Pembunuh

1569 Words
Semua tatapan kini tertuju pada Melin yang baru saja menutup pintu kamar yang di tempati Reva. Mereka hanya diam memperhatikan sampai Melin duduk di meja makan. "Dia udah cerita sama aku," ucap Melin lalu menghembuskan nafas kasar. "Dia di teror," lanjutnya. Terkejut, tentu. Tidak menyangka gadis se-polos dan se-baik Reva mendapat teror. Siapa yang melakukannya? Dan apa tujuannya? Melihat dari sifatnya, Reva tak mungkin memiliki seorang musuh. Itu mustahil. "Gimana ceritanya dia di teror? Itu gak mungkin," ucap Gunta yang pertama memberikan tanggapan. "Tapi itu kenyataannya. Kamu sama Mas Reza 'kan udah liat sendiri kondisi apartemennya gimana." ucap Melin membuat Gunta terdiam. Benar. Kondisinya sangat buruk. "Tapi siapa yang lakuin itu sama Reva? Ya ampun, aku gak kebayang kalau jadi Reva," ucap Nisa ikut merasakan apa yang Reva rasakan. "Trus gimana keadaannya sekarang?" tanya Celin. "Tadi dia nangis lagi pas cerita. Tapi barusan udah tidur," jawab Melin membuat mereka dapat bernafas lega. "Syukurlah kalau dia udah mulai tenang," ucap Gunta di angguki yang lainnya. "Tapi aku gak tega liat dia kayak gitu. Apalagi pas dia bilang kalau di apartemen itu banyak kenangan dia sama ibunya. Dia nangis gara-gara itu," ucap Melin lagi dengan nada sendu. "Ya mau gimana lagi. Semuanya udah terjadi. Kita cuma perlu support dia dan nemenin dia supaya dia gak berlarut-larut sedihnya," ucap Reza bijak. "Ya udah, ayo kita makan dulu," ucap Nisa dan mereka mengangguk patuh. ***** Brak! Semua orang yang ada di dalam sana menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pemuda dengan tatapan datarnya mengundang tatapan penuh amarah dari orang-orang di dalam sana. "Kau! Beraninya kau!" seseorang maju siap melayangkan pukulan. Bugh! Kalah cepat. Pemuda itu sudah lebih dulu tersungkur menerima tendangan secara tiba-tiba itu. Pemuda itu tak sendiri, ada beberapa anak buahnya yang ikut bersamanya di belakang sana. Atau mungkin banyak. Geo _pemuda yang tadi terjatuh_ segera berdiri dan memandang remeh pada pemuda di depannya. "Oho, mau menyerang rupanya." ucapnya mengangguk-angguk kecil. "Serang mereka!" serunya setelah itu pada anak buahnya di belakang sana. Baku hantam tak mungkin terelakkan lagi. Masing-masing kubu saling berambisi untuk menjatuhkan lawannya. Berbekal emosi dan kekuatan fisik, kedua pemimpinnya seimbang. Luka lebam dan beberapa titik wajah yang berdarah pun sama mereka dapatkan. Tapi sepertinya tak ada satupun yang berniat menghentikan perkelahian antara keduanya. Bugh! Bugh! Keduanya sama-sama terhuyung ke belakang setelah saling memukul tepat di dadanya. "Ternyata kau tak lebih dari seorang pengecut," ucap Geo menyeka darah di sudut bibirnya. Lawannya tadi terkekeh meremehkan, lalu berdiri menatap angkuh pada Geo. "Apa kau sedang mencela dirimu sendiri?" tanyanya mengangkat sebelah alis matanya. "Cih. Tak usah banyak basa-basi. Untuk apa kau datang ke sini? Di mana bos besarmu itu? Apa dia takut sehingga mengutusmu ke sini?" tanya Geo tertawa remeh kemudian. Baza, pemuda itu tak marah malah ikut tertawa. "Ternyata selain pengecut, kau juga bodoh. Kenapa seorang Zack bisa membuatmu menjadi tangan kanannya?" ucap Baza membuat kilatan amarah di wajah Geo semakin tampak. "Berhenti berbicara omong kosong! Apa maksudmu datang kemari hah!" teriak Geo penuh amarah. Baza kembali terkekeh. Dia berjalan menuju sofa yang ada di sana. Duduk dengan mengangkat sebelah kakinya lalu di tumpu di atas kakinya yang lain, tersenyum miring menatap Geo. "Kau bertanya di mana bosku. Tapi kau sendiri tak memperhatikan di mana bos besarmu berada." ucap Baza membuat kerutan bingung di wajah Geo. Masih mencerna baik-baik maksud ucapan Baza hingga akhirnya rahangnya mengeras dan tangannya kembali terkepal, menatap tajam pada Baza yang masih santai di depan sana. "Sia*an!" teriaknya kemudian berlari ke lantai atas. Geo memukul brutal pintu besar di depannya. Ini adalah ruangan pribadi Zack. Dia ingat pintu ini di buat khusus untuk Zack, tentu tak mungkin baginya untuk mendobrak pintu ini. Dan lagi, ruangan Zack kedap suara jadi dia tidak tau apa yang sedang terjadi di dalam sana. "Aargh! Sia*an!" Lagi dia berteriak dan mengacak rambutnya frustasi. Memutar otak untuk memikirkan bagaimana dia masuk, hingga pada akhirnya dia mengingat ada pintu rahasia, yaitu di lantai tiga yang langsung terhubung dengan lift yang akan membawanya ke ruangan di depannya ini. Tanpa membuang waktu, dia segera berlari ke lantai tiga, dan masuk ke dalam lift. "Bos!" teriaknya saat melihat Zack terbaring kasur dengan keadaan bersimbah darah. Ruangannya pun tak ada ubahnya dengan kapal pecah, hancur berantakan. Geo membawa tubuh Zack yang sudah tak sadarkan diri dengan luka tusukan di perut kiri dan beberapa sayatan di lengan dan dadanya. Oh jangan lupakan wajahnya yang lebam. Dia segera masuk lift, setelah memerintahkan anak buahnya menghubungi dokter pribadi sang bos. Pintu di depan sana sama sekali tak berguna, karena hanya Zack yang bisa membukanya. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana cara Ervan bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan ini tanpa sepengetahuan dirinya dan anak buahnya yang lain? Ya, dia yakin Ervanlah yang melakukannya. ***** Brak! Pintu kamar itu terbuka dengan begitu kasar seakan menyalurkan emosi yang masih ada. Membuka jaket kulit yang menempel di tubuhnya dengan tak sabaran dan melemparnya asal. "Aarrgh!!" teriaknya mengacak-acak rambutnya frustasi. Pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi dan berdiri di depan cermin. Menatap wajahnya yang terdapat lebam di sana. Bugh! Prang! Kaca itu pecah dan berserakan di lantai. Nafasnya memburu, emosinya mendominasi sehingga tak bisa merasakan rasa sakit di buku tangannya saat ini. Pikirannya masih berputar sekitar kejadian beberapa jam yang lalu. Flashback on Tak memerlukan waktu lebih dari 10 menit, pintu rahasia itu terbuka dengan lebar. Mengetahui seluk beluk tempat musuh itu memang perlu. Buktinya sekarang dengan mudah Ervan masuk tanpa harus di hadang oleh siapapun. Ketahuilah, hanya Ervan dan pemimpin yang ada di dalam markas ini yang mengetahuinya. Emosi yang sedari tadi memang sudah memuncak, kini tambah memuncak ketika sampai di dalam ruangan sang musuh. Apalagi saat melihat pemuda tak jauh darinya itu sedang duduk santai menghadap jendela. Srek! Pisau yang sedari tadi dia pegang, melayang dengan sempurna menancap di meja di depan Zack. Mendapat serangan mendadak, membuat Zack berbalik menatap Ervan yang menatapnya penuh amarah. Jauh lebih besar di banding beberapa tahun yang lalu. Zack tersenyum miring. Untuk sesaat dia kagum dengan kemampuan Ervan yang dapat dengan mudah sampai ke ruangannya ini. Prok prok prok Sebagai musuh tak ada salahnya memberikan apresiasi bukan? "Ternyata benar kata kelompok lainnya. Kau sangat cerdik. Aku sempat terkagum melihatmu ada di sini." ucapnya menyimpan kedua tangannya di saku celananya. "Itu berarti aku berhasil bukan?" lanjutnya dengan nada pelan lebih terdengar meremehkan. Bugh! Zack tersungkur kebelakang sampai membentur meja di belakangnya. Ingin sekali Ervan langsung membunuh pria di depannya ini jika tidak mengingat ucapan sang tangan kanannya. "Tak cukup kau membunuh adikku saja hah!" teriaknya di depan wajah Zack. Zack berdecih masih memegangi dadanya yang sedikit terasa nyeri. "Tuduhan murahan itu masih saja kau jadikan sebagai tameng untuk bisa menyerangku. Dasar pengecut!" teriaknya di akhir kalimatnya. Tangan Ervan makin mengepal, rahangnya makin mengeras dan nafasnya makin memburu. Tuduhan murahan katanya? Pembunuhan terhadap adik kesayangannya di anggap tuduhan murahan? "Mati saja kau!" teriak Ervan dan dengan cepat menyerang Zack, setelah mengambil kembali belati miliknya. Semakin lama serangan Ervan semakin brutal, Zack saja tak sempat mengambil senjatanya untuk sekedar membalik keadaan. Hasrat ingin membunuh tersirat dengan jelas di wajah datarnya. "Kau membunuh adik kesayanganku! Kau pembunuh! Kau pembunuh! Aku bahkan tak pernah mengusikmu tapi kau malah membunuhnya! Arrghh!!" teriak Ervan semakin emosi. Dia mengarahkan belati tersebut ke sembarang arah di tubuh Zack yang semakin melemah. Srek! Mata Zack membola seiring dengan tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dia melihat ke bawah, ke arah perut bagian kirinya. Di sana belati milik Ervan tertancap dengan sempurna, hingga mengalirkan darahnya dengan derasnya. Tak sampai di situ, Ervan dengan tak berperasaannya menarik kuat belati itu membuat tubuh Zack tumbang tepat di atas kasur empuknya yang kini sudah berubah menjadi warna merah dari warna putih. "Katakan padaku untuk apa kau membunuhnya! Katakan!" desak Ervan mencekik leher Zack dengan satu tangan sedangkan tangan yang lainnya memegang belati dan siap melayangkannya kembali ke tubuh Zack. "Katakan b******k! Apa tujuanmu membunuhnya hah! Apa yang kau inginkan darinya! Katakan, pembunuh!" teriakan Ervan semakin lantang. Wajahnya pun kini total memerah sebagai tanda dia sangat marah. "Katakan pembunuh! Katakan__" "Kau ya-ng pem-bu-nuh!" teriak Zack menyela ucapan Ervan dengan terbata tentunya. Cekikan di leher Zack perlahan mulai mengendur dan itu digunakan Zack untuk menendang tubuh Ervan sampai terhuyung ke belakang. "Kau pembunuh! Kau yang pembunuh sialan!" lagi Zack berteriak dengan sisa tenganya. "Kau yang pembunuh sia*an! Argh!" ringisnya kemudian merasakan perih di bagian perutnya. "Kau membunuh ayahku dasar breng*ek!" teriaknya lagi dengan kondisi yang semakin melemah. Ervan masih diam di tempatnya. Walaupun sebagai musuh, dia tau bagaimana Zack saat bersungguh-sungguh ataupun saat menipunya. Tapi itu tidak mungkin. "Aku bahkan tak menyekap siapa pun saat kau berhasil membunuh adikku, kepa*at!" teriak Ervan pada Zack. Nafasnya kembali memburu. Ingatannya kembali pada saat melihat adiknya yang sedang sekarat, membuat emosinya kembali memuncak. Ervan berjalan mendekat dan kembali mencekik leher Zack dengan satu tangan dan tangan satunya memukul wajah Zack. Seakan teringat sesuatu Ervan menghentikan pukulannya dan melepas cekikan pada leher Zack. "Ini belum seberapa Zack. Berani kau menyentuh gadis itu lagi, kau orang pertama yang akan ku bunuh. Tak peduli apakah kau pelakunya atau bukan, aku akan tetap membunuhmu." ucap Ervan penuh penekanan dan intimidasi. "Berdoalah untuk keselamatanmu mulai sekarang." lanjutnya kemudian keluar dari tempat itu meninggalkan Zack yang masih setengah sadar. Flashback off *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD