EDISI 8

1069 Words
Tivana pov Aku sungguh tak paham diriku sendiri, bagaimana mungkin aku tega mengkhianati Kak Ardian demi untuk menikah dengan pria yang baru saja kukenal! Alvaro bilang itu cinta pada pandangan pertama.. bah!! Tak mungkin aku jatuh cinta pada orang lain, cintaku pada Kak Ardian saja sudah berjalan enambelas tahun. Sudah berakar dan beranak pinak. Ada sesuatu yang salah disini.. Hari demi hari, secara perlahan~lahan kepingan ingatan ku mulai kembali dan menyatu menjadi utuh. Aku mulai mengingat Alvaro, dia pria yang menawariku untuk berfoto bersamanya dalam balutan baju pengantin. Dia berkata foto itu untuk membahagiakan ibunya yang sekarat. Setelah itu aku mengalami kecelakaan mobil dan tak ingat apa~apa lagi. Hingga saat aku tersadar dari komaku, dia dengan lancang sudah mengaku sebagai suamiku! Kapan kami menikah? Aku tak ingat pernah menikah dengannya. Pasti dia telah membohongi semua orang!! Aku harus menegurnya. "Kapan kita menikah? Jangan bohong! Aku sudah mengingat semuanya." Alvaro menatapku penuh selidik. Ia tahu ia tak bisa mengelak. "Aku menikahimu saat kau dalam kondisi koma." "b******n kau, Alvaro!! Teganya kau melakukan itu padaku! Kau telah menghancurkan hidupku! Kau membuatku tak bisa menikah dengan cinta pertamaku, cintaku selama enambelas tahun! Kau....kau..telah mencuri pernikahanku! Seharusnya saat ini aku sudah menikah dengan Kak Ardian!" Aku memaki dan merutuknya sambil memukul~mukul dadanya. Alvaro membiarkan saja. Tak tahan lagi aku menangis histeris. Dia meraihku dalam pelukannya, mengelus punggungku dan rambutku untuk menenangkanku. "Sudah puas? Sekarang biar kujelaskan semuanya," katanya tenang. "Apa yang perlu kau jelaskan?! Kelakuan tak bermoralmu?" pekikku sinis. "Dari awal aku tak pernah bermaksud sejauh ini. Hanya selembar foto pernikahan, itu saja yang kubutuhkan. Sebagai bukti seakan aku telah menikah. Namun Laila, wanita yang mengejarku itu tak mau percaya begitu saja. Ia meminta bukti surat pernikahanku. Itu yang mendorongku untuk menikahimu meski kau sedang koma. Suami Laila yang membantu mengurus semuanya." Dan aku kau jadikan tumbalmu! Ingin ku remukkan lelaki ini, namun mengapa aku malah tak berdaya dalam pelukannya? "Kemudian aku membawamu kembali ke Indonesia. Aku berencana mengembalikan dirimu pada keluargamu tanpa membongkar status pernikahan kita. Jadi kita tak saling berhutang lagi." "Lalu mengapa kau membongkar statusmu sendiri?! Mengapa kamu tak bisa tutup mulut selamanya saja!!" ujarku geram. Alvaro menatap mataku intens, manik matanya mengikuti gerakan bola mataku. "Karena ada perasaan tak rela. Melihat Ardian yang begitu menguasai dirimu aku tak ingin melepasmu, Tiv. Kau adalah milikku, aku tak ingin membagimu dengan pria lain." "I'm not yours!" semburku kesal. "Yes, you are! Kau milikku selamanya, Tiv. Apakah kau sudah mengingat saat~saat bersamaku? Saat kau memintaku menyentuhmu, kau begitu membara dalam dekapanku. Kau juga menginginkanku, Tiv." Alvaro tersenyum m***m hingga membuatku salah tingkah tak menentu. "Itu karena kau yang begitu liciknya memanfaatkan diriku, kau menipu diriku yang mengira kau betul~betul suami yang kunikahi atas dasar cinta!" Al tersenyum sinis. "Seingatku aku tak pernah memaksamu, Tiv. Kau sendiri yang mengemis~ngemis padaku supaya aku sudi menyentuhmu." Tentu saja aku mengingat kejadian itu, kesalahan terbesar dalam hidupku yang membuatku kehilangan milikku yang paling berharga! Aku menyesal, sungguh menyesal.. Tahu aku terdiam, Alvaro mengangkat daguku. "Semua sudah terjadi, Tiv. Terimalah nasibmu sebagai istriku karena aku tak akan melepasmu." "Tapi aku ingin..bercerai," kataku pelan. "Dan kau akan kembali pada cinta pertamamu?" tanyanya dingin. "Mungkin, bila Kak Ardian sudi menerimaku," jawabku tak yakin. Mata Alvaro berkilat penuh amarah mendengar jawabanku. Dengan kasar ia menindihku hingga aku terjatuh ke lantai. "Al!" pekikku kaget. Ia membungkamku dengan lumatan bibirnya yang ganas. Sesaat aku ingin mendorongnya, menendangnya, namun entah mengapa tubuhku bereaksi lain dengan pikiran sehatku! Rupanya dengan kembalinya ingatanku, tubuhku juga mengenali sentuhannya, lalu mendambakan sentuhannya. Kami pun b******a dengan perasaan campur aduk. *** Sungguh aku tak mengerti diriku. Bukannya aku cinta mati dengan kak Ardian? Tapi mengapa aku bisa terlarut dengan permainan cinta Alvaro? Aku merasa kotor, aku telah mengkhianati cinta Kak Ardian baik secara jiwa maupun raga! Aku merasa tak layak bersanding bersama Kak Ardian, karena setelah ingatanku kembali aku juga masih mengkhianati cintanya. Hal itulah yang membuatku malu menemui Kak Ardian. Meski Alvaro sudah tak menahanku lagi, aku tak berniat menemui Kak Ardian. Namun takdirlah yang mempertemukan kami. Dia yang menemukanku saat aku berkunjung ke panti asuhan Melati, panti asuhan yang dulu sering kukunjungi karena sosok Vania. Gadis kecil yang mencuri hatiku dan sempat kuabaikan saat aku lupa ingatan. Setelah ingatanku kembali, aku segera menemuinya untuk menuntaskan rinduku padanya. Vania masih mengingatku, ia memelukku erat sambil menangis bahagia. "Nia pikir Tante dah gak mau sama Nia lagi," ucap gadis cilik berusia enam tahun itu. "Mana mungkin?! Tante kan paling menyayangimu, Nia," jawabku sambil mengecup pipi gembulnya. "Tapi Tante napa gak pernah datang?" matanya yang polos menatapku tak terima. "Tante sakit, Nia. Tapi kini Tante sudah kembali sehat," sambungku cepat begitu melihat kekhawatiran pada sorot mata gadis kecil kesayanganku itu. "Betul Tante udah sehat? Nia gak mau Tante sakit!" Dia begitu menyayangiku, aku tahu itu. Aku memeluknya dengan terharu. "Om Ardian!" tiba-tiba Nia memanggil seseorang dari balik punggungku. Aku menoleh dan menemukan sorot mata penuh kerinduan itu. *** Kami duduk di bangku kayu di taman belakang panti asuhan. Aku terus menunduk karena tak berani menatap wajah Kak Ardian namun aku dapat merasakan tatapan mata Kak Ardian padaku. Sesaat hanya ada keheningan di sekitar kami. Kemudian Kak Ardian memecah kebisuan diantara kami. "Kupikir setelah ingatanmu kembali kau akan mencariku, Tiv. Ternyata aku salah." Perlahan, air mataku menetes. Rasa berdosaku makin besar padanya. Aku sudah menyakitinya begitu dalam namun Kak Ardian tampaknya tak menyalahkan aku sedikitpun. Mendadak Kak Ardian mengangkat daguku, ia menatapku nanar. Pandangan kami bertemu. Terluka. Nestapa. Tak berdaya. "Demi Tuhan, jangan menangis lagi, Tiv!" Dia menarikku dalam pelukannya dan aku menangis semakin keras. "Maafkan aku... maafkan aku, Kak!" Kak Ardian mengelus rambutku dengan lembut, dengan lembut pula ia membujukku. "Tidak Tiv, kamu tak bersalah. Keadaan yang membuatmu seperti itu." Tapi bahkan setelah ingatanku kembali aku masih tetap mengkhianati cintamu Kak .. Aku tak bisa mengatakan itu padanya. Hanya tangisan penuh penyesalan yang mewakili perasaanku. Kak Ardian memegang kedua belah pipiku dengan hati~hati. “Jangan menangis lagi, Sayang. Setelah ini aku tak akan pernah mengijinkanmu menderita lagi." Dia menghapus air mataku penuh kelembutan lalu mengecup pipiku, sesaat sebelum bibirnya menyentuh bibirku tak sadar aku menghindar. "Mengapa..?" tanya kak Ardian kecewa. "Aku sudah m*****i cintamu Kak, aku tak layak lagi untukmu," jawabku pedih. Kak Ardian mencengkeram bahuku dengan kencang. "Kau..selamanya adalah Tivanaku yang bersih. Aku tak pernah menganggap dirimu kotor!!" Matanya berapi~api menatapku. "Ceraikan dia, Tiv! Aku yang akan membahagiakanmu!" Hatiku bergetar mendengar janjinya. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD