Melegakan

1700 Words
Ceklek! Pintu operasi itu terbuka setelah lebih dari lima jam para dokter bedah itu berada di sana. Ervan menatap datar para keluarga dari pasien yang baru saja di operasi. Mereka hanya berdiri dan menatap kearahnya dengan penuh tanda tanya. Ervan mendekat lalu melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Operasinya berjalan lancar." ucapnya kemudian pergi begitu saja tanpa memperdulikan keluarga pasien yang ingin bertanya lebih lanjut. Informasi itu sudah cukup bukan? Setidaknya itu kabar yang sangat baik. "Seharusnya itu juga yang Abang denger pas kamu di operasi, Dek." gumam Ervan pelan sambil terus berjalan menuju ruangannya. Sepintas ingatannya kembali berputar di saat-saat menyakitkan dalam hidupnya. Di saat sang dokter bedah yang sudah berumur itu mengatakan kalau adik kesayangannya tidak bisa di selamatkan. Semudah itu mereka mengucapkannya pada Ervan yang sejak awal sudah terguncang hebat. Yaa, semudah itu. Ervan membuka pintu ruangannya dan sedikit terkejut saat melihat seorang wanita di dalam sana. Siapa yang mempersilahkan wanita ini masuk ke ruangannya? "Siang, Dokter Ervan." ucapnya ramah dengan senyum di bibirnya. Ervan hanya diam memperhatikannya dengan alis yang terangkat sebelah seakan bertanya 'Ada apa?'. "Ah, begini. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Dokter punya waktu?" tanya wanita ini sopan. Melirik sebentar pada jam di dinding dan berjalan menuju kamar mandi meninggalkan wanita itu dengan raut bingungnya. 10 menit kemudian barulah Ervan keluar, dan masih menemukan wanita tadi dalam posisi yang sama saat dia meninggalkannya ke kamar mandi. "Ah, jadi dia membersihkan diri." batin wanita itu mengangguk pelan. "Saya punya waktu 30 menit." ucap Ervan tiba-tiba yang ternyata sudah duduk di kursi kebesarannya. Wanita itu masih dalam mode loading, terlalu tiba-tiba baginya saat Ervan mengatakan itu. "Nona Melin Maulina." panggil Ervan membuat Melin tersadar dari lumunannya. "Kau tau saya orang yang sibuk?" tanya Ervan menatapnya datar dan Melin hanya mengangguk canggung. "Maafkan saya, Dokter." "Katakan." perintahnya. Melin jadi bingung sendiri, entah perasaannya saja atau memang kenyataannya bahwa Ervan terkesan lebih lembut hanya pada Reva. Lihatlah, wajah datar itu menatapnya tajam seakan bisa membuat jantungnya bolong karena tatapannya. "Saya perlu tau siapa Anda sebenarnya dan apa yang sedang Anda rencanakan untuk adik saya, Reva." tanya Melin to the point. Ervan mengernyit bingung mendengarnya. "Adik? Kau yakin menyebutnya adik?" tanya dokter tampan itu. "Dia sudah seperti adik bagi saya. Saya hanya tidak ingin terjadi hal buruk padanya, maka dari itu saya menanyakan ini." jawab Melin tenang. "Bukankah kau sudah tau sedikit banyaknya tentang saya?" Ervan balik bertanya. "Lalu kenapa Anda seakan melibatkan Reva? Bukankah Anda mengatakan kalau musuh Anda akan Anda tangani dan melindungi Reva. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Saya perlu tau tentang itu, apalagi Anda akan membawa Reva tinggal di rumah Anda. Jujur, saya masih tidak percaya melepasnya pada Anda" "Nona Melin, Anda sudah masuk terlalu jauh kalau Anda mau tau." ucap Ervan masih mempertahankan posisinya. "Saya menugaskan Anda menjaga Reva waktu itu, karena Anda dekat dengannya dan Reva percaya pada Anda. Bukan berarti Anda merasa bebas mengetahui semuanya yang ada pada saya." lanjutnya. Melin sedikit kesal mendengarnya. Pantas saja Reva tak mau bertemu pria tampan ini, ternyata memang sifatnya yang sangat menyebalkan. "Masalahnya saya sudah terlanjur tau, Dokter. Dan juga Reva sudah terlanjur terkena masalah gara-gara Anda. Saya perlu tau lebih jelasnya agar bisa mengawasi dan menjaganya." ucap Melin berusaha tenang. Ervan terkekeh pelan mendengarnya. Menjaga katanya? "Menjaga seperti apa yang kau maksud Nona? Kau punya anak buah yang banyak? Bodyguard? Kau punya kekuasaan? Kau punya koneksi yang banyak? Oh, atau kekayaanmu melimpah?" tanya Ervan yang jelas sekali terdapat kalimat remeh di dalamnya. Melin mendelik tak suka. Dia memang tak mempunyai semua itu, tapi setidaknya dia bisa mengawasi Reva, dia bisa membatasi dengan siapa saja Reva harus berinteraksi dan mengawasi orang-orang di sekitar Reva. Itu cukup membantu bukan? "Yaa, diammu sudah menjawab semuanya. Kau boleh pergi sekarang." ucap Ervan menunjuk pintu keluar yang masih terbuka lebar membuat Melin semakin kesal pada Ervan. "Kau cukup menemaninya kemanapun dan dimanapun. Sisanya serahkan padaku. Aku bisa mengurusnya sendiri." lanjutnya sebelum Melin benar-benar pergi dari ruangan itu. Melin berbalik dan menatap tajam pada Ervan. "Aku juga akan terus mengawasimu, Dokter. Aku tak mungkin membiarkan adikku jatuh pada orang berbahaya sepertimu." ucapnya dan pergi dari ruangan Ervan. Ervan tersenyum tipis mendengarnya. "Aku memang berbahaya. Tapi kau belum tau saja seberapa besar bahaya yang akan datang jika aku tak ada bersama Reva." gumamnya. ***** Reva masih sibuk berkutat dengan komputer di depannya. Sesekali dia melirik jam yang ada di dinding. Sebentar lagi adalah waktu makan siang, sungguh dia sudah sangat lapar sekarang. "Anak baru. Selesaikan ini. Input semua datanya dan kirim ke emailku. Ini penting, jadi kau harus menyelesaikannya setelah jam makan siang berakhir." ucap seorang wanita padanya. Wanita bernama Lura itu seperti tak suka padanya sejak pertama Reva masuk. Entahlah apa masalahnya dengan Reva, yang jelas dia sering melimpahkan pekerjaannya pada Reva, menatap sinis pada Reva dan berbicara ketus padanya. "Heh wanita sinting! Lo gak usah nyuruh-nyuruh dong. Kerjaan dia banyak dan lebih penting dari pada punya lo itu. Lo pikir, lo bos di sini? Enak banget lo nyuruh orang." ucap Celin menatap tak suka pada Lura. Lura hanya memutar bola matanya malas mendengarnya. "Terus? Lo bos? Terserah gue dong mau apa, itu urusan gue bukan lo. Mending lo urus aja kerjaan lo yang gak selesai-selesai itu." ucapnya angkuh dan kembali berjalan menuju mejanya. "Bener-bener ya lo__" "Udah Kak. Aku bisa kok kalau cuma ngerjain ini." lerai Reva. "Ck. Lo juga, b**o banget mau-mau aja di suruh-suruh. Lo tuh harus tegas Rev, lo mau di tindas mulu?" ucap Celin kesal. "Lo berisik tau nggak." ucap Gunta yang terganggu karena suara Celin. "Sini, biar ini Abang bantu kerjain. Kamu kerjain aja sisanya biar cepat selesai." ucap Gunta mengambil beberapa dokumen yang tadi sempat Reva kerjakan. "Loh, kerjaan Abang?" tanyanya. "Udah selesai kok." jawabnya tersenyum membuat Reva ikut tersenyum. "Makasih ya Bang." Gunta hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ck. Siniin. Biar gue bantu juga. Gue usah kelar nih. Tapi lain kali jangan di terima lagi, gue gak mau bantuin lo bantuin lo lagi." ucap Celin pada Reva. Reva hanya terkekeh mendengarnya. Minggu lalu juga Celin berucap seperti itu padanya. Dan dia sangat bersyukur karena Tuhan menghadirkan orang-orang baik seperti mereka. Baru saja ingin mengerjakan pekerjaannya, namun perhatian Reva teralihkan oleh sosok Melin yang baru datang dan duduk tepat di hadapannya, tepatnya di meja kerjanya yang berada di depannya. "Dari mana Kak? Kakak tiba-tiba langsung keluar tadi." tanya Reva membuat Meljn menatapnya. Sebenarnya dia ingin sekali menceritakan tentang Ervan pada Reva tapi melihat wajah Reva dan kejadian yang menimpa Reva membuatnya tetap bungkam. Dia tidak ingin membuat Reva semakin terbebani dengan masalah ini. Akhirnya dia memilih tersenyum pada Reva seperti biasanya. "Tadi Kakak ada urusan mendadak." ucapnya dan Reva hanya mengangguk mengerti dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Lama Melin menatap Reva sampai akhirnya dia fokus pada komputer di depannya. "Semoga gak ada bahaya yang datang sama kamu Dek. Semoga Dokter itu jagain kamu sesuai ucapannya." gumamnya melirik Reva sekali lagi. ***** Reva, Melin, Celin dan Gunta berjalan beriringan menuju kantin. Sesekali bercanda hanya untuk sekedar menghibur Reva yang seakan sudah kehilangan semangat hidup. Saat bekerja saja, Reva mati-matian mencoba untuk profesional dengan tidak membawa masalahnya ke dalam pekerjaan. "Reva." panggil seseorang membuat antensi ke empat orang itu berubah. Mereka berbalik dan menatap Devin yang sedang berdiri di belakang mereka dengan pose tampan. "Ikut ke ruanganku sekarang. Ada yang ingin aku berikan padamu." ucapnya kemudian berjalan menuju lift tanpa menunggu jawaban Reva. Reva tentu bingung, apalagi yang lainnya. Semenjak kejadian di mana Ervan mengaku sebagai calon suaminya, Reva sudah jawab berinteraksi dengan Devin. Entahlah, dia merasa Devin menjaga jarak dengannya. Lihat saja tadi, tak ada senyum yang dia berikan pada Reva seperti sebelum-sebelumnya. "Pak Devin lagi mode datar tuh. Lo hati-hati, Rev." ucap Celin menakut-nakuti. "Jangan di dengerin. Sana susul Pak Devin. Kali aja penting. Kita tungguin kok." ucap Melin dan Reva hanya mengangguk patuh kemudian berjalan menuju lift. Di sepanjang perjalanan menuju ruangan Devin, Reva terus mengingat apa ada kesalahan yang dia perbuat? Mengingat tadi nada bicara dan ekspresi Devin tadi sangat tak bersahabat. Merilekskan tubuhnya sebelum dia mengetuk pintu sang bos besar sampai terdengar perintah dari dalam untuk dirinya masuk. Dan Reva semakin bingung saat melihat Devin duduk di sofa dengan beberapa jenis makanan yang tersusun rapi di atas meja. "Apa ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya Reva saat berdiri di depan Devin. "Duduklah dulu." ucap Devin menepuk sisi kosong di sampingnya. Reva masih tak mengerti namun dia tetap mengambil posisi duduk, tak jauh dari Devin. "Saya hanya ingin mengajakmu makan siang. Ibu saya memasak banyak hari ini. Makanlah, anggap saja ini sebagai balasan waktu kau memberikan bekal untukku." jelas Devin yang melihat raut bingung di wajah Reva. Ah, Reva mengerti sekarang. Jadi bosnya ini mengajak makan siang bersama ya? Reva pikir apa. "Saya pikir saya melakukan kesalahan, Pak." ucap Reva membuat Devin terkekeh. "Saya tidak pandai merangkai kalimat hanya untuk sekedar mengajakmu makan bersama. Ini juga pertama kali saya mengajak seorang wanita makan bersama saya, kecuali ibu saya tentunya." ucap Devin membuat Reva terdiam menatapnya. Bolehkah Reva merasa senang? Berarti dia yang pertama? Ah, mengapa rasanya sangat menyenangkan mendengar fakta itu? Kalau saja Reva tak mengingat batasan mereka, mungkin Reva sudah berteriak kegirangan saat ini. Wajar bukan? Siapa yang tidak mau berada di posisinya saat ini? "Saya merasa tersanjung mendengarnya." jawab Reva tersenyum malu. "Bukankah kau lebih sering di ajak makan bersama seperti ini?" tanya Devin membuat Reva bingung. "Ah, itu. Kak Melin dan teman-temannya memang sering mengajak saya makan siang bersama." jawab Reva. "Maksud saya, tunanganmu. Calon suamimu waktu itu." ucap Devin membuat Reva kembali terdiam. Kenapa harus membahas yang satu itu disaat dirinya sedang merasa senang? Reva menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab. Gara-gara lelaki tidak waras itu, bosanya sampai salah paham padanya. "Dia bukan siapa-siapa saya Pak. Saya saja baru mengenalnya beberapa hari ini. Lagi pula, saya tidak mungkin bersikap kasar padanya jika dia calon saya." jelas Reva. Senyum Devin mengembang. Rasanya puas sekali setelah mendengar 'klarifikasi' tersebut dari mulut Reva. Rasanya bahagia mendengar kalau Reva masih sendiri. "Begitu ya? Ya sudah. Mari makan. Jangan sungkan, makan lah sepuasmu." ucap Devin memamerkan senyum tampannya membuat Reva ikut tersenyum dan mengangguk. "Berarti, aku masih punya peluang bukan?" batin Devin tersenyum menatap Reva. Hah, melegakan sekali rasanya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD