukup pintar, Cantik. Tapi tak lebih cerdik dari diriku," batin Ervan tersenyum.
"Apa maksud perkataan Ervan? Siapa dia sebenarnya?" batin Reva bertanya-tanya.
*****
"Bagaimana mereka?" tanya seorang pria paruh baya pada seorang pemuda di depannya.
"Masih aman, Tuan. Semuanya berjalan sesuai rencana Tuan," jawab pemuda itu membuat pria yang di sebut tuan itu tersenyum senang.
"Bagus. Memang itu yang seharusnya terjadi," ucapnya pelan mengangguk-angguk kecil.
"Dan kau? Bagaimana denganmu?" lanjutnya bertanya menunjuk pemuda itu dengan dagunya.
"Tidak ada yang harus terjadi pada saya, Tuan. Tujuan saya sejak awal masih sama. Saya sudah bersumpah padamu," jawab pemuda itu mantap.
Pria paruh baya itu hanya mengangguk percaya.
"Sebenarnya saya tak peduli jika tujuanmu berubah," ucapnya membuat pemuda itu menatapnya.
"Hanya saja kau harus terus mengingat apa yang akan terjadi padamu jika itu berubah," lanjutnya.
"Itu cukup mudah bukan? Semuanya ada di tanganmu," ucapnya lagi dan pemuda itu hanya mengangguk.
Sedikit takut menatap tatapan mengerikan itu. Walaupun terulas senyum di bibir sang tuan, tetap saja tatapan mematikannya tak hilang.
"Baiklah. Saya permisi tuan," ucapnya membungkuk pelan.
"Sebentar."
Sang tuan mengambil sebuah amplop berwarna coklat dan meletakkannya di atas meja tepat di hadapan pemuda tersebut.
"Kau membutuhkannya bukan? Anggap saja bonus untukmu," ucapnya membuat pemuda itu tersenyum senang.
"Terimakasih banyak, Tuan," ucapnya mengambil amplop itu.
"Ya. Pergilah. Jalankan saja sesuai rencana dan tunggu perintah dari saya," ucap tuannya itu.
Si pemuda hanya mengangguk patuh lalu pergi dari ruangan itu.
"Ckckck. Pemuda malang yang bodoh," gumamnya lalu tertawa bahagia.
*****
"Dia Reva?" tanya Baza pada Ervan yang baru tiba menggendong Reva yang sedang tertidur.
"Gak usah nanya dulu bisa? Buka pintunya," perintah Ervan membuat Baza berdecak kesal.
Membuka pintu besar itu sedikit lebar agar Ervan dapat masuk.
"Tutup lagi." Baza hanya menuruti semua yang Ervan perintahkan.
Ervan berjalan ke arah tangga untuk menuju kamarnya di lantai atas. Sedangkan Baza yang mengikutinya dari belakang menghentikan langkahnya tiba-tiba.
"Kan ada maid yang buka tutup pintunya. Kok gue berasa jadi babu sih," gumamnya lalu menatap kesal pada Ervan yang masih berjalan santai di atas sana.
"Ervan sia*an!" umpat Baza agak keras membuat Erven terkekeh pelan mendengarnya.
Hiburan tersendiri baginya dapat mengerjai dan membuat Baza__sahabat satu-satunya itu__kesal.
Ervan sampai di depan kamarnya membuka pintu dan masuk ke dalam lalu meletakkan Reva di atas kasur.
"Lo beneran mau bawa dia tinggal di sini?" tanya Baza tiba-tiba bersandar di ambang pintu masuk.
"Lo kayak setan ya, Baz," ucap Ervan membuat Baza berdecak.
Tak bisakah Ervan menjawabnya saja tanpa mencela?
"Yang kayak gue aja lo bilang setan, trus yang kayak lo apanya dong? Dajal?" balas Baza dan Ervan kembali terkekeh.
Setidaknya hanya pada Baza dia menunjukkan sifat yang seperti ini, selain pada adiknya dan mungkin setelah ini pada Reva.
"Dia gak aman. Cuma di sini gue bisa ngawasin dia," ucap Ervan membuka jas putih itu.
"Kita gak bisa jamin di sini selamanya aman. Lo gak lupa 'kan sama apa yang gue pernah bilang?"
Ervan mengangguk paham. Dia masih sangat ingat apa yang Baza katakan padanya.
"Soal nanti ya nanti. Sekarang, tugas lo cuma mastiin orang-orang di sekitar dia. Dan awasi mereka," ucap Ervan dan Baza hanya mengangguk patuh.
"Ah, satu lagi. Lo mulai sekarang juga bakal tinggal di sini," ucap Ervan.
"Gak bisa gitu dong. Lo mau gue jadi obat nyamuk di sini? Gak gak. Ogah gue liatin kalian mesra-mesraan dan gue ngenes sendiri. Gak mau." Tolak Baza mentah-mentah membuat Ervan memutar bola matanya malas.
"Gak ada bantahan dan gak ada penolakan."
"Ini perintah." Lanjut Ervan cepat saat Baza kembali ingin melemparkan protes.
Baza hanya bisa diam sambil terus memaki Ervan dalam hati. Sedikit menyesal menjadi sahabat pria tampan di hadapannya itu. Apalagi melihat sifat pemaksanya itu.
"Ck. Terserah lo! Gue laper pengen makan," ucap Baza dan turun ke bawah meninggalkan Ervan yang geleng-geleng kepala melihatnya.
Menatap Reva sebentar lalu melangkah ke arah tas Reva yang terletak di atas nakas.
Mengambil ponsel Reva dan tersenyum miring.
Rekaman berdurasi satu jam lebih itu masih berjalan sampai sekarang. Jari Ervan tergerak untuk menghapusnya lalu kembali meletakkan ponsel tersebut ke tempatnya.
Ervan berjalan ke arah ranjang dan duduk di pinggir ranjang, mengelus pelan poni Reva.
"Jangan terlalu dalam mencari tentangku, Sayang. Jika waktunya sudah tepat, aku sendiri yang akan memberitahukannya padamu. Jadi kau hanya perlu menunggu saat itu tiba," ucapnya pada Reva yang masih tertidur.
Kali ini Reva memang benar-benar tertidur.
Menjauh dari sana setelah mencuri satu kecupan di kening Reva, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, tak berniat sama sekali untuk membangunkan Reva.
Entah apa yang terjadi pada Reva setelah ini. Yang jelas, hidupnya yang semula tenang akan menjadi banyak guncangan dan masalah. Mungkin ancaman-ancaman yang akan mendominasi.
*****