Manset Emas

2224 Words
Selamat membaca! Setelah kembali ke kamar, aku memutuskan untuk menghubungi salah satu temanku yang juga bekerja di media. Dia seperti obat mujarab karena bisa dimintai tolong apa saja. "Halo, Novia. Bisakah aku minta bantuanmu? Bantu aku menemukan siapa pemilik dari sebuah rumah mewah yang ada di Jakarta." Novia memang sudah terbiasa dalam hal ini. Dia memang ahlinya, tetapi kali ini dia tidak banyak menjawab karena dari suara hisapan yang aku dengar, bisa aku tebak jika dia tengah menyantap semangkuk mie. "Oke, jangan lupa kirim alamatnya. Aku akan mengeceknya untukmu" Aku pun merasa lega mendengar jawaban Novia yang siap untuk membantuku menemukan siapa nama pemilik rumah yang aku tempati ini. "Terima kasih sudah mau membantuku, Novia. Aku akan mengirimkan alamatnya lewat chat ya. Aku tunggu kabar darimu secepatnya, paling telat besok pagi, bagaimana?" "Hm, oke. Kalau begitu aku lanjut makan mie dulu. Aku pasti akan segera mengabarimu." "Terima kasih sekali lagi, Novia. Kalau begitu selamat makan. Maaf sudah mengganggu waktu makanmu." Setelah selesai berbicara, aku pun segera menutup telepon. Beruntungnya Novia tidak bertanya banyak hal dan dia sama sekali tidak penasaran tentang yang aku tanyakan sampai butuh bantuannya untuk mengetahui pemilik rumah ini. Jadi aku tidak perlu menceritakan apa yang terjadi padaku. "Sebentar lagi aku akan segera mengetahui siapa pemilik rumah ini. Semoga dengan begini aku bisa mendapatkan petunjuk siapa pria yang telah menghamiliku ini!" batinku sambil merebahkan tubuh di atas ranjang. Harus kuakui, kecepatan Novia untuk menemukan informasi benar-benar luar biasa. Sebelum aku memejamkan mata, dia mengirimiku pesan, menyampaikan hasil pencariannya. "Pemilik rumah yang alamatnya kamu kirim tadi adalah Han Bramantyo, seorang pria yang lahir pada tahun 1990. Lumayan muda bukan? Untuk generasi pasca 90-an bisa punya rumah sendiri." "Han Bramantyo, bukankah nama itu adalah nama sekretaris Han? Apakah benar rumah ini miliknya? Lalu untuk apa dia memintaku untuk tinggal di sini? Oh Tuhan, aku benar-benar tidak yakin jika dia adalah ayah dari bayi yang aku kandung saat ini. Semuanya terasa tidak mungkin," gumamku masih mencerna apa yang dikatakan oleh Novia. Aku yang terjebak dengan pikiranku sendiri malah lupa untuk membalas pesan dari Novia atau sekedar mengucapkan terima kasih karena masih bergelut dengan semua kenyataan yang ada. *** Semalam karena terlalu sibuk memikirkan sekretaris Han sebagai pemilik rumah ini, membuat aku tidak sengaja tertidur, padahal biasanya aku sulit tidur karena menderita insomnia. Sekarang aku sudah membuka mata tepat pada pukul 06.30 pagi. Terbangun dari tidur di rumah ini membuat hatiku merasa tenang untuk beberapa saat. Faktanya, lingkungan di sini sangat bagus, dan sangat sunyi, bahkan seekor burung pun tidak akan memanggil di ambang jendela. Ketenangan yang berlangsung singkat. Kini pikiranku kembali terusik saat aku teringat akan segala hal yang belum berhasil aku temukan jawabannya. "Aku benar-benar penasaran, siapa pria yang telah menghamiliku? Jika pemilik rumah ini adalah Sekretaris Han, tidak mungkin dia yang melakukan itu padaku." Aku terdiam sejenak, berpikir keras dengan kening yang mengerut. "Lebih baik aku periksa semua yang ada di kamar ini. Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu?" Aku pun mulai mencari dengan teliti ke setiap sudut ruangan, laci-laci dari meja kerja, dan juga setiap almari besar yang ada di kamar ini tak luput aku buka satu persatu. "Tidak ada apa pun yang bisa aku jadikan petunjuk." Di saat aku mulai putus asa, pandanganku terhenti di satu titik. Sebuah manset tampak di atas karpet. Secara umum, orang-orang dengan status tinggi terbiasa mengenakan manset. Terlebih manset yang aku genggam ini adalah manset yang indah dan mahal, apalagi benda ini terbuat dari emas. "Sepertinya aku pernah melihat kancing manset ini, tapi di mana ya?" Aku memandangi manset yang sempat aku genggam dan kini aku letakkan di atas ranjang. Berpikir dengan keras, coba mengingat di mana manset ini pernah aku lihat. Manset yang tidak asing di mataku. "Kenapa aku bisa pelupa seperti ini ya? Biasanya aku tidak pernah mudah untuk melupakan apa yang aku lihat. Kenapa sejak kehamilan ini aku jadi merasa bodoh?" Aku hempaskan tubuhku di atas ranjang setelah menggaruk beberapa kali rambutku yang tidak terasa gatal. Rasanya ini seperti benang kusut yang sulit terurai. Semua seperti teka-teki, bahkan ini lebih sulit dari game puzzle yang sering aku mainkan. "Ayolah, Dinda! Ingat-ingat!" Sampai beberapa detik pikiranku terasa buntu, padahal dalam waktu dekat ini aku jarang sekali mendapatkan tugas untuk mewawancarai orang-orang penting sekelas pejabat atau pengusaha kelas tinggi. Satu-satunya hal yang aku ingat adalah ketika aku mendapatkan tugas untuk menggantikan Devina. Tugas di mana itu menjadi pekerjaanku yang terakhir sebelum aku dipecat. "Ya benar, hanya Tuan Firdaus yang aku wawancarai. Ini pasti miliknya!" gumamku penuh semangat saat berhasil mengingat sesuatu. Ketika aku pergi untuk mewawancarai Firdaus hari itu, aku duduk tepat di seberangnya. Aku ingat sekali dia memiliki kebiasaan mengepalkan tangannya untuk menutupi mulut dan hidungnya. Jadi aku bisa melihat jelas pergelangan tangannya. Manset yang dia gunakan tampaknya dibuat khusus dan terlihat sangat mewah. Menemukan hal itu di dalam pikiranku, membuatku jadi sedikit bersemangat. Aku pun beranjak dengan cepat dari atas ranjang untuk pergi mandi. Di bawah kucuran air shower yang terus membasahi tubuhku, aku terus berpikir mengapa hal pertama yang terlintas di pikiranku tentang pemilik kancing manset itu adalah Tuan Firdaus. Pria yang baru satu kali aku temui. "Apa mungkin ya manset ini milik Tuan Firdaus? Apa benar dia adalah jawaban dari berbagai pertanyaan yang selama ini aku cari? Manset ini hanya digunakan oleh orang-orang kaya yang memiliki selera yang tinggi. Selain ukiran pada kancing manset yang terbilang artistik, material manset juga terbuat dari emas. Ditambah lagi bau tembakau Tuan Firdaus benar-benar tidak asing untukku. Aku seperti pernah menciumnya di suatu tempat, walau aku masih belum yakin di mana itu." Aku terus bergumam dalam hati. Menganalisa setiap petunjuk yang sudah aku temukan. Petunjuk yang mungkin saja bisa menuntunku agar dapat membawaku pada jawaban yang aku cari selama ini. "Daripada aku penasaran, mending aku pergi untuk menemui dia dan memastikan bahwa dugaanku ini benar!" batin lagi memutuskan. Tanpa berlama-lama, aku segera menyelesaikan aktivitas mandiku dan turun ke bawah untuk mengisi perut yang terasa lapar dengan hidangan lezat dari Bi Lusi. Selesai menyantap sarapanku, aku bergegas pergi meninggalkan ruang makan sambil menyandang tas berukuran kecil. Sebelum benar-benar keluar dari rumah, Bi Lusi memanggilku dan bertanya sesuatu. "Nona, Anda mau pergi ke mana pagi-pagi begini? Bukankah Nona sudah tidak lagi bekerja?" "Aku ada urusan sebentar di luar." "Apakah Nona akan pergi dalam waktu yang lama?" tanya Bi Lusi yang tampak ingin mengetahui ke mana aku akan pergi. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" "Maaf kalau pertanyaan saya terkesan lancang, Nona. Saya hanya ingin memastikan jika Nona akan makan siang di rumah." "Oh begitu, tapi kemungkinan aku akan makan siang di luar karena ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan. Pokoknya aku akan kembali sebelum jam 5. Jadi aku bisa makan malam di rumah." Bi Lusi mengangguk paham setelah mendengar jawabanku. "Baiklah Nona. Kalau begitu Nona hati-hati di jalan ya." Aku pun mengangguk dan segera pergi dari hadapannya. Di pelataran rumah yang luas terlihat Pak Tama sudah menungguku di sana. Dia menungguku di depan mobil dan langsung tersenyum begitu melihat aku menghampirinya. "Silakan masuk, Nona," ucap Tama membukakan pintu mobil untukku. "Terima kasih," jawabku tanpa basa-basi dan segera duduk di kursi belakang. "Mau ke mana kita, Nona?" tanya Pak Tama begitu dia telah duduk di kursi kemudi dan siap melajukan mobil mewah tersebut. "Wijaya Grup." Seketika Pak Tama menoleh ke belakang dan menatapku dengan kedua alis yang saling bertaut. "Apakah Nona masih akan melakukan wawancara di perusahaan itu? Bukankah Nona sudah dipecat jadi wartawan?" "Apa?" Bahkan pengemudi itu tahu bahwa aku telah dipecat. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa seperti hidup di dalam sebuah kapal kaca transparan tanpa rahasia hingga bisa diketahui oleh siapa pun. “Mencari pekerjaan," jawabku omong kosong, lalu aku mulai menyalakan ponselku. Dengan berita-berita yang aku lihat pada portal berita di ponselku, aku jadi bertanya-tanya mengapa aku harus pergi untuk menemui Tuan Firdaus. "Apa ini keputusan yang bodoh? Menemui seorang pengusaha yang tengah menjadi buah bibir karena prestasinya. Pasti dia tidak ada waktu untuk membicarakan hal yang menurutnya sepele ini, belum lagi sekretarisnya, pasti tidak akan mengizinkanku masuk untuk menemuinya," gumamku berpikir tentang keputusan yang aku ambil ini. Sejenak aku bersandar rapat pada kursi yang aku duduki. Menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. "Dinda, Dinda, tidak ada bukti apa pun bahwa manset itu milik Tuan Firdaus. Aku tidak mungkin menemuinya dan bertanya tentang hal ini. Bodoh, bodoh!" gerutuku di dalam hati. Merasa kesal sudah pasti, tapi yang lebih membuatku kesal adalah itu artinya aku gagal mendapatkan jawaban tentang siapa pria yang telah membuatku sampai hamil seperti ini. Setelah tersadar bahwa aku salah mengambil keputusan, aku pun dengan cepat mengubah tujuanku. "Pak Tama, kita tidak jadi pergi ke sana." Seketika Pak Tama menghentikan laju mobilnya di sisi jalan setelah melakukan pengereman secara mendadak, beruntung eksekusinya sangat akurat dan tidak ada kendaraan lain di belakang kami. Setelah menyalakan lampu hazard dan menghentikan mobilnya, Pak Tama pun menoleh ke belakang dan mulai menatapku dengan penuh tanda tanya. "Lalu sekarang ke mana kita akan pergi, Nona?" "Aku sendiri bingung, Pak." Belum bisa menjawab pertanyaan dari Pak Tama, aku pun menoleh ke sisi kanan jendela dan menemukan sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di seberang jalan. "Antarkan aku ke sana saja, bagaimana?" "Baiklah, Nona." Pak Tama mengangguk patuh. Mobil pun kembali melaju. Tak butuh waktu lama karena hanya tinggal berputar arah, mobil yang dikendarai oleh Pak Tama kini sudah memasuki area pelataran mal. Mal yang terbilang mewah dan cukup besar di Jakarta. "Nona, saya akan parkir di basemen. Nanti Nona tinggal hubungi saya, saya akan jemput lagi di lobi ini." Aku pun keluar dari mobil, sementara Pak Tama kembali melajukan mobilnya menuju basemen. "Mal ini terbilang cukup elite di Jakarta. Pasti semua yang ada di sini mahal-mahal harganya. Bagaimana ini?" gumamku sambil terus melangkah ragu untuk masuk ke dalam mal. Pikiranku masih terus berjalan, terutama tentang uang yang kini aku miliki. Uang yang tidak banyak aku bawa. Sebenarnya selama bekerja menjadi jurnalis, aku telah memiliki tabungan yang bisa di bilang lumayan banyak. Akan tetapi, semua tabunganku sudah aku gunakan untuk membeli seluruh furniture rumah yang Arga beli. Rumah yang katanya adalah rumah masa depan untuk kita berdua. Ini terdengar sangat konyol saat aku memikirkannya saat ini. Aku mengeluarkan banyak uang untuk membeli perabotan seisi rumah itu, sementara rumah tersebut atas nama Arga dan aku tidak ada hubungannya dengan rumah itu. Jadi bisa dikatakan aku sangat miskin sekarang, apalagi gaji tiga bulan yang akan aku dapat dari pemecatanku kemarin masih belum aku terima saat ini. Aku masih harus menunggu beberapa hari ke depan sampai hari itu tiba. "Ah, kenapa aku harus bingung? Kalau hanya berkeliling, aku tidak perlu mengeluarkan uang!" gumamku menyemangati diri sendiri dan menyudahi semua kecemasan ini. Di dalam mal aku berjalan ke sana dan ke sini. Hampir semua lantai aku datangi. Beberapa kali aku juga masuk ke outlet-outlet dari brand terkenal, tetapi aku harus menelan pahitnya kenyataan karena aku hanya bisa keluar dengan tangan kosong tanpa membeli apa pun dari outlet tersebut. "Uangku tidak cukup." Ketika aku berbalik dan hendak keluar dari toko baju terkenal, seketika langkahku terhenti setelah pandanganku dibuat jatuh cinta pada sebuah gaun yang diletakkan di depan jendela. Orang miskin sepertiku memiliki kebiasaan melihat pakaian yang mereka sukai dan hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari label harganya. "Ya Tuhan, 45.000.000 rupiah." Sontak saja aku terkejut luar biasa dan langsung melepaskan label harga yang baru aku genggam. Aku tidak menyangka gaun yang memiliki panjang di atas lutut itu bernilai jutaan rupiah. "Bahannya benar-benar halus, pantas saja harganya mahal. Lagi pula ini semua salahku, untuk apa aku datang ke mal elite seperti ini!" Aku mengesah kasar. Merasa kesal dengan kenyataan yang harus aku terima. Membeli gaun itu seperti bermimpi meraih bintang di langit. Terlebih gaun tersebut memiliki harga yang fantastis. "Aku rasa, walau sekadar menyentuhnya saja sudah membuatku merasa cukup puas." Tak lama kemudian tiba-tiba, seseorang dengan sangat kasar mengambil gaun itu dari tanganku. "Nona, apakah Anda akan membelinya? Kalau tidak, jangan menyentuhnya!" ucap seorang karyawan toko yang menatapku dengan sinis. Outlet-outlet barang branded memang memiliki standar yang ketat, karyawan-karyawannya begitu jeli melihat pengunjung mana yang akan membeli atau hanya melihat-lihat saja. Meskipun aku tidak punya uang, aku tidak bisa membiarkan mereka memandangku dengan rendah. "Bagaimana Anda tahu kalau saya tidak akan membelinya? Di mana-mana sebelum membeli sesuatu kita harus teliti dulu melihat barang itu, tapi sepertinya setelah saya lihat, saya tidak terlalu menginginkannya." Aku coba mempertahankan harga diriku dengan berlagak tak menginginkan gaun ini. Karyawan itu masih menatapku dari sudut matanya yang runcing. "Nona yang di sebelah sana ingin mencobanya. Kalau Anda memang tidak membelinya, saya akan membawa gaun ini ke sana." Aku pun mengikuti pandangan mata karyawan itu dan melihat seorang wanita muda berdiri tidak jauh di belakang karyawan tersebut. Wanita tersebut memiliki perawakan yang nyaris sempurna dengan kaki yang jenjang bak seorang model. Mataku beralih melihat titik yang lain setelah hanya fokus pada satu pandangan. Seorang pria yang duduk di sofa sungguh menarik perhatianku hingga membuat tatapan mataku membeku. Pria yang mengenakan jeans berwarna biru muda, dipadupadankan dengan kemeja sutra berwarna putih, membuat pria itu tampak gagah. Terlebih jas hitam tipis yang menyingkap tubuh kekarnya sungguh membuat penampilan pria itu terkesan casual, tapi masih tetap formal. "Dia ...." Pria itu masih terlihat asik menatap ponselnya. Pria bertubuh tinggi dan memiliki karisma yang kuat. Meskipun aku hanya melihat wajahnya dari samping, itu membuatku terpaku diam tanpa bisa berkata apa pun. Aku mematung bukan karena dia tampan, tetapi karena aku mengenalnya. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD