Ervan Tau

1535 Words
Di dalam sebuah ruangan yang gelap dan sunyi, di sinilah kini Ervan berada. Berdiam diri di sana tanpa melakukan apa-apa selain duduk bermenung menatap sebuah foto di sana. "Dek, ada orang yang mirip banget sama kamu," ucapnya pelan masih menatap foto tersebut. "Abang pikir itu kamu, ternyata bukan." lanjutnya mengelus foto bagian gadis kecil yang tersenyum lebar ke arah kamera. "Kamu pasti marah kalau liat Abang yang sekarang. Abang udah pilih jalan yang salah, Dek," ucapnya lagi tersenyum tipis menatap foto tersebut. "Tapi ini satu-satunya cara supaya Abang bisa kuat. Satu-satunya cara supaya Abang bisa tau siapa pelakunya," lanjutnya kemudian mencium gadis yang ada di dalam foto tersebut. "Selain itu, Abang juga harus lindungin dia." Meletakkan kembali frame foto tersebut dan keluar dari ruangan itu. Ruangan yang penuh kenangan dirinya dengan sang adik tercinta. Berbagai macam bentuk fotonya dan Azira _sang adik_ ada di sana. Barang-barang kesukaan, bahkan semua pakaian milik Azira tersimpan rapi di lemari yang ada di sana. Yaa, anggap saja itu adalah museum khusus untuk sang adik. Ervan turun ke bawah dengan langkah santai. Ada bibi yang sedang menyiapkan makan malam untuknya. Kadang Ervan heran, bibi masak begitu banyak jenis masakan hanya untuk Ervan sendiri. Apa bibi tidak lelah? Dan juga, ke mana perginya makanan itu jika tidak habis? "Bi," panggil Ervan membuat bibi mengalihkan perhatian padanya dan tersenyum melihat sang tuan muda. "Duduk Tuan. Makan malamnya sudah siap," ucapnya sopan. Ervan langsung duduk di tempat duduknya lalu menatap bibi yang hanya berdiri di depannya. "Paman mana, Bi?" tanyanya lagi. "Sepertinya di depan Tuan," jawab bibi seadanya. "Panggil, Bi. Yang lain juga," lanjutnya kemudian membuka ponselnya tanpa menatap bibi. Ervan yang seperti itu berarti tak ingin di bantah, terlampau hapal dengan sikap Ervan. Bibi langsung menuruti perintah sang majikan, memanggil semua pelayan di mansion mewah ini. Tak banyak, hanya ada 10 orang. Bibi, seorang supir pribadi, satpam, tukang kebun, dan 6 orang asisten rumah tangga yang Ervan khususkan hanya untuk bersih-bersih membantu bibi. Tak sampai 5 menit, mereka semua sudah berkumpul di hadapan Ervan. Berharap cemas, apa yang akan Ervan ucapkan sampai mereka di kumpulkan seperti ini. Jika masalah gaji, itu tak mungkin. Ervan baru saja memberinya 2 hari yang lalu. "Duduklah," ucap Ervan setelah selesai dengan urusan ponselnya. Bingung tentunya. Duduk? Duduk di mana? Ah, apakah duduk di lantai? Baiklah. Dengan serentak mereka perlahan turun untuk duduk di bawah sana membuat kening Ervan mengerut bingung. "Kenapa di lantai?" tanya Ervan lagi dan lagi-lagi di sambut dengan wajah bingung mereka semua. Salahkan Ervan yang berbicara terlampau singkat dan padat, mana mungkin mereka mengerti kemana arah bicaranya. Ervan membuskan nafas panjang. "Duduk di kursi itu, dan makan bersama saya," ucap Ervan menjelaskan. "Ah, tidak usah Tuan Muda. Kami akan makan di tempat biasa setelah Tuan Muda selesai makan," ucap bibi menolak dengan halus dan yang lainnya hanya mengangguk. "Lalu saya harus habiskan ini? Sendiri?" tanya Ervan membuat bibi terdiam menatap hidangan di meja makan. "Duduk dan makanlah. Saya tak ingin makan sendiri," ucap Ervan lagi mulai mengambil nasi beserta lauknya ke atas piringnya. Mereka masih diam di tempat menatap Ervan yang mulai meyuap nasi itu ke dalam mulutnya. Menyadari hal itu, Ervan kembali menatap mereka. "Kalian tidak mau menemani saya?" tanya Ervan dan sontak mereka menggeleng cepat. "Maka duduk dan makanlah," ucap Ervan lagi. Mereka semua serentak menatap ke arah bibi. Bibi yang lebih dekat dengan Ervan di sini, jadi mereka hanya meminta persetujuan dari bibi saja. "Baiklah Tuan Muda," ucap bibi mengambil tempat begitupun yang lainnya juga mengikuti. Dengan keadaan yang sangat canggung dan segan tentunya, mereka mengambil nasi serta lauk seadanya, bahkan untuk kucing saja mungkin itu tidak cukup. Oke, jaga imej di depan majikan tidak apa 'kan? Setidaknya tidak terlalu barbar dan berakhir di pecat oleh sang majikan. Apalagi dengan majikan berwajah tembok seperti Ervan. Walaupun hatinya memang baik, tapi tetap saja mereka takut menatap wajah yang terlewat datar itu. "Tak usah malu-malu. Kalian tak akan kenyang dengan itu," ucap Ervan tanpa menatap mereka dan hanya fokus pada makanannya sendiri. Bibi mengangguk pelan saat mereka kembali menatap dirinya. Mereka kemudian menambah porsi yang sedikit itu, tanpa menimbulkan suara gaduh. Mereka tau Ervan tak suka keributan saat dia sedang makan. Namun tetap saja, mereka hanya mengambil sayur, dan empat potong daging ayam lalu mereka bagi bersama. Apakah dia sangat menyeramkan sehingga para asisten rumah tangganya begitu takut padanya? Pikir Ervan. Ervan mengambil satu potong ayam goreng dan meletakkannya di piring sopir pribadinya yang berada di sampingnya. "Jangan menjaga imej di depan saya," ucap Ervan kembali fokus pada makanannya. "Atau saya akan memotong gaji kalian," lanjutnya membuat mereka gelagapan dan mengambil hidangan di meja itu dengan cepat. Potong gaji adalah kata-kata keramat setelah potong uang jajan. Tak ada yang menyadari, diam-diam Ervan tersenyum sangat tipis. Walaupun dengan paksaan dan ancaman, akhirnya dia bisa merasakan rasanya makan bersama seperti ini. ***** Tok! tok! tok! Tak ada sahutan dari dalam sana membuat Melin kembali mengetuk pintu di depannya. "Reva, kamu udah bangun?" tanya Melin sedikit meninggikan volume suaranya. Ceklek! Reva membuka pintu tersebut dan tersenyum tipis. Dia bahkan sudah rapi dengan setelan kantornya. "Loh, kamu masuk kerja?" tanya Melin dan Reva hanya mengangguk. "Kenapa? Gak apa-apa kok kalau kamu cuti hari ini. Kakak bakal izinin langsung sama Pak Devin," ucap Melin lagi. "Gak apa-apa, Kak. Aku udah baikan," ucap Reva membuat Melin menghela nafas panjang. "Kamu mau kerjaan kamu berantakan karena kamu gak fokus nanti?" tanya Melin seakan memberi tahu bahwa Reva masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Kalau aku di sini, aku malah makin kepikiran, Kak," jawab Reva lagi. Melin menatap Reva lama seakan memastikan lalu kemudian mengangguk pelan. "Ayo sarapan, Mbak Nisa sama Mas Reza udah nunggu di meja makan," ajak Melin dan Reva hanya mengangguk mengikuti Melin dari belakang. Mereka masih di rumah Nisa omong-omong. "Kamu kerja Rev?" tanya Nisa yang sedang menggendong Baby Cio. "Dia maksa masuk hari ini, Mbak," jawab Melin mendahului. "Gak apa-apa,Mbak. Aku gak tau mau ngapain kalau gak masuk," ucap Reva tersenyum tipis. Mereka hanya mengiyakan ucapan Reva. Padahal terlihat sekali Reva tak bersemangat hanya untuk sekedar sarapan. Selesai dengan sarapan, kini Reva dan Melin sedang di perjalanan menuju kantor. Tak ada yang bersuara, tidak seperti sebelumnya yang biasanya di isi oleh cerita-cerita Reva. Melin kembali sedih melihat keadaan Reva saat ini. "Mulai hari ini kamu tinggal di rumah Kakak ya?" ucap Melin memecah keheningan membuat Reva menatapnya. "Iya Kak," jawab Reva singkat setelah ama berpikir. Senyum Melin mengembang mendengarnya. Syukurlah Reva tak lagi menolak. Dia hanya tidak mau membiarkan gadis ini sendirian di masa sulit seperti ini. Keadaan kembali hening sampai mereka tiba di parkiran kantor. Reva segera turun dari mobil begitupun Melin. Namun seketika langkahnya terhenti sat menatap seseorang di depan sana. Sepertinya berdiri di depan pintu masuk setiap pagi mulai menjadi kebiasaan Ervan mulai sekarang. Lihatlah, laki-laki tampan itu berdiri dengan tegapnya di sana dengan setelan yang terbilang sangat rapi. Khas bos-bos besar, hanya saja tak ada jas berwarna hitam di sana. Tak mau ambil pusing. Reva lanjut berjalan mendekat ke arah Ervan. Dia lupa kemarin tidak mengucapkan terimakasih pada pemuda yang telah mengantarnya dengan selamat ke rumah Mbak Nisa. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Ervan saat Reva sudah sampai di depannya. "Terimakasih sudah mengantarku," ucap Reva tak menjawab pertanyaan Ervan. Reva kembali berjalan namjn Ervan menahan pergelangan tangannya. "Aku bertanya bagaimana keadaanmu?" tanya Ervan lagi menatap tepat pada mata Reva. "Kau tak melihatnya?" tanya Reva menatap dirinya sendiri kemudian menatap Ervan. "Oke abaikan itu. Mulai hari ini kau akan tinggal bersamaku," ucap Ervan membuat Reva melotot. "Tidak. Lagi pula aku akan tinggal bersama Kakakku," ucap Reva menggeleng tanda menolak. Ervan beralih menatap Melin yang ada di samping Reva dan Melin hanya mengangguk. "Apakah dia bisa menjamin kau aman? Kau lupa yang terjadi padamu?" tanya Ervan lagi. "Kau bahkan tak tau banyak tentang apa yang aku alami," balas Reva membuat Ervan terkekeh kecil. Tak tau banyak katanya? Baiklah, mari kita lihat seberapa banyak yang dia tau. "Lalu kau? Kau tau siapa pelakunya? Kau tau siapa yang menerormu, belati dan ancaman itu, kau tau siapa yang membuatnya? Kau tau tujuan mereka apa? Kau memiliki bukti? Hm?" tanya Ervan beruntun menyudutkan Reva. Reva tak tau. Bahkan dengan cara apa mereka bisa masuk pun Reva tak tau. "Ck. Jangan berlagak seolah kau tau semuanya." "Aku memang tau semuanya. Se.mua.nya." jawab Ervan cepat menekankan akhir katanya. Reva terdiam mendengarnya. Reva menatap tepat ke dalam manik mata Ervan, entahlah dia seolah bisa melihat kejujuran di sana. Mata Ervan tanpa ragu menatapnya dengan tegas seolah-olah menegaskan bahwa dia tak berbohong. "Tapi dia---" "Hanya aku yang bisa melindunginya," ucap Ervan membuat Melin tak jadi melanjutkan perkataannya. "Kau akan tinggal bersama denganku. Aku tak menerima penolakan. Menurutlah, jika kau tak mau aku seret nanti," ucapnya dan Reva hanya terdiam mendengarnya. Itu terdengar sangat mutlak dan tak bisa di bantah. "Aku akan kembali menjemputmu nanti. Ingat, aku selalu mengawasimu" ucap Ervan lalu pergi dari sana setelah menepuk pelan puncak kepala Reva. Ah ya, Reva tau itu. Bagaimana mungkin dia lupa kalau Ervan bahkan menaruh CCTV di ruangannya untuk memantau dirinya. Entah siapa Ervan dan orang seperti apa Ervan sebenarnya, yang jelas Reva tau kalau Ervan bukanlah orang sembarangan. Dan lagi, Reva merasa kalau Ervan ada kaitannya dengan semua yang terjadi padanya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD