Selamat membaca!
Ibu Sarah tiba-tiba muncul, entah kapan dia berada tepat di sampingku dan tiba-tiba menamparku dengan keras. Padahal wanita itu lebih pendek dariku, tapi setiap kali dia menamparku, pukulannya begitu tepat mengenai wajahku.
“Kamu memang wanita yang tidak tahu malu, kamu berselingkuh dengan pria lain di luar sana dan kamu masih berani bersikap galak seperti ini pada putraku!” Dia meraih pergelangan tangan Arga dan langsung menariknya menuju pintu. "Ayo kita pergi! Jangan banyak bicara dengan wanita yang tidak tahu malu ini!”
Sejenak aku hanya mematung. Merasakan panas di wajahku akibat tamparan keras dari Ibu Sarah.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja, Arga!" Tanpa membuang waktu, aku melangkah dengan cepat. Menghalangi pintu yang beberapa saat lagi akan ditutup oleh Ibu Sarah.
Kedua mataku menatap tajam wajah gemuk wanita paruh baya itu sambil menahan pintu sekuat tenaga.
“Tolong biarkan putramu bicara tentang kehamilanku ini!” Aku masih menahan kesabaranku. Bagaimanapun Ibu Sarah jauh lebih tua dariku dan aku tidak ingin bersikap kasar padanya.
“Kamu itu sudah mengkhianati Arga, tapi masih punya keberanian untuk menanyakan semua ini!” Dia mendorong dengan keras, coba menjauhkanku dengan penuh kebencian.
"Bu, tolong dengarkan aku! Tanyakan dulu pada putramu, apa yang dia lakukan setelah makan malam di pesta malam itu? Arga, Arga, bicaralah padaku! Jangan diam saja!"
Tanpa menjawab, Arga hanya menundukkan kepala dan bersembunyi di balik tubuh ibunya. "Dinda, apa kamu bisa pergi dulu sekarang? Dengan kondisimu yang seperti ini ditambah kesehatan ibuku juga sedang tidak baik, aku benar-benar merasa kasihan pada kalian berdua."
Hatiku benar-benar tidak terima mendengar itu, aku merasa Arga tidak menaruh simpati akan kondisiku. Kondisi di mana aku tengah terpuruk atas kehamilan ini.
“Karena kamu sudah ada di sini, saya sekalian ingin mengatakan bahwa hubungan kamu dan Arga sudah berakhir. Pernikahan kalian akan saya batalkan! Karena saya tidak ingin memiliki menantu sepertimu di keluarga kami!” Ibu Sarah masuk dengan langkah kesalnya, meninggalkanku dan Arga yang kini saling menatap.
Saat ini, perkataan Ibu Sarah tidak terlalu aku pikirkan karena tujuanku menemui Arga hanya satu, yaitu mengetahui pria mana yang telah merenggut kehormatanku hingga aku hamil.
"Katakan, Arga! Siapa orang itu?" Dengan tegas aku bertanya. Sorot mataku pun mulai menajam. Menuntut jawaban dari Arga yang juga tak kalah tajam menatapku.
"Dinda, ayo pergi!" Arga menarik tanganku menjauh dari pintu. "Ibuku sudah marah sekarang dan ketika dia benar-benar memaksaku untuk membatalkan pernikahan kita, apa yang harus kita lakukan?"
Pertanyaan Arga seketika membuatku mengedikkan bahu dengan kedua alis yang aku angkat bersamaan. "Aneh sekali jika kamu bertanya padaku, padahal semua jawaban ada di kamu. Sekarang aku tanya, apa yang ingin kamu lakukan, Arga?"
"Saat ini aku tidak ingin melakukan apa-apa. Sekarang kamu pergi dulu! Kasih waktu aku untuk membujuk ibuku agar bisa tenang dan aku akan menjemputmu nanti."
"Apakah kamu pikir aku bisa menunggu? Aku sedang hamil anak orang lain dan kamu masih bisa setenang ini!"
"Dinda, memangnya apa yang kamu inginkan dariku? Aku benar-benar tidak tega memarahimu di saat kamu sedang mengandung." Dia menatapku dengan sedih. "Setidaknya tolong beri aku waktu untuk mencari jalan keluar dari masalah ini." Arga pun masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang masih coba membaca tatapan sendu dari sorot matanya.
"Aku harus tetap mendapatkan jawaban itu malam ini! Siapa pria yang sudah membuatku hidup berantakan seperti ini?" gumam Dinda dari lamunannya sambil merapatkan tubuhnya ke pintu yang mulai menutup.
"Tidak, Arga! Aku tidak bisa menunggu. Katakan padaku, siapa pria yang telah membuatku hamil? Katakan!" Aku terus mengetuk pintu dengan keras. Berharap Arga mau kembali menemuiku.
“Dinda, cepatlah! Aku janji akan menemuimu dalam beberapa hari.” Suara Arga terdengar samar dari balik pintu yang diikuti suara pintu yang sudah dikunci.
Tubuhku roboh di depan pintu. Hanya bisa menangis piluh dengan semua yang terjadi. Entah bagaimana caranya aku bisa mendapatkan jawaban dari semua ini. Takdir seolah mempermainkanku hingga membuat hidupku seperti boneka.
Merasa semua yang aku ucapkan tak lagi dijawab oleh Arga, aku pun memutuskan untuk pergi.
"Kamu benar-benar tega, Arga." Aku angkat kedua kakiku yang lemah untuk menjauh dari rumah Arga. Rumah yang tadinya aku pikir akan menjadi sumber kebahagiaan di saat aku menikah dengannya. Pernikahan yang mungkin tidak akan pernah terjadi setelah kehamilanku ini.
***
Sekembalinya ke rumah mewah, aku langsung mencoba tertidur. Melepas penat dan lelah karena terlalu banyak meneteskan air mata. Aku pun terlelap dari malam sampai siang hari berikutnya dengan kepala yang terasa berat. Saat ini, aku memang tidak punya pekerjaan. Jadi aku benar-benar punya banyak waktu untuk tidur.
Setelah bangun siang, aku menyelesaikan makan siangku dan menelepon Sekretaris Han di sore hari untuk mengingatkan agar tidak melupakan kesepakatannya denganku. Kesepakatan jika pria yang telah menghamiliku tidak datang sebelum jam 7 malam ke rumah ini, maka aku pasti akan membunuh anak yang ada dalam kandunganku.
Sekretaris Han memiliki sikap yang baik dan menjawab ancamanku dengan sabar. "Tentu saja, Nona. Anda bisa menunggu kedatangannya."
Waktu pun berlalu dengan begitu cepat. Aku hanya menghabiskan waktu di atas ranjang tanpa beranjak ke mana pun. Setelah makan malam, aku memutuskan untuk duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Menunggu seseorang datang yang akan menjawab semua pertanyaan tentang kehamilanku ini.
Menit-menit berlalu dan suara apa pun yang terdengar dari depan pintu akan membuatku beranjak untuk mengintip dari jendela. Namun setelah jam 7, pria itu ternyata masih belum juga datang.
"Apa Sekretaris Han berbohong padaku? Apa dia tidak jadi datang dan membawa pria itu?" gumamku mulai kehilangan kesabaran.
Merasa sangat kesal, aku pun memutuskan untuk kembali menghubungi Sekretaris Han. Namun tiba-tiba, suara bel berbunyi dari depan pintu.
"Akhirnya datang juga." Aku menatap pintu rumah itu dengan antusias. Bukan hal yang mudah menahan kesabaran untuk melihat siapa pria yang telah menghancurkan hidupku.
Bi Lusi pun segera pergi untuk membuka pintu.
"Silahkan masuk, Tuan!" Bi Lusi dengan sopan mempersilahkan pria itu masuk.
Aku duduk tegak dan menajamkan sorot mataku. "Ar ...." Lidahku terasa kelu. Mematung diam dengan bibir bergetar. Aku tertegun, melihat sosok pria yang datang ternyata adalah Arga, calon suamiku.
Arga pun berjalan selangkah demi selangkah dan akhirnya berdiri di depanku.
"Dinda." Arga berlutut di depanku dan meraih tanganku.
Aku mulai menatapnya penuh tanda tanya. "Jangan bilang jika kamu adalah orang yang telah membuatku hamil."
Arga tampak ragu-ragu, matanya berbinar. Jadi, dia tidak perlu mengatakan apa-apa, aku tahu apa yang dia katakan selama ini jika dia tidak menghamiliku adalah sebuah kebohongan. Sekarang orang bodoh pun sudah pasti dapat menganalisanya. Aku memberi tahu Sekretaris Han bahwa aku ingin melihat ayah dari anak itu dan yang datang ternyata adalah Arga.
"Aku benar-benar sangat yakin jika Sekretaris Han dan Arga pasti ada hubungannya dengan semua yang menimpaku," gumamku masih coba mencerna situasi ini.
"Aku bertanya sekali lagi padaku, apakah anak dalam kandunganku ini adalah anakmu, Arga?"
Arga menundukkan kepalanya dan tidak berani menatapku. Sampai akhirnya, Arga mulai membuka suara, walau hanya terdengar samar. "Iya."
Aku tercekat. Cukup terkejut dengan jawaban Arga. Setelah beberapa kali mengelak sekarang dia mengakuinya. "Kamu mengakuinya? Jadi anak ini memang anakmu, anak kita, Arga?"
"Iya, Dinda."
"Oke, baiklah kalau begitu. Sekarang semua sudah jelas." Aku pun berdiri dari sofa dan menarik pergelangan tangannya. "Karena kamu telah mengakui bahwa anak ini adalah anakmu sekarang ayo kita ke rumahmu dan beri tahu ibumu bahwa dia telah salah menamparku dan aku harus memintanya untuk meminta maaf padaku atas semua penghinaannya!"
Arga menahan langkahnya. Dia melihatku dengan wajah datarnya. "Dinda, jangan lakukan itu! Itu hanya akan membuat masalah saja."
"Apakah kamu sudah mendaftarkan pernikahan kita ke KUA?"
Arga pun mengangguk sebagai tanda bahwa dia mengiyakan pertanyaanku.
"Baguslah, itu artinya tidak ada yang perlu aku takutkan lagi. Kita akan segera menikah dan tidak masuk akal jika aku tinggal di tempat orang lain. Sekarang bantu aku mengemas semua pakaianku dan membawakan koperku ke bawah. Kita akan kembali ke rumahmu!"
Dia berdiri diam. Tak ada pergerakan sama sekali dari Arga. Kedua kakinya hanya mematung tanpa beranjak. "Dinda, jangan terlalu memaksakan diri! Sekarang kamu sedang hamil dan ini trimester pertama, jangan bermain-main karena di fase itu rawan sekali keguguran jika kamu kelelahan"
Jawaban Arga membuat keyakinanku goyah. Aku pun menatapnya penuh rasa curiga sambil menarik napas dalam-dalam. "Katakan, siapa yang memintamu datang?"
Melihat Arga hanya diam, membuatku semakin yakin bahwa saat ini dia sengaja datang dan pura-pura mengakui anak dalam kandunganku ini. Aku mengerti, bagaimanapun juga aku tidak bisa mendapatkan jawaban yang aku inginkan dari mulutnya sama sekali.
"Kalau kamu tidak bisa menjelaskan apa pun lagi, silahkan pergi dari sini!"
"Dinda, tolong jangan begini!" pinta Arga coba menenangkanku saat amarah mulai menguasai diriku.
"Pergi, Arga! Tidak ada gunanya kamu ada di sini jika hanya pengakuan bohong yang kamu katakan!"
Arga pun akhirnya keluar dari rumah tanpa mengatakan apa pun. Sementara aku, hanya menatap nanar kepergiannya yang seolah tak memedulikanku.
"Aku benar-benar tidak bisa mendapatkan jawaban apa-apa dari Sekretaris Han ataupun Arga. Jadi aku harus mencari jawaban itu sendiri," gumam Dinda menahan rasa kecewanya sambil melangkah kembali ke kamar.
Bersambung ✍️