Memaksa Arga

1014 Words
Selamat membaca! Setelah kembali terjaga, akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah Arga. Pikiranku sudah sedikit lebih tenang, walau masih tersimpan amarah dalam diriku tentang semua ini. Hal yang tentu saja membuatku merasa dijadikan seperti boneka yang bisa sesuka hati dipermainkan. Apa dia pikir aku tidak punya hati? Hati yang benar-benar sakit karena kehamilan ini. Setibanya di rumah Arga, aku dapat melihat jelas mobilnya tidak ada di garasi rumah. "Berarti Arga telah membohongiku. Dia benar-benar tidak pergi ke luar kota." Aku pun duduk di seberang rumah Arga. Tempat di mana aku bisa melihat jelas jika nanti pria itu kembali ke rumahnya. Saat ini, suasana senja dengan langit merah berpadu warna kuning menjadi pemandangan yang tak bisa aku nikmati seperti biasanya. Aku terlalu kalut, hatiku resah seperti angin ribut. Aku benar-benar membenci situasi ini. Situasi di mana tidak ada tempat untukku bersandar. Lelah, begitulah pikiranku. Mencari kebenaran yang seolah-olah ditutupi dengan sangat rapat dariku. Sampai akhirnya, matahari benar-benar tenggelam. Tak ada lagi senja, kini bintang dan bulan mulai tampak diperaduannya. Menjadi saksi pada malam ini jika aku masih menunggu Arga, walau harus melawan angin yang berhembus dingin menusuk kulitku. Tatapan kosongku sejak tadi kini seolah menemukan apa yang dicari. Mobil Arga melintas, membangkitkan kedua kakiku untuk cepat berdiri. "Itu Arga." Arga keluar dari mobil dan hendak membuka gerbang rumahnya. Ya, Arga tidak mempekerjakan seorang petugas keamanan untuk menjaga rumahnya. Rumah yang memang tidak semewah yang aku tempati. "Arga," panggilku yang berhasil membuat kedua matanya membulat dengan sempurna. Ada ekspresi aneh yang aku baca dari wajahnya. Namun, aku masih tidak mengerti apa itu. "Dinda ...." "Apakah kamu tidak dalam urusan bisnis ke luar kota?" "Bukankah aku baru saja kembali?" Bibirnya tampak bergetar. Arga pun langsung melepaskan tanganku yang tengah menahan lengannya agar dia tak bisa lagi menghindar dariku dengan masuk ke mobilnya. "Apakah kamu bisa mengemudi dalam waktu lama? Bukannya jika ke luar kota, kamu lebih memilih menaiki kereta atau pesawat?" tanyaku yang tahu kebiasaan Arga selama bersamanya. "Tentu saja aku bisa. Lagi pula aku hanya pergi ke Bandung, itu tidak terlalu jauh." Arga terdengar berkilah di telingaku. Terlebih saat aku dapat mengingat jelas jika memang kota itu juga pernah dikunjungi untuk bertemu seorang klien dan waktu itu Arga lebih memilih menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir daripada mengendarai mobil sendiri. Tak ingin basa-basi, aku langsung menunjukkan sebuah kertas hasil dari tes kehamilan yang aku dapatkan dari rumah sakit kemarin. "Lihat ini baik-baik! Apakah kamu mengerti kalau aku sekarang sedang hamil? Jawab Arga!" Raut wajahku mulai menampilkan amarah. Aku tak dapat menahan aliran darah yang seketika berdesir hebat dalam diriku. Malam dingin pun seketika diselimuti hawa panas. Aku benar-benar menuntut kejelasan dari Arga yang sampai beberapa detik hanya diam, walau sudah melihat kertas yang sudah aku arahkan tepat di depan matanya. Dia hanya memandangiku dalam waktu yang cukup lama. Wajahnya tampak serba salah. Sungguh membingungkan untukku. "Dinda ...." Keraguan begitu terdengar jelas dari suaranya. Membuatku semakin meyakini bahwa apa yang terjadi malam itu ada hubungan dengannya. “Apakah menjualku malam itu demi sebuah promosi di kantormu?” Tanpa bisa menahan, aku pun mulai mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku. Bukan tanpa alasan, semua tuduhan itu cukup mendasar. Arga hanyalah seorang wakil manajer di kantor cabang. Itulah yang membuatnya merasa depresi dan berharap agar mendapatkan kesempatan promosi ke kantor pusat dengan jabatan yang lebih tinggi. Karena aku memiliki wajah yang cantik, dia pun sering mengajakku ke acara pesta yang diadakan oleh perusahaannya. Sebuah perjamuan di mana semua perusahaan cabang dari berbagai kota turut ambil bagian di sana. Meskipun aku tidak suka lingkungan seperti itu, dia selalu memohon padaku. Hal itulah yang membuatku sulit menolak dan akhirnya aku ikut bersamanya. Malam itu, pesta lebih meriah dari acara-acara sebelumnya. Sebuah pesta di mana para pemimpin dan orang-orang eksekutif penting dari kantor pusat turut hadir. Di saat itulah, karena kecantikan yang aku miliki, aku menjadi pusat perhatian hingga banyak rekan-rekan bisnis Arga sampai atasannya melempar pujian padaku. Sampai akhirnya, mereka memaksaku untuk banyak minum hingga aku mabuk dan Arga sama sekali tidak membantuku. Hal berikutnya tidak terlalu sulit untuk dianalisa, aku dijual oleh Arga dan dia mengirimku ke sebuah kamar hotel, tempat di mana aku terbangun waktu itu. "Baiklah, aku akui apa yang kamu katakan itu benar. Pimpinan memintaku untuk mengirimkanmu ke kamarnya malam itu." Sontak pengakuan Arga membuat amarahku begitu membuncah. Ingin rasanya aku memukul tubuh pria ini atas semua hal yang telah diperbuatnya padaku. Bukankah harusnya dia melindungiku, tapi sebaliknya, dia malah membawaku dalam jerat kehancuran. "Siapa pimpinanmu itu? Siapa yang memintamu untuk melakukan hal itu? Katakan padaku, aku akan menemuinya!" Teriakanku terdengar menggema. Aku benar-benar tak peduli di mana aku berada saat ini. Amarahku kian mendidih. Bagiku, pengakuan Arga seperti pedang yang berhasil menusuk sampai ke bagian hatiku yang paling dalam. "Dinda, aku mohon jangan marah-marah seperti ini! Aku tidak enak nanti jika dengar sama Ibu." Arga menatapku cemas, masih coba menutupi sesuatu dariku. "Kamu terlalu berpikir jauh, semuanya tidak seperti itu, Dinda! Tidak seperti yang kamu bayangkan!" “Oke, kalau aku salah dengan semua pemikiranku. Sekarang aku tanya sama kamu, kenapa Minggu lalu kamu dipromosikan dengan jabatan yang lebih tinggi!" Waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya. Tidak ada kecurigaan sama sekali tentang apa yang Arga dapatkan dari kantornya. Tak hanya fasilitas mobil, rumah baru, sampai jabatan yang lebih tinggi benar-benar semakin mempertegas pemikiranku bahwa memang Arga telah menjualku demi karirnya. "Dinda, kenapa kamu sampai berpikir seperti ini?" Raut wajah Arga tampak sedih. "Kamu jangan marah-marah, tolong ingat kamu ini sedang hamil!" "Apa hubungannya kehamilanku ini denganmu?" Dengan tegas aku menepis perhatian Arga yang menurutku terlalu basa-basi ataupun dia takut jika kandunganku sampai kenapa-kenapa nantinya dia akan dipersalahkan oleh pimpinannya. Aku pun tertawa sinis, menanggapi perkataan Arga. "Apa pria yang tidak punya hati sepertimu pantas berkata seperti itu? Apa kamu masih ingin menjadi ayah dari anak ini?" Baru saja aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba sebuah tamparan keras berlabuh tepat di pipiku. Pipi yang sama saat Ibu Arga menamparku waktu itu. Kini lagi dan lagi aku merasakan kulitku seperti terbakar akibat tamparan itu. Namun, aku masih belum tahu siapa orang yang sudah menamparku saat ini. Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD