"Eunghh." lenguhan Reva terdengar seiring dengan membukanya mata indah itu.
Melihat sekelilingnya yang jelas dia tak mengenal barang se inci pun dari tempat ini. Seingatnya terakhir kali dia ada di mobil bersama Ervan dan bagaimana caranya dia bisa terdampar di tempat senyaman surga ini?
Mendudukkan diri, masih berusaha mencerna apa yang terjadi padanya. Beberapa saat kemudian, insting wanitanya menguar kepermukaan. Langsung saja dia melihat tubuhnya, lalu helaan nafas lega terdengar. Bajunya masih lengkap dan utuh seperti awal, berarti tak ada yang berbuat macam-macam padanya.
Ceklek!
Pintu terbuka membuat atensi Reva beralih pada seseorang yang baru masuk. Itu bukan Ervan, pikir Reva.
"Ah, kau sudah bangun rupanya. Cepatlah mandi dan turun ke bawah untuk makan malam. Kami menunggumu." ucap pria itu cepat dan kembali menutup pintu kalau saja pria itu tak lagi menyembulkan kepalanya.
"Baju gantimu ada di paper bag di walk in closet. Bibi yang menyiapkannya." ucapnya lagi barulah kemudian pintu itu benar-benar tertutup rapat.
Reva bahkan belum mengeluarkan sepatah kata apapun, padahal di kepalanya sangat banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
"Yasudahlah. Bisa aku tanyakan itu nanti." gumamnya pelan.
Menyibak selimut dan turun dari ranjang. Meneliti seluruh ruangan itu terlebih dahulu hingga matanya tertuju pada sebuah pintu yang dia yakini adalah kamar mandi. Berjalan ragu dan membuka pintu itu, benar, itu adalah kamar mandi.
Kamar mandi yang cukup besar menurutnya. Mungkin lebih besar dari unitnya dulu. Apakah Ervan benar-benar orang kaya? Ah bukan, apakah dia keturunan sultan? Lihatlah, kamar mandinya saja sangat mewah dengan warna abu mendominasi, juga aksen gold di beberapa tempat. Reva yakin, ini adalah kamar utama, yang berarti ini adalah kamar Ervan. Yaa dia hanya berasumsi kalau Ervan benar membawanya ke rumahnya.
Baiklah, lupakan sesi mengagumi dan mari mandi lalu turun untuk makan malam.
Ervan yang sedang sibuk di depan laptop megalihkan perhatiannya pada Baza yang baru saja turun dari atas.
"Dia udah bangun?" tanya Ervan dan Baza hanya mengangguk.
"Udah gue suruh mandi trus nanti dia bakal turun." jawab Baza menjelaskan.
Mengambil tempat di samping Ervan sambil memangku cemilan di toples dan fokus pada acara tv di depannya.
Ervan hanya membiarkannya dan kembali fokus pada laptop miliknya. Entah apa yang di kerjakannya, tapi Ervan terlihat sangat serius melihatnya.
"Gimana perusahaan?" tanya Baza tiba-tiba tanpa menatap Ervan.
"Gak gimana-gimana." jawab Ervan seadanya.
Baza menatapnya sinis. Dia tau Ervan mengerti maksud pertanyaannya.
Ervan menoleh ke samping dan melihat Baza yang masih menatapnya sinis.
"Masih di pegang sama Papa." jawab Ervan selanjutnya kembali pada laptopnya.
"Lo bener-bener gak mau ngurus perusahaan? Itu perusahaan bokap lo loh, kalau bukan lo siapa lagi yang ngurus? Lo mau bokap lo pilih orang lain trus ternyata salah orang trus lo bangkrut trus--mmfpth" Ervan dengan cepat memasukkan buah jeruk ke dalam mulut Baza membuat Baza berhenti mengoceh.
"Gila lo!" makinya mengeluarkan jeruk tersebut.
Iya, jeruk bulat yang masih terlapisi oleh kulitnya. Ervan memang niat dalam segala hal.
"Siapa suruh ngoceh." jawab Ervan santai tak merasa bersalah.
"Ck. Gue kubur tau rasa lo!" kesalnya dan beranjak dari sana menuju dapur.
Ervan hanya teryawa kecil melihatnya. Lihat, seru bukan mengerjai Baza?
Mendengar suara langkah kaki, Ervan kembali mengalihkan perhatiannya pada tangga. Ternyata Reva yang sudah siap dengan baju yang tadi sudah di siapkan untuknya.
Piyama pink bermotif polkadot itu terlihat cocok dengan Reva. Menambah kesan manis di wajah Reva, apalagi rambutnya yang sekarang di cepol asal. Terlihat asal-asalan namun manis.
Ervan suka.
Reva yang melihat Ervan di ruang tamu, berjalan hendak menghampirinya sebelum cekalan di tangannya menghentikannya.
"Sebelah sini. Ayo makan malam dulu." ucap laki-laki tadi yang menyuruhnya mandi.
"Van, buruan. Gue udah laper." ucap Baza agak lantang membuat Ervan berdecak.
"Apa-apaan tangannya itu?" gumam Ervan sambil berjalan kearah meja makan.
Reva hanya diam mengikuti pria di depannya yang masih menariknya untuk duduk di salah satu kursi di sana.
"Nah, makan. Lo bisa ambil dan makan sepuasnya. Bibi masak banyak kok." ucap Baza tersenyum membuat Reva ikut tersenyum.
Setidaknya laki-laki ini memberikan kesan hangat untuk kategori orang yang baru bertemu.
"Terimakasih, emm__"
"Baza. Nama gue Baza. Panggil aja, Aa ganteng." ucap Baza mengedipkan sebelah matanya pada Reva membuat Reva terkekeh.
Plak!
"Akh!" Baza mengusap tengkuknya yang baru saja jadi santapan tangan kasar Ervan.
"Sok kegantengan. Panggil aja dia babu." ucap Ervan mengambil tempat di samping Reva.
"Sembarang lo nyet!" kesal Baza tak terima.
"Makan. Atau nggak, pergi aja sana." usir Ervan dan Baza memilih diam.
Reva masih diam di tempatnya sambil menatap Ervan. Sempat tertegun mendengar Ervan berbicara sesantai itu. Dia pikir hidup Ervan tak jauh-jauh dari kata datar, monoton dan dingin.
"Kenapa?" tanya Ervan mendapati Reva yang menatapnya intens.
"Eh?"
"Ah, tidak. Saya pikir Dokter orang yang selalu formal dan serius." jawab Reva membuat Ervan tertawa pelan.
"Saya ini masih muda kalau kau lupa. Saya masih bisa bersifat santai seperti yang lainnya." jawab Ervan dan Reva hanya mengangguk mengerti.
"Ah ya, gak usah formal kalau di rumah. Nanti kamu stres." ucap Ervan lagi.
Baiklah, mungkin Reva bisa mengambil sisi positif dari sifat Ervan yang satu ini. Setidaknya sifat menyebalkannya hilang untuk sementara.
"Makanlah. Kamu mau pake apa?" tanya Ervan.
"Nggak usah. Aku bisa ambil sendiri." jawab Reva dan Ervan hanya mengangguk kembali memakan makanannya.
"Ck. Bener 'kan. Gue cuma jadi obat nyamuk." gumam Baza yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua.
Poor Baza.
--***--
Pagi ini, rutinitas baru Ervan dan Reva di mulai. Jika biasanya Reva memasak sarapan hanya untuk dirinya, maka sekarang dia masak untuk beberapa orang. Yaa, walaupun di bantu oleh bibi, tetap saja dia harus memasak banyak untuk bekalnya nanti, dan juga Ervan, mungkin. Ah, soal Baza, dia tak begitu tau tentang apa pekerjaan atau hal lebih dari pemuda itu selain nama.
Lain dengan Reva, Ervan yang biasanya langsung menuju rumah sakit tempatnya bekerja, maka sekarang dia harus ke kantor tempat Reva bekerja terlebih dahulu untuk mengantar gadis itu. Walaupun awalnya harus berdebat dulu dengan gadis keras kepala itu, pada akhirnya dia pasrah di antar oleh Ervan daripada dia terlambat.
Hanya itu yang berbeda, yang lainnya tetap sama. Ah tidak, satu lagi perbedaannya, tampaknya setiap hari mood Reva yang biasanya selalu bagus akan berakhir buruk karena harus terus berhadapan dengan Ervan. Seperti sekarang, dokter muda itu memaksa untuk mengantarnya sampai ke ruangannya. Untuk memastikan dia aman katanya. Hell, memangnya dia pikir Reva sedang di mana sekarang? Dan sekali lagi karena takut akan terlambat, jadi dia hanya bisa pasrah dengan berbagai gerutuan dan makian dalam hatinya untuk Ervan.
"Sudahkan? Pergilah, kau tak berniat untuk berdiri di sini sampai aku pulang bukan?" ucap Reva pada Ervan.
Lagi, mereka berdua menjadi bahan tontonan karyawan yang lainnya. Tak sedikit yang merasa senang dengan pasangan itu, mereka terlihat sangat serasi.
"Kau tidak sedang memberi kode untuk saya temani bukan?" Ervan balik bertanya, memicing pada Reva.
Reva memutar bola matanya malas dan melipat tangannya di d**a.
"Ck. Lebih baik aku tidak bekerja kalau begitu." balasnya.
"Bagus kalau begitu. Kau lebih baik di rumah, cukup memasak untuk saya, menyiapkan kebutuhan saya dan tunggu saya pulang bekerja. Gampang bukan?" ucap Ervan santai.
Reva jadi semakin kesal dengan pria di hadapannya ini. Moodnya semakin memburuk jika terus berbicara dengan makhluk tampan nan menyebalkan ini.
"Bermimpi saja kau Tuan. Sudahlah, pergi saja ke tempat kerjamu dan jangan ganggu aku di sini. Sana, pergilah. Kau membuat moodku memburuk di pagi ini." gerutunya dan berbalik menuju meja kerjanya.
Ervan hanya tersenyum mendengarnya. Bolehkah kalau dia menyukai ekspresi kesal Reva?
Ervan berjalan mengikuti Reva dan berhenti ketika Reva juga berhenti tepat di depan mejanya.
Reva berbalik dan menatap jengah pada Ervan.
"Kenapa lagi?" tanya nya lelah.
Sungguh, belum genap satu jam dia berdebat dengan Ervan rasanya sudah sangat lelah. Dia hanya ingin bekerja dengan tenang, mengapa pemuda ini mempersulitnya?
Tanpa menjawab apa-apa, Ervan maju beberapa langkah, menarik kepala Reva untuk mendekat dan mendaratkan bibirnya di kening Reva.
Reva memelototkan matanya, tubuhnya kaku seketika. Dia ingin menolak, tapi kejadiannya terlalu cepat dan tiba-tiba. Rasanya anggota tubuhnya tak berfungsi lagi untuk melakukan apapun yang bisa menghentikan tindakan Ervan.
Ervan kembali menarik tubuhnya dan terkikik geli melihat keterkejutan Reva. Lucu sekali pikirnya.
"Ini baik untuk menambah semangat kerja saya." ucap Ervan dan Reva hanya menatapnya polos. Masih dalam mode blank.
"Saya akan menjemputmu nanti. Kau tunggu saja di sini. Saya tak akan terlambat, jadi tak perlu turun ke bawah untuk menunggu di sana." ucap Ervan lagi. Reva masih tetap diam.
"Kau mengerti?"
Seperti sedang di kontrol, Reva hanya mengangguk beberapa kali menjawab pertanyaan Ervan.
"Good girl." ucapnya mengacak pelan rambut Reva sembari tersenyum.
"Saya pergi dulu." dan lagi, Reva hanya mengangguk sebagai balasan.
Ervan berbalik, dan sedikit terkejut melihat banyaknya karyawan yang mengintip mereka dari kaca transparan sebagai dinding pembatas ruangan divisi ini. Ah, jangan lupakan, Melin, Celin dan Gunta yang berdiri di ambang pintu dalam keadaan terkejut.
Bukannya malu, Ervan malah tersenyum senang. Terlebih lagi saat melihat adanya Devin di sana. Seringaian itu muncul begitu saja.
Ervan berjalan keluar dan berhenti di samping Devin.
"I'm the winner, right?" bisiknya pada Devin dan pergi begitu saja.
Hah, senang rasanya melihat wajah Devin yang seperti itu, pikir Ervan.
--***--
"Cari emailnya, kirim itu padanya." ucap pemuda itu pada orang suruhannya.
"Apa tidak apa, Bos? Maksud saya, lebih baik Bos memulihkan keadaan Bos dulu." ucap orang itu menundukkan kepalanya.
Seseorang yang di panggil bos itu menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung sekaligus tak suka dengan usulan itu.
"Secara tak langsung kau mengatakan saya lemah, begitu?" tanya sang bos membuat pemuda di depannya menggeleng cepat.
"Saya hanya__"
"Saya tak butuh pendapatmu saat ini Gio. Tugasmu hanya menuruti perintah saya." balas si bos cepat dengan tatapan datarnya.
Menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya Gio mengangguk patuh.
"Akan saya laksanakan Bos." ucapnya seraya pamit undur diri.
"Aku tak akan mati dengan mudah sebelum dendamku terbalaskan, Ervan. Nyawa harus di balas dengan nyawa bukan?" gumamnya tersenyum miring.
Sedangkan di lain tempat.
Di sebuah ruangan di rumah sakit, Ervan sedang menatap kotak bekal yang tadi di siapkan Reva untuknya. Kali pertama baginya membawa hal semacam ini. Dulu saat ibunya memaksa membawa bekal, Ervan akan menolak mentah-mentah, dengan alasan kasian pada ibu kantin rezekinya berkurang karena dia membawa bekal. Konyol memang.
Dan sekarang, tanpa di paksa sekalipun Ervan dengan senang hati menerimanya. Kapan lagi di buatkan bekal oleh ekhem calon istri?
Senyumnya pun tak pernah luntur sedari tadi, rasanya tak lelah baginya jika terus tersenyum seperti itu.
Ting!
Sebuah notifikasi membuat perhatiannya teralihkan. Sebuah email ternyata.
Jarinya bergerak lincah di atas keyboard laptop itu sebelum kemudian membuka email tersebut.
Tersenyum miring saat melihat isinya.
"Hah." helaan itu terdengar sangat menyenangkan melihat email tersebut. Ervan memilih menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dan menatap langit-langit ruangannya yang sama sekali tak terlihat menarik.
"Ternyata belum ada yang melampaui kecerdasanku." gumamnya kemudian tertawa pelan.
Tapi sedetik kemudian, tawanya perlahan luntur di gantikan oleh ekspresi datar dan tatapan tajam miliknya.
"Bukankah sudah kuperingatkan untuk tak mengganggunya lagi? Kau semakin menguji kesabaranku." gumamnya lagi.
Memilih menutup matanya.
"Baiklah, mari kita lihat. Sebanyak apa nyawamu itu sehingga kau sangat berani."
--***--